PKS Sebut Pelumpuhan KPK Berdampak Buruk terhadap Investasi

Jakarta, obsessionnews.com – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyebut pelumpuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa berdampak buruk bagi pembangunan dan kemajuan ekonomi Indonesia. Hal ini disampaikan Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan, Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Investasi DPP PKS Farouk Abdullah Alwyni dalam keterangan tertulisnya, Jumat (11/6/2021). Baca juga:Tak Lolos Tes TWK, Novel Sebut Ini Cara Oknum Pimpinan KPK Singkirkan Pegawai yang BerintegritasDitetapkan Tersangka, Bupati Nganjuk Tak Ditangani KPKKPK Amankan 10 Orang Terkait OTT Bupati Nganjuk “Persoalan pembebastugasan 75 pegawai KPK dengan dasar yang tidak jelas harus disadari bukan sekadar persoalan kepegawaian, tetapi lebih dari itu persoalan yang dapat berakibat buruk bagi perekonomian Indonesia,” kata Farouk. Halaman selanjutnya Yang paling terdampak, lanjutnya, adalah sisi investasi. Bagaimanapun kisruh KPK secara langsung akan membentuk cara pandang dunia bisnis internasional. Investor akan melihat Indonesia sebagai tempat yang tidak atraktif untuk menanam modal dan melakukan bisnis. Alumnus New York University ini menjelaskan, negara dengan iklim koruptif akan diasosiasikan sebagai high cost economy oleh para investor. Hal itu dengan terang menggambarkan bahwa efisiensi investasi di negara tersebut akan tidak optimal. “Investor tentu ikut menilai peta korupsi di suatu negara. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar ongkos investasi. Dan negara seperti ini tidak sesuai dengan habitus pebisnis yang mementingkan efisiensi biaya,” ujarnya. Halaman selanjutnya Farouk menngungkapkan, salah satu indikator perlu diperhatikan paling pertama adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang turun semula 40 menjadi 37 di tahun 2020. Dari segi peringkat Indonesia (peringkat 102) setara Gambia (102) dan beberapa tingkat lebih buruk dari Ethiopia (92). Ini merupakan penurunan indeks terparah dalam dua dekade terakhir. “IPK yang jeblok ini menyebabkan apa yang disebut sebagai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia kalah dari negara lain terutama di wilayah ASEAN. ICOR Indonesia pada tahun 2020 berada di angka 6,8 persen, kalah dari Vietnam yang ada di angka 3,7 persen;Filipina 4,1 persen;dan Malaysia 5,4 persen,” tutur mantan Direktur Bank Muamalat ini. Umumnya diakui bahwa ICOR yang ideal adalah mendekati atau di kisaran angka 3 persen. ICOR sendiri adalah gambaran seberapa besar investasi yang diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Makin rendah angka ICOR, maka makin efisien sebuah investasi. Sebaliknya, jika ICOR tinggi, itu berarti investasi tak efisien. Halaman selanjutnya Lebih lanjut Farouk mengemukakan, ICOR juga sangat dipengaruhi soal kemudahan dalam berbisnis. Namun praktik yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Banyak investor merasa ada problem struktural yang membuat mereka mau tidak mau harus berhadapan dengan birokrat korup pemburu rente. “Dalam perspektif investor asing, mereka tidak banyak pilihan atas sektor riil investasi di Indonesia yang suka tidak suka membuatnya harus berhadapan dengan praktik kartel, monopoli, dan lobi-lobi bisnis yang ongkosnya tidak sedikit,” ujar Farouk. Secara ringkas PKS menilai kisruh KPK perlu diwaspadai sebagai sinyalemen yang memperburuk berbagai lapis masalah, mula-mula adalah kepastian hukum. Buruknya kepastian hukum akan membuka celah korupsi, di mana hal itu pada gilirannya membuat investor asing menganggap Indonesia sebagai pasar yang harus dihindari. Halaman selanjutnya “Pekerjaan beratnya adalah bukan hanya investor asing yang perlu diyakinkan. Investor domestik pun perlu ditahan agar tidak menanamkan modalnya ke luar negeri,” tandasnya. PKS menyarankan Presiden Jokowi dapat mengambil tindakan yang menentukan untuk mencegah para bawahannya melakukan pelumpuhan KPK seenaknya sendiri. Farouk mengatakan, faktor kepemimpinan mestinya dapat lebih ditegaskan dalam isu semacam ini. “PKS menganggap pemecatan 75 pegawai KPK sejatinya adalah bagian dari persoalan pembangunan Indonesia, yakni, apakah kita akan tetap jadi negara dunia ketiga dengan institusi koruptif yang menciptakan high cost economy, atau ingin keluar dari keterbelakangan dan masuk ke jajaran negara maju dengan penerapan tata kelola yang baik. Presiden dalam hal ini harus mampu menunjukkan kepemimpinannya,” tegas Farouk. (red/arh)