Tutup AICIS, Wamenag Zainut: Agama Harus Jadi ‘Problem Solver’, Bukan Bagian Masalah

Obsessionnews.com - Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi menegaskan, bahwa agama harus dapat dihadirkan sebagai solusi atas beragam persoalan. Agama tidak semestinya menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Karenanya diperlukan rekontekstualisasi ajaran agama. Pesan ini disampaikan Wamenag Zainut saat menutup Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 di UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (4/5/2023). Ajang diskusi para pakar keagamaan dalam dan luar negeri yang berlangsung dari pada 2 – 4 Mei ini mengangkat tema Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace. Baca juga:Wamenag Zainut Minta Ormas Keagamaan Bantu Jaga Kedamaian di Tahun PolitikWamenag Zainut: Konsep Khairu Ummah Sejalan dengan Moderasi BeragamaWamenag Zainut Apresiasi Peran GPI dalam Pembangunan Agama [gallery link="file" columns="2" size="medium" ids="400983,400986"] Ajang ini diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Hadir sebagai pembicara antara lain Dr. (HC). K. H. Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia, Prof. Abdullahi Ahmed An Na'im (Amerika Serikat), Prof. Dr. Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, Ph.D (Mesir), Dr. Muhammad Nahe'i, MA (Indonesia), Prof. Dr. Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof. Mashood A. Baderin (Inggris), Dr. (HC) K. H. Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof. Dr. Şadi Eren (Turki), Prof. Tim Lindsey Ph.D (Australia), Prof. Dr. Mohd. Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia). Tema AICIS 2023, kata Wamenag, sangat tepat untuk mencoba menggali ulang terhadap ajaran-ajaran Islam dalam menghadapi tantangan kehidupan dan kemoderanan. Meski temanya terkait dengan fikih kemanusiaan dan perdamaian yang sudah lama diwacanakan para cendekiawan sebelumnya, tetapi forum ini lebih menekankan pada upaya untuk melihat ulang atas kesesuaian konteks seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin dahsyat. [gallery columns="2" size="medium" ids="400987,400988"] “Agama harus hadir menjadi problem solver, bukan bagian dari masalah itu sendiri, dan itu harus dimulai dari konstruksi fikih yang ramah terhadap perbedaan dan perubahan,” ujarnya. Dikutip dari siararan pers yang diterima obsessionnews.com, Jumat (5/5), dalam kesempatan itu Wamenag menuturkan, Islam hendaknya dapat menjadi penawar bagi persoalan global yang hingga kini masih membutuhkan peran nyata dari agama itu sendiri. Fikih sesuai dengan wataknya sangat terbuka lebar bagi munculnya pemahaman dan paradigma baru. “Sehingga diperlukan wadah yang memberikan kesempatan kepada para ahli (expert) dan para pakar ahli bidang Islamic Studies untuk menyumbangkan pemikiran brilian untuk tatanan kehidupan umat manusia yang lebih baik,” sebutnya. AICIS tersebut telah menghasilkan beberapa pokok pikiran atau gagasan dalam bentuk rekomendasi yang disebut Surabaya Charter. Ada enam rekomendasi yang dihasilkan, yaitu:
- Rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian dan keadilan;
- Menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih;
- Definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
- Menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua;
- Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.
- Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama.