RUU TNI Sah Jadi UU, Gerindra: Sejalan dengan Supremasi Sipil

Obsessionnews.com - DPR mengesahkan RUU TNI menjadi undang-undang (UU), dalam rapat paripurna, Kamis (20/3). Gerindra menilai revisi sejalan dengan supremasi sipil dan tidak mengembalikan dwifungsi sekalipun publik meragukannya.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI Budisatrio Djiwandono, menegaskan bahwa revisi UU TNI tetap berlandaskan pada prinsip supremasi sipil dan semangat reformasi. Fraksi Gerindra memastikan bahwa revisi ini tidak bertentangan dengan demokrasi, melainkan bertujuan untuk menyesuaikan tugas TNI dengan kebutuhan strategis pertahanan nasional.
Baca Juga:
Seluruh Fraksi Setuju, RUU TNI Sah Jadi UU
"Revisi ini bukan langkah mundur dalam reformasi TNI, tetapi merupakan bentuk adaptasi terhadap dinamika pertahanan modern. Kami memastikan bahwa supremasi sipil tetap terjaga, dan tidak ada upaya untuk mendominasi ranah sipil dan politik dengan militer. Selain itu, fungsi pengawasan tetap dilakukan oleh DPR RI, sesuai dengan kewenangannya," ujar Budisatrio.
Menurutnya, substansi revisi UU ini jauh dari apa yang dikhawatirkan masyarakat. Dia menyayangkan disinformasi mengenai dwifungsi TNI yang beredar di tengah masyarakat. “Tidak ada upaya mengembalikan dwifungsi TNI dalam revisi UU TNI. Fraksi Gerindra menjamin revisi UU ini sejalan dengan semangat
reformasi,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR itu.
Baca Juga:
Pentingnya Mencermati Hasil Revisi UU TNI Secara Komprehensif
Budisatrio juga membeberkan penjelasan lengkap mengenai pasal demi pasal yang diubah dalam Revisi UU TNI. Dalam Pasal 3 UU, kedudukan TNI dikukuhkan dalam Sistem Pertahanan Negara. Revisi menegaskan bahwa TNI berada di dalam Kementerian Pertahanan (Kemhan), bukan di bawahnya, untuk memastikan bahwa TNI tetap memiliki otoritas dalam aspek pertahanan tanpa mengubah mekanisme komando yang ada. Dirinya menegaskan bahwa koordinasi antara TNI dan Kemhan hanya mencakup kebijakan, strategi pertahanan, serta dukungan administrasi dalam perencanaan strategis, sementara operasional tetap menjadi ranah TNI.
"Koordinasi ini bertujuan agar kebijakan pertahanan selaras dengan kebutuhan strategis di lapangan. Poin ini hanya mempertegas amanat Pasal 10 UUD 1945 bahwa Presiden merupakan panglima tertinggi yang memegang komando atas TNI," ujarnya.
Penambahan tugas pokok TNI dalam operasi selain perang yang diatur dalam Pasal 7 memperluas cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), khususnya dalam menghadapi ancaman siber dan perlindungan WNI di luar negeri. TNI kini memiliki peran dalam membantu pemerintah menanggulangi serangan siber, yang akan berfokus pada pertahanan terhadap ancaman digital yang semakin kompleks. Selain itu, TNI juga diberi mandat untuk melindungi dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri, terutama dalam situasi darurat atau konflik bersenjata.
Baca Juga:
Penolakan Publik Tak Mempan, RUU TNI Selangkah Lagi Disahkan
"Ancaman pertahanan kini bukan hanya fisik, tetapi juga digital dan transnasional. Revisi ini memastikan TNI siap menghadapi tantangan zaman," bebernya.
Dalam revisi ini, operasi OMSP yang melibatkan pertempuran, seperti penanganan separatisme, harus diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan wajib dilaporkan ke DPR sebelum dilaksanakan. Jika DPR tidak menyetujui, maka operasi tersebut harus dihentikan.
Budisatrio menegaskan bahwa revisi ini bukan untuk mengambil alih tugas Polri maupun institusi penegak hukum lainnya, melainkan untuk memperkuat pertahanan negara terhadap ancaman baru yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI. "TNI tidak akan masuk ke ranah yang tidak berkaitan dengan pertahanan negara. Ini murni untuk memastikan negara memiliki kesiapan menghadapi ancaman pertahanan modern," tegasnya.
Mengenai perluasan penempatan prajurit aktif dalam Pasal 47, yang dikhawatirkan memberi jalan dwifungsi, Budi menilai ketentuan tersebut untuk memberi batasan kementerian/lembaga untuk dijabat prajurit aktif. "Selain 15 K/L yang diatur dalam revisi UU, tidak ada penempatan prajurit aktif dimanapun
termasuk di BUMN. Adapun aturan mengenai prajurit aktif TNI tidak boleh berbisnis, itu masih sama dengan aturan sebelumnya, tidak ada yang berubah," tuturnya.
Baca Juga:
Setelah Bertemu Aktivis, Dasco Optimistis RUU TNI Tuai Dukungan
Menurutnya, penempatan ini memiliki keterkaitan langsung dengan sektor pertahanan dan keamanan nasional serta bertujuan memberikan payung hukum
yang jelas. "Selama ini prajurit aktif sudah ada di K/L tersebut, namun tanpa regulasi yang mengaturnya di tingkat UU. Revisi ini memastikan tugas-tugas kritis pertahanan berjalan lebih efektif dan profesional," ujarnya.
Sedangkan mengenai Pasal 53 yang mengatur usia pensiun, dirinya menilai, banyak negara menerapkan usia pensiun militer rata-rata mencapai 58 hingga 65
tahun. Sementara di Indonesia, tamtama dan bintara harus pensiun pada usia 53 tahun, padahal kondisi fisik dan mental mereka masih prima. Begitu pula dengan tingkatan perwira, dimana mereka saat ini harus pensiun di usia 58 tahun. Padahal, keahlian dan pengalaman para perwira masih sangat dibutuhkan untuk kepentingan pertahanan negara.
"Kami menemukan realita banyak dari prajurit kita yang sudah harus pensiun di tengah kondisi mereka yang masih prima, dan bahkan tidak sedikit yang masih harus menyekolahkan anak-anaknya. Jika mereka harus pensiun dalam kondisi tersebut, tentu hal ini akan memberatkan para prajurit ketika purna tugas,” paparnya.
"Maka atas dasar sejumlah pertimbangan dan masukan dari berbagai pihak, serta perbandingan dengan praktik di negara lain, revisi UU TNI memutuskan untuk menaikkan usia masa bakti prajurit setingkat tamtama dan bintara hingga 55 tahun. Perwira sampai dengan pangkat Kolonel 58 tahun. Sementara untuk perwira tinggi, usia pensiunnya berjenjang dari 60 hingga 62 tahun. Kecuali untuk perwira tinggi bintang 4, dengan usia pensiun 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali hingga 65 tahun. Tentunya hal ini dilakukan tanpa mengorbankan proses regenerasi di tubuh TNI," sambungnya. (Erwin)