Rabu, 1 Mei 24

Freeport dan Nasionalisme Kita

CATATAN AKHIR TAHUN
Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Direktur Sabang Merauke Circle

 

Rizal Ramli (RR) dan Soekarno (Sukarno) sama-sama anak ITB yang menghuni penjara Sukamiskin ketika mudanya. Keduanya sama-sama memperjuangkan nasib bangsa kita agar “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” di hadapan bangsa-bangsa lain. Ini adalah perjuangan dengan isu Nasionalisme, yang orang-orang kebanyakan kurang memahaminya.

Saat ini, RR mempersoalkan isu Freeport, kenapa kita beli? kan itu punya kita sendiri setelah berakhir kontrak dua tahun lagi?

Lalu orang-orang yang tidak suka pikiran RR atau merasa profesor pintar atau merasa RR oposisi yang iri sama Jokowi, mengolok-olok RR sebagai goblok atau pengkhianat atau iri dan dengki atau tidak faham dan lain sebagainya.

Sukarno juga dulu mengalami hal yang sama. Kebanyakan elit-elit terpelajar kita pada saat itu puas dengan pemerintah Belanda (Nederlandsch-indie).

Namun bagi Sukarno kepuasaan bersifat relatif. Elit-elit Jawa Boedi Oetomo puas dengan kebebasan mereka berekspresi, berorganisasi dan melakukan kegiatan budaya dan seni.

Pemerintah resmi Belanda waktu itu membuat kebijakan “politik balas budi”, dengan memberi kesempatan kemajuan pribumi melalui pendidikan. Orang-orang pada senang. Sangat baik Belanda ini.

Belanda resmi karena secara legal (hukum) dia resmi. Mereka memerintah karena “Kontrak Karya”. Bahkan, 200 tahun Indonesia menggunakan mata uang Gulden, sama seperti di Amsterdam.

Tapi Sukarno tidak puas. Sukarno mempersoalkan Nasionalisme. Nasionalisme ini tentu mencakup patriotisme, freedom of the people dan Kedaulatan.

“Enough is not good enough”. Enough buat Boedi Otomo, more than enough bagi elit-elit dan demang-demang pro Belanda, tapi “not good enough” buat Bung Karno.

Perbedaan Sukarno dengan kebanyakan elit bangsa kala itu adalah soal konsep. Konsep Indonesia menurut Soekarno bukan “Nederlandse-indie” yang berpusat di Denhaag dengan pimpinannya Ratu Jualiana, tapi Indonesia yang dipimpin bangsa sendiri.

Konsep ini kenapa bisa muncul setelah ratusan tahun dijajah?
Entahlah. Bahasan lain.

Sejarah itu memang unik. Sejarah mungkin memihak orang2 yang dipercayainya. Rakyat itu “makhluk hidup”, mereka “punya mata”.

Kembali ke Rizal Ramli, ini memang makhluk unik juga.

Kenapa RR tidak berunding aja dengan Freeport ketika jadi Menko Perekonomian Gus Dur ? atau Menko Maritim Jokowi? ya cincai lah, kata orang China. Atau 86 kata preman.

Ketika RR jadi Menko dan Menkeu jaman Gus Dur, saya ingin membawa Nirwan Bakri, Latief dan Bambang Rachmadi ketemu dia. Nirwan mau urusan ambil Arutmin, sebagai satu-satunya jalan buat Bakrie hidup lagi. Latief urusan restructuring utang sedang Bambang mau ambil aset-aset BPPN. Nirwan ok katanya mau dibantu, tapi gak usah ketemuan. Ingat ya, “karena pengusaha pribumi, gak usah pake uang-uang segala”. Latief? RR gak bersedia, dia anggap melakukan korupsi Jamsostek. Bambang Rachmadi, ok. No question. Jadi, RR memang gak doyan duit.

Ketika saya tanya kenapa dia bisa punya kekayaan 11 miliar laporan resmi ke KPK (KPKPN), saat Menkoperek? Dia bilang resmi penghasilan suami dan istri (Bu Hera).

Menteri gak doyan duit adalah modal utama melawan “kejahatan” korporasi asing. Kejahatan maksudnya karena memang mereka pikir orang-orang kulit sawo mateng seperti kita ini gampang diakali. Tentunya dengan kecanggihan mereka dalam ilmu hukum dan “financial engineering”.

Namun, lebih utama dari tidak doyan duit adalah soal Nasionalisme. Buat pejuang seperti Rizal, tentu mengutamakan kepentingan bangsa berbeda dengan Ginanjar Kartasasmita/GK (andaipun GK gak doyan duit?).

Dalam Kontrak Karya Freeport, GK meminta tolong saya mempertemukan dengan Beathor Suryadi dan Budiman Sudjatmiko, ketika kedua yang terakhir menyerang GK soal Freeport tahun 2006 atau sekitar tahun itu.

Budiman tidak ada. GK disaksikan saya dan Jumhur di Summitmas Tower II, menjelaskan bahwa konsesi emas yang dia perjuangkan sudah cukup baik pada KK2. Kalau mau kita rubah, tunggu saja KK tersebut berakhir 2021. Toh, sudah punya kita.

Rizal Ramli juga berbeda dengan Luhut Panjaitan, tangan kanan Jokowi.
Sejalan dengan GK, Luhut Binsar Panjaitan dalam video yang viral di medsos, mengatakan bahwa KK2 akan berakhir 2021, kita bisa aja langsung mengambil Freeport, seperti Blok Mahakam, tapi ya kita harus menjaga hubungan dengan Amerika.

Rizal tidak berkompromi dengan urusan harga diri bangsa. Dari segi penghasilan negara, Freeport sebenarnya sangat kecil, 756 juta dolar, tidak sampai 10% dari cukai rokok (Rp147 triliun), tahun 2017.

Tapi soal Freeport adalah soal siapa yang atur kekayaan bangsa kita. Di sinilah sikap “bahaya” RR kepada bangsa asing, khususnya korporasi asing. Dalam catatan RR, bahkan pemilik Freeport (dulu), Jim Moffet mengakui telah menyogok Ginanjar Kartasasmita dan bersedia mengembalikan kompensasi sebesar 5 miliar dolar (jauh lebih besar dari utang kita untuk beli Freeport saat ini).

Apakah RR bodoh dan dungu? Dari segi pendidikan, RR dan Budi Sadikin (Bos Inalum yang mengambil alih Freeport) sama-sama anak fisika ITB, pengagum teori relativitas Einstein.

RR bukan lah orang bodoh. Bukan pula orang doyan duit. Ini hanya sebuah perbedaan konsep, yakni tentang Nasionalisme (dalam artian luas mencakup patriotisme dan freedom serta sovereignty sebuah bangsa).

Ke depan, di era mulai hancurnya globalisme, di era pemimpin-pemimpin nasionalistik seperti Trump, Putin, Xie Jin Ping, Erdogan, Evo Morales dll, sebuah bangsa besar hanya akan muncul dari orang-orang yang berpikir bangsanya nomer satu, lalu urusan “internasional agreement” nomer dua. Ini sebuah era baru. Hayoo... bangkit. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.