Pasal Bermasalah Gentayangi RUU TNI

Obsessionnews.com - Kontroversi RUU TNI tak direspons pemerintah dengan membatalkan pasal bermasalah. Daftar inventaris masalah (DIM) RUU TNI yang telah diserahkan ke DPR pada 11 Maret 2025 masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatnya militerisme. Koalisi masyarakat sipil sektor keamanan mengawal ketat pembahasan RUU TNI.
Peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie menyebutkan, revisi UU TNI tak urgent karena UU yang berlaku sekarang ini masih relevan. Seharusnya, pemerintah fokus memastikan transformasi militer yang profesional. Kalaupun mau merevisi, pemerintah bersama DPR sebaiknya menuntaskan aturan tentang peradilan militer agar prajuri tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum.
Baca Juga:
TNI Aktif Jabat Direktur Bulog, Apa Kabar Reformasi Militer?
"Koalisi menilai secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah. Pertama, perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI," kata Ikhsan, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (14/3).
Dia menilai keliru kalau perwira aktif ditempatkan pada Kejagung. Jampidmil yang ada sekrang ini, sebatas menangani perkara koneksitas dan tak perlu dipermanenkan menjadi lembaga. "Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu," tuturnya.
Koalisi merupakan gabungan LSM seperti Setara, Imparsial, PBHI, Amnesti Internasional, Elsam dan lainnya. Mereka meminta perluasan TNI pada ranah sipil seharusnya tidak dilakukan. "Koalisi menilai, sebenarnya yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Akan tetapi justru penyempitan, pembatasan dan pengurangan TNI aktif untuk duduk dijabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI. Jadi jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah," kata Ikhsan.
Baca Juga:
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Polri, Kejaksaan dan TNI
Selain itu, penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas seperti menangani masalah narkotika melalui revisi, dianggap berlebihan. Upaya penanganan narkotika semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum, sebagai alat pertahanan negara TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya.
Penanganan narkotika, menurut koalisi, seharusnya menekankan pada aspek medis dan penegakan hukum pun musti dilakukan secara proporsional bukan represif atau bahkan justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya. Karena itu, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi ”war model” dengan melibatkan militer di dalamnya dan bukan criminal justice sistem model lagi sehingga ini berbahaya karena akan membuka potensi execive power.
"Lebih berbahaya lagi, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara (kebijakan presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004), tetapi akan di atur lebih lanjut dalam PP sebagaimana diatur dalam draft RUU TNI. Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat," kata Ikhsan. (Erwin)