Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Polri, Kejaksaan dan TNI

Obsessionnews.com - Koalisi Masyarakat Sipil menolak rencana pemerintah dan DPR merevisi UU Polri, Kejaksaan dan TNI. Sebaliknya, koalisi yang merupakan gabungan LSM/NGO mendorong pemerintah dan DPR memperkuat lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan sebagai langkah penguatan reformasi hukum nasional.
Ketua PBHI Julius Ibrani menilai keliru kalau pemerintah bersama DPR merevisi lembaga inti seperti Polri, Kejaksaan dan TNI untuk memperluas kewenangan. Sebaliknya, dibutuhkan penguatan lembaga pengawas independen untuk memastikan akuntabilitas.
Baca Juga:
DPN Terlibat Urusan Sawit, Kebijakan Keliru dan Kental Nuansa Dwi Fungsi TNI
"Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUU Kejaksaan dan RUU TNI," kata Julius, di Jakarta, Minggu (9/2).
Dirinya mengingatkan bahwa World Justice Project (WJP) menempatkan Indonesia pada urutan ke-68 untuk Indeks Rule of Law tahun 2024. Urutan ini menurun 2 poin dari tahun 2023 yang ada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin. Laporan ini menunjukkan, dari 8 dimensi Rule of Law, 6 di antaranya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, termasuk pada dimensi criminal justice.
Situasi ini tentu tidak luput dari kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini. Ragam kasus yang terjadi selama ini menunjukkan kecenderungan yang kuat bagaimana lembaga penegak hukum seharusnya memperbaiki dan mengevaluasi diri untuk memberikan keadilan kepada masyarakat. Penyebabnya, karena lemahnya pengawasan.
Celakanya, bukannya melakukan pembenahan dengan memperkuat pengawasan, Polri, Kejaksaan dan TNI justru terlihat tengah berlomba-lomba untuk menambah kewenangannya. "Hal ini dapat dilihat melalui sejumlah draft RUU yang sudah di bahas oleh DPR pada periode lalu dan ditunda pengesahannya maupun RUU yang diusulkan untuk dibahas dalam periode legislasi 2025-2029. Diantaranya adalah draft RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan," tuturnya.
Draft RUU Polri sejatinya mendapatkan krtik tajam dalam pembahasan oleh DPR periode sebelumnya bersama dengan draft RUU TNI karena mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Dalam draft RUU Polri yang ditolak pada periode legislasi sebelumnya juga bermaksud menambah kewenangan lembaga tersebut, yaitu kewenangan melakukan pemblokiran terhadap konten digital yang dianggap membahayakan kepentingan nasional. Kewenangan dan tugas ini sebenarnya telah ada di kementerian terkait (Kominfo), dan dilakukan ketika ada keputusan hukum atau permintaan penyidik bahwa sebuah situs telah melanggar hukum.
Dalam draft RUU TNI yang beredar tahun lalu, terdapat usulan pasal yang memperluas kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum. Pasal 8 huruf b dalam DIM RUU tersebut menyebutkan “Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional”. Hal ini tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi dan raison de’etre TNI, tetapi dapat merusak sistem penegakan hukum (criminal justice system) di Indonesia. Draft RUU TNI itu juga ingin memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota militer aktif. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan dalam draft tersebut justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI dan mengembalikan Dwifungsi ABRI.
Di sisi yang lain, DPR juga memasukkan revisi UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI ke dalam Prolegnas 2025, dengan salah satu alasannya untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menganulir kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK. Bila mengacu pada RUU yang beredar saat ini, revisi tersebut justru diarahkan untuk memperluas kewenangan Kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya, serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Salah satu yang sangat riskan, RUU Kejaksaan memperkuat imunitas jaksa yang dijustifikasi UU dengan dalih perlindungan kepada jaksa.
"Situasi-situasi sebagaimana disebutkan di atas, tentu seharusnya menjadi perhatian DPR dan para pengambil kebijakan. Harus diakui bahwa situasi penegakan hukum saat ini perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan. Namun, pertanyaannya di tengah kondisi yang demikian apakah pantas lembaga-lembaga tersebut meminta penambahan atau perluasan kewenangan," ujarnya.
"Lembaga penegak hukum maupun militer dengan kewenangan yang ada sekarang saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan," sambungnya. (Erwin)