DPN Terlibat Urusan Sawit, Kebijakan Keliru dan Kental Nuansa Dwi Fungsi TNI

Obsessionnews.com - Pernyataan Menhan sekaligus Ketua Dewan Pertahanan Nasional (DPN) Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat bersama dengan Komisi I DPR RI, pada Selasa (4/2), mendapat sorotan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Pertahanan. Pasalnya, Sjafrie menyebutkan bahwa DPN bisa mengambil peran menertibkan kawasan hutan yang dikelola perusahaan bermasalah hukum. Pernyataan ini dianggap keliru, bahkan bernuansa menghidupkan dwi fungsi TNI.
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai pernyataan tersebut merusak sistem penegakan hukum nasional dan supremasi sipil dalam sistem demokrasi di Indonesia. Pernyataan ini mengindikasikan kembalinya praktik militerisme dan otoritarianisme ala Orde Baru yang terbukti mewariskan berbagai pelanggaran HAM.
Baca Juga:
PKS Tegas Tolak Wacana Kembalinya Dwi Fungsi TNI
"Pernyataan bahwa DPN akan mengambil peran dalam penertiban kawasan hutan, sawit, dan seluruh permasalahan nasional lainnya tidak sesuai dengan amanat Pasal 15 UU Pertahanan. Dalam UU Pertahanan secara eksplisit ditujukan untuk mengurus kebijakan pertahanan negara. Bukan terlibat urusan sipil non-pertahanan. Upaya menarik DPN ke dalam ranah non-pertahanan, termasuk juga dalam pengelolaan ekonomi, adalah bentuk penyimpangan yang bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik," kata Ardi, di Jakarta, Kamis (6/2).
Pembentukan DPN, kata dia, harus ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan pertimbangan kepadap presiden dalam rangka menghadapi kemungkinan ancaman eksternal seperti perang. Bukan untuk terlibat dalam urusan non-pertahanan di dalam negeri.
"Keterlibatan DPN dalam urusan non-pertahanan hanya akan menghidupkan dwifungsi TNI (dulu ABRI) seperti masa Orde Baru yang mewariskan kasus pelanggaran berat HAM yang tak tuntas hingga kini," tuturnya.
Koalisi juga menyorot Peraturan Presiden No. 202 tahun 2024 tentang DPN yang memuat pasal karet. Pasal 3 huruf F misalnya, mengatur bahwa DPN memiliki fungsi lain yang diberikan oleh presiden. "Kami khawatir pasal ini dijadikan pasal sapu jagat sehingga dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang lainnya dalam ranah non-pertahanan," ungkap Ardi.
Keterlibatan DPN dalam mengurus permasalahan nasional di luar pertahanan menunjukkan gejala kembalinya dwifungsi militer. Gejala ini tampak dalam sejumlah peristiwa seperti keterlibatan militer dalam ranah sipil yang bermasalah seperti pengamanan proyek Rempang Eco-City. Contoh lainnya, penyalahgunaan TNI dalam proyek lumbung pangan atau food-estate di Merauke, Papua Selatan yang berimplikasi besar bagi konflik aparat dengan masyarakat adat.
Koalisi yang merupakan gabungan lintas LSM di Indonesia menilai peran militer di Rempang Eco-City dan proyek food estate bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan sekaligus menjadi indikasi kembalinya dwifungsi TNI.
"Kami menilai, keterlibatan militer dalam ranah sipil harus dihindari. Keterlibatan militer di ranah non-pertahanan hanya akan menghidupkan kembali militerisme dan otoritarianisme dalam politik. Pada titik ini, keterlibatan DPN yang terlalu jauh mengurusi urusan sipil, sebagaimana pernyataan Menhan, sudah semestinya dikoreksi dan pelaksanaannya harus dihentikan," tuturnya. (Erwin)