TNI Aktif Jabat Direktur Bulog, Apa Kabar Reformasi Militer?

Obsessionnews.com - Ditunjuknya Mayjen TNI Novi Helmy menjadi Dirut Bulog mengundang reaksi masyarakat sipil. Pengangkatan Novi dianggap mencederai semangat mereformasi militer karena menduduki jabatan sipil. Lantas bagaimana nasib reformasi TNI?
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute dan Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri Ikhsan Yosarie menilai, pengangkatan Novi membuktikan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran tidak memiliki fokus TNI sebagai alat negara pada bidang pertahanan, sebagaimana amanat konstitusi dan UU TNI. Khususnya yang diatur melalui Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Kukuhnya pemerintah dalam menempatkan militer pada jabatan sipil meskipun melanggar ketentuan UU TNI, semakin memperlihatkan ketiadaan visi reformasi TNI di awal pemerintahan Prabowo-Gibran, terutama dalam aspek memastikan TNI fokus sebagai alat negara di bidang pertahanan, sebagaimana amanat Konstitusi dan UU TNI," kata Ikhsan di Jakarta, Senin (10/2).
Baca Juga:
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Polri, Kejaksaan dan TNI
Penempatan TNI sebagai Direktur Bulog, lanjutnya, memperlihatkan pemerintah tidak melakukan evaluasi atas berbagai kritikan publik dalam penempatan prajurit TNI sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) yang memiliki problematika serupa. Bahkan persoalan ini merupakan bentuk keberulangan atau keberlanjutan dari era kepemimpinan sebelumnya. "Artinya, harapan bahwa pemimpin baru dapat memperbaiki kondisi regresi reformasi militer dalam 5-10 tahun era Presiden sebelumnya, sejauh ini masih sebatas imajinasi," tuturnya.
Dia mengingatkan bahwa ditunjuknya mayor menjabat seskab menuai sorotan tajam dan kritikan publik. Celakanya, pemerintah tidak melakukan evaluasi mengikuti ketentuan UU TNI. Pemerintah malah asyik melakukan akrobatik hukum dengan melakukan perubahan regulasi terkait struktur Seskab. Sebelumnya, dalam Perpres No. 55 Tahun 2020 tentang Sekretariat Kabinet, Pasal 1 ayat (1) mengatur bahwa Sekretariat Kabinet berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Struktur ini kemudian diubah melalui Pepres No. 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara. Sebab dalam Pasal 48 ayat (1) Perpres a quo, Sekretaris Kabinet disebutkan menjadi bagian dari Sekretariat Militer Presiden.
Baca Juga:
Kumpulkan Ribuan Komandan TNI, Prabowo: Negara yang Berdaulat Mampu Lindungi Diri
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyebutkan penempatan seskab sebagai bagian dari Sekretaris Militer Presiden berimplikasi terhadap legitimasi penempatan prajurit TNI pada jabatan seskab tertular dari legitimasi penempatan pada jabatan sesmilpres masuk dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Perubahan regulasi tidak mengubah analisis bahwa jabatan seskab relevan untuk di duduki oleh prajurit TNI. Artinya, perubahan ketentuan tersebut tidak dilakukan berdasarkan relevansi dan urgensinya.
Melalui penempatan TNI pada jabatan sipil, kata Halili, pemerintahan baru semakin melibatkan militer pada ranah sipil, yakni dalam konteks peran-peran di luar bidang pertahanan. Di awal pemerintahan, militer telah dilibatkan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), penertiban kawasan hutan, hingga wacana pembentukan 100 batalion teritorial pembangunan. Kebijakan ini bertentangan dengan kodrat militer sebagai alat negara di bidang pertahanan.
"Pemaksaan paradigma pertahanan dalam isu-isu demikian hanya memperlihatkan gejala militerisme pada kerja-kerja di ruang sipil," kecamnya.
Dikatakan, penguatan militerisme pada ruang-ruang sipil di awal pemerintahan Prabowo memperlihatkan watak dan substansi dwifungsi militer yang masih kental. Sebab pemerintahan menempatkan militer sebagai solusi atas semua problematika pembangunan, sehingga pelibatan militer dianggap menjadi manifestasi akselerasi pembangunan.
"Paradigma ini memperlihatkan pejabat pemerintahan masih menempatkan kondisi Orde Baru sebagai patokan dalam pembangunan melalui dwifungsi ABRI ketika itu. Padahal berbagai perkembangan konsep pemerintahan, seperti good governance hingga collaborative governance dapat menjadi konsep menuju pembangunan yang demokratis," ungkapnya.
"Semakin maraknya pelibatan militer pada ranah sipil justru menimbulkan kontradiksi antara harapan putra-putri bangsa yang ingin mengabdikan dirinya untuk pertahanan negara melalui militer, justru dihadapkan pada peran-peran yang semestinya menjadi domain otoritas sipil. Ketika militer semakin jauh dilibatkan pada bidang-bidang di luar pertahanan, justru berpotensi dapat memicu turunnya profesionalitas prajurit, terutama kemampuan dan skill tempurnya," sambung Halili. (Erwin)