PKS Tegaskan Negara Tidak Boleh Jadi Instrumen ‘Big Pharma’

PKS Tegaskan Negara Tidak Boleh Jadi Instrumen ‘Big Pharma’
Obsessionnews.com – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai intervensi pemerintah dalam mengejar target pemberian vaksin booster kepada anggota masyarakat sebagai kebijakan yang kebablasan. “Kebijakan protokol kesehatan terkini terkait kewajiban vaksin booster untuk WNI pelaku perjalanan luar negeri yang dituangkan dalam Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nomor 25 Tahun 2022 yang berlaku mulai Kamis, 1 September 2022, menunjukkan pemerintah benar-benar mempunyai pemahaman yang cetek terkait perkembangan virus Covid-19, vaksin Covid-19, maupun kebijakan-kebijakan negara-negara lain secara internasional,” kata Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS Farouk Abdullah Alwyni dalam keterangannya seperti dikutip dari website resmi DPP PKS, Selasa (6/9/2022).   Baca juga:Indonesia Diharapkan Semakin Matang Siapkan Layanan Haji Pasca Pandemi Covid-19Presiden Jokowi Sebut Indonesia Patut Bersyukur, karena Mampu Hadapi Pandemi Covid-19 dan Krisis GlobalPandemi Covid-19 Semakin Terkendali, Fahira Ajak Masyarakat Semarakkan Kembali Donor Darah     Menurutnya, sejak munculnya varian delta, dan terlebih lagi dengan varian omicron, vaksin-vaksin Covid-19 yang ada sekarang ini terbukti tidak dapat mencegah seseorang terkena Covid-19 maupun menularkannya. Di samping itu sejak varian omicron menjadi dominan, mayoritas kasus adalah ringan, dan tingkat hospitalisasi juga sudah sangat kecil. Mantan Direktur Bank Muamalat ini menyatakan bahwa tidak ada kondisi emergency yang bisa menjadi legitimasi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang bersifat memaksa terkait vaksin booster. Di tengah semakin banyak negara yang mencabut berbagai aturan restriktif terkait vaksinasi, Indonesia malah maju terus dengan kebijakan booster yang dipaksakan. “Pemerintah harusnya menghargai kebebasan medis (medical freedom) setiap anggota masyarakat, vaksinasi adalah hak, apalagi booster. Jadi pemerintah harus mawas diri, bukan malah menerapkan kebijakan tirani medis (medical tyranny) seperti yang terjadi saat ini,” ujar alumnus New York University ini.   Halaman selanjutnya   Malaysia sejak 1 Agustus 2022 sudah tidak lagi menerapkan aturan terkait vaksin untuk para pendatang, juga Singapura menyusul pada 29 Agustus 2022. Secara keseluruhan mayoritas negara-negara di dunia sudah tidak lagi mensyaratkan kebijakan vaksin Covid-19 untuk memasuki wilayahnya (sekitar 140 negara). “Apa yang terjadi sekarang ini sepertinya menjadikan Indonesia sebagai instrumen Big Pharma. Bagaimana tidak, pemerintah memberlakukan banyak kebijakan yang cenderung memaksa dalam rangka meningkatkan persentase penggunaan vaksin booster, mulai dari aturan terkait perjalanan dalam dan luar negeri sampai dengan masuk mall,” tutur Farouk. Ia menambahkan, seharusnya sejak awal pemerintah cukup menerapkan kebijakan voluntary vaccination, terlebih lagi Indonesia adalah sekadar negara konsumen vaksin Covid-19. “Esensinya adalah jika negara-negara produsen vaksin seperti Inggris dan mayoritas negara bagian di Amerika Serikat saja menjalankan program voluntary vaccination, mengapa Indonesia yang sekadar negara konsumen harus melakukan pendekatan ‘mandatory vaccination’,” ucapnya. Farouk menerangkan, pendekatan mandatory vaccination buruk dari perspektif ekonomi politik karena dapat menjadikan negara menjadi instrumen perusahaan-perusahaan farmasi besar. Program mandatory vaccination dapat menciptakan kolusi yang berbahaya antara oknum-oknum pemerintahan dan Big Pharma. “Hal ini sangat berbahaya, karena virus-virus atau penyakit-penyakit baru bisa terus bermunculan, dan setelah itu akan muncul para ‘juru selamat’ yang menawarkan vaksin, yang kemudian pemerintah akan memaksakan rakyatnya. Rakyat banyak bisa dijadikan obyek eksperimen vaksin-vaksin dari luar atas nama kesehatan ataupun penanggulangan pandemic. Sedangkan sekelompok oknum aparat negara justru memainkan peran rent seeker dan menjadi instrument dari Big Pharma,” jelas mantan Senior Professional Islamic Development Bank Jeddah ini.   Halaman selanjutnya   Sebagai informasi, alumni program MBA the University of Birmingham ini membeberkan bahwa pendapatan Pfizer hampir dua kali lipat di tahun 2021 dan mencapai USD 81 miliar, dan diperkirakan akan mencapai lebih dari USD 100 miliar di tahun 2022. Dalam waktu yang sama Partner Jerman dari PfizerBioNTech, mencatatkan pendapatan hampir EURO 19 miliar di tahun 2021, hampir 40 kali lipat tahun sebelumnya, dan sekarang masuk dalam daftar 50 perusahaan farmasi terbesar dunia. Produsen vaksin Covid-19 lainnya, Moderna, membukukan pendapatan hampir USD 18,5 miliar, 23 kali lebih besar dibandingkan pendapatan di tahun 2020. Hal yang sama juga terjadi untuk Sinovac, produser vaksin dari China, yang membukukan pendapatan sebesar USD 19,4 miliar, 38 kali lebih besar dari tahun 2020. Big Pharma memproduksi sebuah produk, menjualnya secara bebas di pasar, dan mendapatkan keuntungan adalah hal yang biasa. Hal yang tidak biasa dan berbahaya saat ini adalah ketika negara berdaulat menjadi instrumen pemaksa bagi rakyat untuk menggunakan produk yang dihasilkan oleh Big Pharma. “Hal ini tidak boleh terjadi, negara tidak boleh menjadi instrumen Big Pharma,” tegas Farouk. Di Amerika Serikat (AS) sendiri Partai Republik bersiap untuk menginvestigasi Chief Medical Adviser Biden Administration Dr. Anthony Fauci di bulan Desember 2022 jika menjadi mayoritas di kongres (House of Representatives) AS setelah midterm election yang dijadwalkan di bulan November 2022. Fauci sendiri memang telah menyatakan bahwa dirinya akan mengundurkan diri di bulan Desember 2022. Fauci dianggap sebagai arsitek dari kebijakan lockdown yang menghancurkan banyak bisnis kecil dan menengah, mandatory masking, dan juga mandatory vaccination. Walaupun di wilayah yang dikuasi Partai Republik pada umumnya tidak menerapkan kebijakan-kebijakan ini. “Segenap pemegang kebijakan terkait Covid-19, khususnya yang berkenaan dengan pemaksaan vaksin, harus berhati-hati. Pada waktunya tidak tertutup kemungkinan anda semua akan diinvestigasi, terkait pelanggaran informed consent sebagai standar medis internasional, persoalan efek samping parah dari vaksin yang secara internasional mulai terangkat dan cenderung ditutupi di Indonesia. Dan juga kemungkinan menjadi instrumen dari Big Pharma, belum lagi berapa banyak bisnis yang dihancurkan akibat berbagai kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang tidak kunjung berakhir,” kata Farouk. (red/arh)