Rabu, 1 Mei 24

Persimpangan Jalan

Persimpangan Jalan

Oleh: Zeng Wei Jian, Aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KOMTAK)

 

Saya dikirimin foto Bpk Prabowo, Harry Tanoe dan Anies Baswedan. Foto reminiscene pilgub DKI kemarin. Hari ini, Harry Tanoe (HT) dan Perindo dikabarkan nyebrang ke pemerintah. Dan terjadi lagi, HT jadi bulan-bulanan cyberbullies. Yang membully, bukan hanya buzzer oposisi, tapi juga simpatisan Hanura dan Nasdem. Kedua partai politik ini paling freak out bila Perindo masuk ruling circle.

Sikap politik mestinya dianalisa secara politik. Bukan dicibir, dibully, digosipin. Seorang netizen, Alhadi Muhammad bertanya ke mana kiblat politik HT. Saya menyayangkan bila nanti (pasca kongres Desember) Perindo benar-benar Pro Joko. Dirilisnya wacana ini, bagi saya, adalah salah satu indikator melemahnya soliditas oposisi pasca Ahok tumbang.

Menurut dugaan Ratna Sarumpaet, “HT membelot ke kubu Joko karena kecewa tidak ada yang membela dia dalam kasus yang sedang dia hadapi. Masih ada kemungkinan merangkul kembali HT asal kelompok kita tidak terlalu kaku dalam bepolitik. Bagaimanapun peran HT dan MNC sepanjang perjuangan bela Islam sangat berarti.”

Tapi biasa setelah menang revolusi, faksi dan tokoh-tokoh saling berkelahi sendiri. Setelah Komunis Tiongkok menang, friksi internal pecah. Liu Xiao Qi, Zhu De, Peng De Huai, Lin Biao, Zhou Enlai dan Chairman Mao saling berebut pengaruh. Rebutan kue kemenangan. Stalin memburu Trotsky sampai ke Amerika pasca USSR dibentuk dan kematian Lenin. Jasa-jasa Trotsky dalam revolusi langsung dilupakan. Padahal Leon Trostky adalah pendiri dan komandan Red Army. Pangkatnya People’s Commissar of Military and Naval Affairs. Setingkat Pangab.

Tapi saya kira, tabiat politik Indonesia tidak begitu. Mestinya tidak begitu.

Pasca Ahok tumbang, kelompok oposisi seharusnya jadi semakin besar dan solid. Bukan sebaliknya. Rapuh, mengerdil, ribut sendiri dan runtuh. Seperti menara pasir kering diterpa angin semilir.

Memang, mengalahkan musuh lebih mudah dibanding merawat kemenangan.

Secara politik, lebih menguntungkan bagi HT dan Perindo merapat ke pusat kekuasaan. Bisnis lancar, ngga digencet problem hukum, Perindo bisa lolos verifikasi. Secara pribadi, HT bisa menggantikan Ahok sebagai simbol “kebhinekaan” kubu sebelah.

Saya tidak lihat Perindo dapet peran dalam Tim Anies Sandi. Padahal mereka ikut aktif berperan memenangkan paslon No. 3. Ada kesan, HT dan Perindo dianak-tirikan pasca Ahok tumbang.

Bagi saya, 1000 teman masi kurang. Satu orang musuh sudah terlalu banyak. Loncatnya HT dan Perindo mestinya direspon dengan evaluasi diri kelompok oposisi. A great lost. Tapi itu semua pilihan politik HT dan Perindo. Saya hargai. Tapi kita akan berseberangan di masa itu.

Di balik semua negatifitas dan wrong treatment yang diterima HT dan Perindo, ada batu ujian.

Dalam skala mikro, saya pun diserang, dicibir, dibully, difitnah oleh segelintir orang yang mengklaim paling berjasa menumbangkan Ahok. Orang-orang ngga waras dan para pencari tenar. Persatuan tinggal kenangan. Bye-bye brotherhood. Tapi, tidak ada alasan bagi saya untuk loncat pager dan meninggalkan para ulama, mujahid, umat Islam dan rakyat yang sedang dizolimi.

Dilema HT dan Perindo jauh lebih kompleks. Saya bisa mengerti. Tapi saya tetap berharap HT dan Perindo tegar dan tidak meninggalkan garis-rakyat. Tanpa united front, perjuangan nasionalistik akan sia-sia. Ingat kata Bung Karno, “Nasionalisme itu jalah suatu itikad; suatu keinsyafan rakjat bahwa rakjat itu ada satu golongan, satu ‘bangsa’!”

Nomor 3 dari kanan adalah Zeng Wei Jian saat bersama Presidium Alumni 212 di Komnas HAM, membela para Ulama dan aktivis yang dikriminalisasi oleh Rezim Jokowi. Nomor 4 dan 5 dari kanan adalah Natalius Pigai dan Lius Sungkarisma. Ketiga tokoh non muslim ini ikut Aksi Bela Islam & Bela ulama.

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.