Sabtu, 27 April 24

Mengenal Kosasih Kartadiredja, Wasit Indonesia yang Tak Mempan Suap

Mengenal Kosasih Kartadiredja, Wasit Indonesia yang Tak Mempan Suap
* Kosasih Kartadiredja. (Foto: Historia)

Jakarta, Obsessionnews.com – Tayangan Mata Najwa dalam beberapa bulan terakhir ini fokus mengupas tuntas skandal mafia bola dengan tema “PSSI Bisa Apa” serial program talk show itu rupanya telah mengetuk hati Polri untuk membentuk Satgas Antimafia Sepakbola.

Sejak dibentuk Polri pada pertengahan Januari 2019, Satgas Antimafia Sepakbola sudah menetapkan 16 tersangka match fixing alias pengaturan skor. Selain para pengurus PSSI dan klub, enam di antaranya merupakan perangkat pertandingan, baik wasit maupun Komite Wasit hingga Direktorat Penugasan Wasit PSSI.

 

Baca juga:

Jadi Justice Collabolator, Pengacara Saipul Jamil Siap Ungkap Inisiator Suap

Bos Mafia Skor Bola Belum Tersentuh

Sepak Bola Seharusnya Mempersatukan

 

Hampir di semua skandal suap dan pengaturan skor yang terjadi dalam sepakbola di berbagai penjuru dunia, keterlibatan perangkat pertandingan senantiasa hadir. Di Indonesia, juga begitu. Dalam program Mata Najwa sejumlah perangkat pertandingan dihadirkan, dan mengakui suap mengalir kepada mereka untuk mengatur skor.

Kosasih Kartadiredja mantan wasit legendaris Indonesia sampai geleng-geleng kepala melihat tayangan Mata Najwa. Meski ia sendiri sejatinya sudah tidak kaget dengan kabar mafia bola.

“Dari dulu itu mah. Di zaman saya juga sudah marak pengaturan skor, tapi cukong-cukong orang Tionghoa itu pelakunya,” ujar Kosasih seperti dikutip Historia, Rabu (27/2/2019).

Tidak seperti yang lain, Kosasih justru dikenal sebagai wasit yang tak mau kompromi di kompetisi Perserikatan. Reputasinya mulai disegani semenjak menjadi wasit Indonesia pertama yang memegang lisensi FIFA pada 1972 dan dikenal dunia karena menjadi perangkat pertandingan dalam Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo, Jepang.

Sebagai wasit, Kosasih tentu tidak bebas dari incaran para cukong penjudi bola yang berupaya menyuapnya agar memenangkan satu tim tertentu. Bukan sekali-dua kali Kosasih ditawari duit jutaan rupiah oleh mereka. Namun, Kosasih tak sekali pun mau terima.

“Banyak dulu mah (yang menawarkan uang). Memang dulu gaji wasit paling hanya sekitar Rp20 ribu per pertandingan. Kadang ada yang menawarkan Rp5 juta, sampai Rp10 juta. Tapi tidak pernah mau saya terima. Ke saya enggak mempan, malah kemudian dia (cukong pengaturan skor) masuknya ke pemain,” kenang lelaki berusia 85 tahun itu.

Disuap dengan 10 Ribu Dolar

Tidak hanya di level Perserikatan, saat Kosasih bertugas di SEA Games 1981 tawaran juga mendatanginya. Kosasih masih ingat betul peristiwa itu. Menjelang laga final Thailand vs Malaysia, 15 Desember 1981, seorang suruhan pejudi bola mendatanginya ke tempatnya menginap, Hotel Admiral di Manila. Orang suruhan itu minta Kosasih memenangkan Malaysia.

“Dia telepon ke kamar hotel saya. Minta bertemu di restoran hotel. Saya samperin. Ketemu sama yang mau kasih uang sama orang suruhannya, orang Indonesia namanya Hasan. Pejudinya bilang, ‘help me, Thailand must not win against Malaysia’,” sambung Kosasih.

Kosasih ditawari uang 10 ribu dolar yang dibundel dalam bungkus rokok. Kosasih menolak mentah-mentah permintaan itu. “Lalu saya pilih pergi. Pas mau balik ke kamar, dicegat sama orang suruhannya, si Hasan. Dia bilang, ‘kenapa tidak diambil? Kamu bodoh!’ Begitu katanya sambil nyodorin duit itu ke tangan saya. Saya katakan tidak mau. Saya kasihkan lagi duitnya. Buat apa saya terima uang begitu? Nama baik saya jadi jelek,” lanjutnya.

Dari pengalaman itu, Kosasih makin mengerti alur pengaturan skor saat sudah pensiun dan menjadi inspektur wasit dalam Komisi Wasit PSSI periode 1986-1995. Beberapa langkah antisipatif pun dibuat Kosasih agar para wasit yang memimpin pertandingan tak menerima suap.

“Waktu saya sudah jadi inspektur wasit, kan biasanya tugas saya yang menyusun perangkat pertandingan. Pernah juga ada yang langsung datang ke saya mau kasih uang. Waktu itu ada pertandingan Blitar (PSBI) vs Kendal (Persik Kendal),” kata Kosasih, yang sayangnya sudah tak ingat tahun atau musim kompetisinya.

Bersama beberapa wasit yang diduga sudah terlibat, cukong judi bola mendatangi Kosasih di ruangannya. “Ada yang datang ke saya bilang, ‘Pak Kos, ini amplop. Terima saja, buat shopping-shopping lah.’ Saya lihat isinya Rp5 juta dari (oknum) PSBI Blitar itu. Ternyata saya sadari juga wasitnya main (suap). Saya tolak. Saya marah-marah. Saya sanksi besoknya tidak boleh memimpin pertandingan lagi,” ujarnya.

Kosasih akhirnya memblokir semua telepon yang tersambung ke kamar-kamar hotel yang jadi tempat penginapan para wasit jelang pertandingan. Sial, upaya itu ternyata belum cukup. Masih ada wasit dan perangkat pertandingan yang main-main dengan suap.

“Sudah saya blokir telepon di semua kamar wasit. Tapi dia (oknum wasit) malah bandel. Keluar dia pas sudah dini hari untuk transaksi pengaturan skor. Termasuk kawan saya, Djafar (Umar). Maaf ya karena orangnya juga sudah meninggal, dia juga ikut main dengan mafia itu,” terang Kosasih.

Djafar Umar akhirnya tersandung perkara pengaturan skor pada Liga Indonesia 1998. Oleh Tim Pencari Fakta Mafia Wasit PSSI, sang ketua Komisi Wasit itu disanksi larangan terlibat dalam sepakbola Indonesia seumur hidup.

Tawaran untuk mengatur skor nyatanya juga datang dari pengurus PSSI. Namun, Kosasih enggan menyebut namanya. “Dia minta bantu timnya menang. Ya tim dari Sumatera lah. Saya tegaskan tidak mau. Wah kacau bener, ternyata dari pusat ada yang ingin main mata begitu (pengaturan skor),” kenangnya lagi.

Kosasih mengaku, lebih nyaman hidup pas-pasan dari hasil keringat sendiri ketimbang berlebih tapi dari hasil “uang panas”. Hal itu membuatnya selalu menolak tawaran menggiurkan yang datang padanya.

“Ingat pesan-pesan orangtua saya dulu. Hidup itu harus jujur. Saya saja dulu tidak boleh jadi polisi karena biasanya menangkap orang yang tidak bersalah. Tidak boleh jadi sopir karena rawan menyeleweng dan main perempuan. Tidak boleh kerja di bank karena renten,” kata Kosasih.

Hal itu pula yang membuatnya memutuskan pensiun dini dari Pemda Kabupaten II Sukabumi pada 1993. Ia tak mau makan gaji buta lantaran jarang masuk kerja gara-gara sibuk di Komisi Wasit PSSI. Hingga saat ini, Kosasih hanya hidup pas-pasan dari uang pensiunan PNS Golongan III-C.

“Karena malu akhirnya saya mengundurkan diri tahun 1993 dari PNS Pemda (Sukabumi). Memang awalnya mereka dulu selalu kasih izin tapi kadang sayanya yang malu karena enggak bisa mengerjakan pekerjaan di wilayah (pemda),” tandas Kosasih. (Albar)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.