Selasa, 30 April 24

Kenapa Orang Minang Tidak Membakar Lilin?

Kenapa Orang Minang Tidak Membakar Lilin?
* Pendukung Ahok nyalakan seribu lilin di Palembang

Oleh: Indrawan (Warga Minang)

Di Kota Padang apa tidak ada pendukung Ahok? Jawabannya pasti ada. Tapi dukungan mereka tidak berlebihan. Apalagi sambil teriak-teriak, guling-guling seperti sedang mengalami penderitaan bak etnis Rohingya di Myanmar.

Di Sumatera Barat, nyaris tidak ada orang etnis Tionghoa memakai bahasa leluhur mereka di kehidupan sehari-hari. Mereka lebih fasih berbahasa Minang dari orang Minang sendiri. Tidak sedikit yang memakai nama Ali, Usman, atau Harun meski beragama Khong Hu Cu, Hindu atau Kristen.

Saya pernah kenal seorang wanita etnis Tionghoa di Bukittinggi. Ia punya toko elektronik dan VCD. Pernah saat datang ke tokonya, ia sedang asyik menyanyikan lagu “Kasiak Tujuh Muaro” dari Zalmon. Fasih dan penuh perasaan.

Saat memujinya, ia menyela. “Jangan panggil cece, panggil uni Eni.”

Uni Eni tidak lahir di Bukittinggi. Tapi ia sudah merasa itulah Tanah Air-nya. Mereka serentak tutup toko makanan saat Ramadhan dan saat Jumatan. Mereka menghormati adat setempat. Tidak ada anak-anak yang mengejek suara adzan. Rumah mereka tidak dikelilingi teralis besi.

Apakah tidak ada orang Kristen di Sumbar? Banyak. Belasan ribu, mungkin puluhan ribu. Mayoritas adalah pendatang.

Hampir semua aliran gereja ada di Kota Padang. Tahun 2012 saja, sudah ada 60 gereja. Jika Ramadhan tiba, pemerintah setempat menganjurkan siswa-siswi non-Muslim mengadakan kegiatan kerohanian di gereja atau vihara. Seperti pesantren Ramadhan ala gereja atau vihara.

Kearifan budaya lokal membuat mereka tahu diri dan tidak menuntut berlebihan. Mereka mengerti adil bukan berarti sama rata. Mereka tahu kebebasan tapi bukan berarti seenaknya.

Di Sumatera Barat, kehidupan masyarakat selain Suku Minang, sudah sangat membaur. Ajaklah orang etnis Batak di Padang berbahasa Minang, Anda akan terkejut. Sapalah orang Jawa dengan bahasa Minang, Anda juga tidak akan percaya.

Warga Padang tidak ikut-ikutan membakar lilin karena memang tidak kenal siapa Ahok.

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno tegas menyebut, “Sumbar Tidak Butuh Lilin, Sumbar Butuh Pelita Ulama.”

Masyarakat Minang taat ke pemimpin dan patuh ke ulama. Tapi akan bereaksi jika ada yang memprovokasi secara halus atau paksaan ke mereka. Kebebasan dan demokrasi bagi orang Minang tidak seperti di Eropa atau Amerika.

Orang Minang memegang teguh buah pikir dan kesepakatan leluhurnya yaitu Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran).

Masyarakat Minangkabau tidak menjadikan pemimpin seperti dewa. “Pemimpin itu hanyalah ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah.”

Seorang pemimpin haruslah dekat dengan masyarakat yang ia pimpin, dan seorang pemimpin harus siap dikritik dan menerima sanksi dari kaumnya jika ia berbuat salah. Dalam konsep ini, Minangkabau tidak mengenal jenis pemimpin yang bersifat diktator dan totaliter.

Dengan filosofi tersebut, Minangkabau banyak melahirkan tokoh-tokoh di berbagai bidang, baik itu politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan.

Sepanjang abad ke-20, etnis Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat di Indonesia yang paling banyak melahirkan pemimpin, pemikir dan tokoh pelopor. Mereka antara lain Tan Malaka, Mohammad Hatta, Yusof Ishak, Tuanku Abdul Rahman, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Assaat, Hamka, Mohammad Natsir, Muhammad Yamin, Abdul Halim dan lain-lain.

Mereka adalah para pendiri negara dan pencetus konsep kebangsaan.

Orang Minang sudah menerapkan sistem demokrasi jauh sebelum republik ini berdiri. Minangkabau terdiri dari banyak nagari yang otonom. Nagari ini adalah republik-republik mini. Pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat. Pendapat terbanyak akan dilaksanakan. Pihak yang kalah bukanlah yang terhina.

Ada pernyataan adat yang mengatakan “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat“. Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang dalam budaya politik Indonesia (wikipedia).

Sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan ditengarai berasal dari semangat demokrasi Minangkabau.

Masyarakat Minang adalah masyarakat perantau. Mereka berbaur dengan masyarakat di tempatnya tinggal yang juga punya kearifan budaya. Dima rantiang dipatah, disinan sumua digali (Dimana kita tinggal, hendaklah menjunjung adat daerah setempat). Prinsip ini juga dipakai masyarakat pendatang ke Ranah Minang.

Jika dalam satu rumah yang rukun dan damai, tiba-tiba masuk seseorang tidak dikenal dan ingin mengubah aturan dari kepala keluarga, apa kira-kira yang akan terjadi? (***)

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.