Jumat, 26 April 24

Biadab! Bocah-bocah Muslim Rohingya Dijual untuk Prostitusi

Biadab! Bocah-bocah Muslim Rohingya Dijual untuk Prostitusi
* "Anak laki-laki memperkosa saya," ujar seorang gadis Rohingya. (BBC)

Sejumlah bocah perempuan berusia pra-remaja di beberapa kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh diperdagangkan untuk bisnis prostitusi. Orang-orang asing yang ingin berhubungan seks dapat dengan mudah menemui anak-anak yang melarikan dari konflik di Myanmar.

Anwara berusia 14 tahun. Setelah keluarganya dibunuh di Myanmar, dia memutuskan untuk meminta tolong di pinggir jalan yang mengarah ke Bangladesh.

“Seorang perempuan datang menggunakan mobil van. Dia bertanya, apakah saya ingin ikut.”

Anwara mengangguk setuju dan naiklah dia ke mobil itu berbekal janji bahwa dirinya akan mendapat kehidupan baru. Namun, dia ternyata dibawa pergi ke kota terdekat di Bangladesh, Cox’s Bazar.

“Tak lama setelah itu mereka membawa dua anak laki-laki ke hadapan saya. Mereka memperlihatkan sebilah pisau dan menonjok saya di bagian perut dan memukuli saya karena saya tidak menurut. Kedua anak laki-laki itu lalu memerkosa saya. Saya tidak mau berhubungan seks tapi mereka terus memaksa.”

Kisah perdagangan perempuan untuk bisnis prostitusi marak di kamp-kamp pengungsian Rohingya. Perempuan dewasa dan anak-anak menjadi korban utama. Mereka dipancing keluar dari kamp pengungsian untuk kemudian dilacurkan.

Tim BBC bersama Foundation Sentinel—sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan melatih dan mendampingi aparat hukum dalam memerangi eksploitasi anak—menuju Bangladesh guna menyelidiki jaringan di balik perdagangan anak yang santer terdengar.

Sejumlah anak dan orang tua mengatakan kepada kami bahwa mereka tadinya ditawari pekerjaan di luar negeri dan di Dhaka—ibu kota Bangladesh—sebagai pembantu rumah tangga, staf hotel, dan asisten di dapur.

Kondisi kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh memudahkan akses jaringan perdagangan manusia. (BBC)

Menawarkan kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik kepada para pengungsi yang dilanda keputusasaan merupakan taktik keji yang dilancarkan para pelaku perdagangan manusia. Terbukti, taktik semacam itu efektif untuk memancing bocah perempuan Rohingya terjun ke bisnis prostitusi.

Masuda, 14, yang kini mendapat bantuan dari lembaga amal setempat, memaparkan bagaimana dia diperdagangkan.

“Dari awal saya tahu apa yang akan terjadi pada saya. Perempuan yang menawarkan saya pekerjaan sudah diketahui banyak orang bahwa dia menyalurkan perempuan-perempuan ke bisnis seks. Dia adalah orang Rohingya dan sudah berada di sini sejak lama, kami mengenalnya. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Tidak ada apa-apa bagi saya di sini.

“Keluarga saya menghilang. Saya tidak punya uang. Saya pernah diperkosa di Myanmar. Dulu saya suka bermain di hutan bersama kakak dan adik. Sekarang saya tidak ingat lagi bagaimana rasanya bermain.”

Beberapa orang tua menangis jika anak mereka keluar dari kamp pengungsian karena khawatir tidak bisa berjumpa lagi. Namun, ada juga orang tua yang menyambut baik kesempatan hidup lebih baik, walau tidak pernah lagi mendengar kabar dari anak-anak mereka.

Seorang ibu bahkan berkata “di manapun lebih baik” dibanding kamp pengungsian.

Tapi, ke manakah anak-anak ini dibawa? Dan oleh siapa?

Dengan menyamar sebagai orang asing yang baru tiba di Bangladesh dan mencari perempuan untuk berhubungan seks, tim investigasi BBC berupaya menyelidiki.

Hanya dalam kurun 48 jam setelah bertanya kepada pemilik hotel kelas melati yang dikenal menjadi tempat esek-esek, kami mendapat nomor telepon dari sejumlah mucikari.

Kami kemudian bertanya kepada mucikari-mucikari ini apakah mereka punya gadis muda untuk orang asing, khususnya gadis Rohingya. Tanpa diketahui mereka, kami berkabar dengan kepolisian Bangladesh.

“Kami punya gadis-gadis muda, tapi mengapa kamu mau gadis Rohingya? Mereka paling kumuh,” kata seorang pria.

Ucapan seperti itu terus berulang selama penyelidikan kami. Dalam hierarki prostitusi di Cox’s Bazar, gadis-gadis Rohingya dianggap sebagai yang paling murah dan paling tidak diinginkan.

Selama negosiasi, kami menekankan bahwa kami ingin bermalam dengan gadis-gadis tersebut secepatnya karena kami tidak ingin menciptakan permintaan pasar.

Foto-foto sejumlah gadis pun bermunculan dan kami diberitahu bahwa mereka berusia antara 13 sampai 17 tahun. Jumlah gadis yang tersedia dan ukuran jaringan ini mengejutkan. Jika kami tidak suka dengan gadis-gadis pada foto yang disediakan, para mucikari ini menyodorkan banyak lainnya.

Sebagian besar gadis-gadis ini hidup bersama keluarga mucikari. Ketika mereka tidak melayani pelanggan, mereka kerap memasak atau bersih-bersih.

“Kami tidak menahan gadis-gadis ini untuk jangka waktu lama. Kebanyakan pria Bangladesh akan mendatangi mereka. Setelah beberapa waktu mereka bosan. Gadis-gadis muda menimbulkan banyak keruwetan, jadi kami membuang mereka,” ujar seorang mucikari.

Hasil rekaman dan pengamatan ini kemudian kami tunjukkan kepada kepolisian setempat. Sebuah tim lalu dibentuk guna melakukan penggerebekan.

Seorang mucikari langsung dikenali aparat. “Saya tahu dia. Kami sangat mengenalnya,” ujar seorang polisi. Tidak jelas apa maksud polisi tersebut, apakah sang mucikari informan atau bandit kambuhan.

Rohingya

Sebelum penggerebekan dilangsungkan, kami menghubungi mucikari tersebut dan meminta dua gadis yang kami lihat dalam foto diantarkan ke sebuah hotel ternama di Cox’s Bazar pada pukul 20.00 waktu setempat.

Masih dalam penyamaran sebagai calon pelanggan, seorang anggota Foundation Sentinel menunggu di luar hotel bersama seorang penerjemah. Pada saat bersamaan, sejumlah polisi menunggu kedatangan mucikari di area parkir.

Saat jam mendekati pukul 20.00, mucikari menelepon rekan yang sedang menyamar sebagai calon pelanggan. Sang mucikari ingin agar dia menjauh dari hotel, tapi kami menolak.

Mucikari tersebut kemudian mengirimkan seorang sopir untuk mengantarkan dua gadis ke hotel. Seusai transaksi terjadi, rekan yang sedang menyamar bertanya, “Jika pelayanan malam ini bagus, bisakah kami diantarkan lagi? Sopir itu mengangguk tanda setuju.

Ketika sopir menerima uang, polisi langsung bergerak. Sang sopir ditangkap, kemudian pakar penanganan anak dan perdagangan manusia datang membantu dua gadis yang diantarkan.

Salah seorang gadis menolak dibawa ke tempat penampungan sosial, sedang seorang lainnya, yang mengaku berusia 15 tahun, dibawa ke sana.

Kedua gadis itu tampak bimbang antara kemiskinan dan prostitusi. Mereka mengaku tanpa prostitusi mereka tidak bisa mendapat kebutuhan hidup bagi diri sendiri dan keluarga.

Memindahkan perempuan dewasa dan anak-anak baik di dalam negeri maupun secara internasional memerlukan jaringan. Internet merupakan alat berkomunikasi antara para anggota jaringan kejahatan perdagan manusia.

Kami menemukan bukti anak-anak Rohingya dibawa ke Chittagong dan Dhaka di Bangladesh, Kathmandu di Nepal, dan Kolkata di India.

Di industri prostitusi Kolkata, anak-anak itu diberikan KTP India dan masuk ke dalam sistem. Identitas asli mereka seketika musnah.

Saat berada di Unit Kejahatan Siber di Dhaka, kepolisian setempat menjelaskan bagaimana para pelaku perdagangan manusia menjual gadis-gadis melalui internet. Grup-grup di Facebook, dari yang terbuka untuk siapa saja hingga yang tertutup, menjadi pintu gerbang ke industri seks anak-anak.

Kami lantas diperlihatkan platform yang digunakan para paedofil berbagi informasi di jaringan internet yang tersembunyi melalui aneka kode. Informasi yang dibagikan, utamanya, adalah pengalaman berhubungan seks dengan anak-anak di seluruh dunia.

Seorang pengguna platform menawarkan panduan untuk mengambil kesempatan di tengah krisis pengungsi, khususnya Rohingya. Dia berbagi informasi tentang cara terbaik menghindari pelacakan, memanfaatkan celah aparat keamanan, dan lokasi terbaik memangsa anak-anak.

Meski deretan tulisan tersebut kemudian dihapus aparat, kami mendapat wawasan mengerikan bahwa krisis pengungsi ternyata menjadi lahan kesempatan bagi para paedofil dan pelaku perdagangan manusia.

Hingga kini jaringan pedagang manusia, mucikari, makelar, dan penyedia jasa transportasi prostitusi tersedia secara online dan offline di Bangladesh. Mereka terus memasok perempuan dewasa dan anak-anak untuk bisnis prostitusi.

Krisis Rohingya tidak menciptakan industri seks di Bangladesh, tapi konflik itu meningkatkan pasokan perempuan dewasa dan anak-anak sehingga harga seorang gadis menjadi rendah dan pada saat bersamaan menguatkan permintaan pasar.

Nama-nama dalam artikel ini telah diubah untuk melindungi identitas narasumber.

Artikel ini merupakan karya:

Produser investigasi : Sam Piranty

Konsultan investigasi : Glenn Devitt

Juru kamera: Nick Woolley

Presenter : Mishal Husain

Produser eksekutif: Jacky Martens.

Sumber: bbc.com/indonesia

Baca Juga:

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.