Selasa, 30 April 24

Analisis Terbaru Kecelakaan Km 58: Berapa Kecepatan Grandmax Sebelum dan Sesudah Tabrakan?

Analisis Terbaru Kecelakaan Km 58: Berapa Kecepatan Grandmax Sebelum dan Sesudah Tabrakan?
* Roy Suryo. (Foto: Edwin B/obsessionnews.com)

Oleh: Dr KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen *)

Sama seperti analisis sebelumnya, tanpa sedikit pun menambah duka di kalangan keluarga 12 korban Laka Lantas Km 58 Cikampek Jakarta Senin (8/4/2024) pukul 08.15 WIB, analisis ini dibuat karena banyaknya permintaan, terutama dari media, tentang berapa perkiraan kecepatan Daihatsu GrandMax yang melaju saat terjadinya kecelakaan tersebut. Sekali lagi tentu hasil paling akurat nantinya adalah dengan menggunakan hasil TAA (Traffic Accident Analysis) berbasis Laser-LIDAR milik Korlantas Polri. Jadi ini adalah analisis awal berbasis rekaman Dash-Cam yang sudah beredar.

Hasil ini juga diharapkan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat hari ini yang sedang merayakan Idulitri, Rabu (10/4/2024), bertepatan dengan tanggal 1 Syawal tahun Jawa Jimawal 1957 atau 1 Syawal 1445 Hijriyah yang mana sebelumnya mungkin juga ingin dirayakan oleh para korban Daihatsu GrandMax yang tercatat STNK-nya atas nama Yanti Setyawan Budidarma beralamat Jl. Duren No. 16 RT003/009 Kelurahan Utan Kayu Utara, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur tersebut. Oleh karena itu mohon maaf lahir dan batin untuk semuanya, semoga peristiwa ini tidak mengurangi khidmat Lebaran tahun 2024 ini, meski tentu harus menjadi evaluasi semua pihak.

Kembali kepada peristiwa nahas yang dialami minibus yang disebut-sebut sebagai “travel gelap” oleh berbagai kalangan dengan bus Primajasa nopol B-7655-TGD tersebut, memang sangat memilukan. Karena kalau berbasis analisis dari rekaman Dash-Cam yang sudah beredar di berbagai media sosial sebelumnya, Daihatsu GrandMax bernopol B-1635-BKT ini yang sebelumnya melaju di lajur Contra-Flow arah Jakarta-Cikampek, mendadak berbelok ke kanan dan mengambil lajur normal Jalan Tol Cikampek Jakarta yang hanya dibatasi oleh plastic-cone berwarna orange di sepanjang garis batas Contra-Flow tersebut.

Perkara apakah minibus tersebut mengalami masalah kemudian berusaha menepi (mengapa ke sebelah kanan?) atau mengalami masalah lain, hal ini perlu juga mendapatkan penyelidikan seksama. Karena kalau berdasarkan insting pengemudi, jelas tidak mungkin kalau secara sadar dia mengambil lajur kanan yang berlawanan arah, kecuali memang ada suatu kondisi tertentu, misalnya sopir mengantuk sehingga tidak sadar melenceng atau bisa juga terjadi kondisi yang lebih darurat, pecah ban sebelah depan kanan, sehingga kendaraan “tertarik” ke kanan dan menjadi di luar kontrol kendalinya.

Faktanya berdasarkan rekaman Dash-Cam yang ada, minibus daihatsu GrandMax mendadak melaju ke kanan dengan sangat cepat dan, meski sayangnya rekaman yang beredar sedikit terpotong awalnya, saat terjadi benturan fatal dengan bus Primajasa masih bisa dianalisis seberapa cepat kejadian fatal tersebut. Memang sebagaimana saya tulis kemarin akan sangat bagus apabila selain dengan TAA, petugas nantinya dapat menemukan rekaman-rekaman lainnya yang menunjukkan pra (sebelum) dan saat kejadian tersebut, bukan hanya pasca (setelah) kejadian yang banyak beredar.

Secara teknis jika counter rekaman dimulai saat benturan terjadi, tampak bus Primajasa sebenarnya sudah berusaha membuang kemudi ke arah kiri bermaksud menghindar, namun karena justru Daihatsu GrandMax yang bergerak ke kanan, maka benturan langsung terjadi di bagian depan sebelah kiri bus pada Counter 00.00, satu detik kemudian pada Counter 00.01 tampak minibus sudah dalam posisi (maaf) tergencet alias terhimpit badan bus dengan pagar pembatas jalan tol. Kondisi inilah yang memang membuat fatalistik pada kecelakaan tersebut, karena posisi bus dan minibus berada pada ruang yang sempit dan terbatas pagar jalan tol.

Di detik tersebutlah kemarin saya berani simpulkan bahwa karena saking cepat dan kerasnya benturan, maka pada Counter ke 00.02 badan bus sempat terlihat beberapa kali “melompat” (melindas?) dan mulai timbul percikan api. Bahkan pada Counter ke 00.03 alias hanya 3 detik pasca benturan pertama, bus Primajasa sudah meninggalkan minibus Daihatsu GrandMax pada posisi terbakar dan tergeletak di pagar pembatas jalan tol. Saat itulah juga terjadi tabrakan susulan antara Daihatsu Terios dengan bus dan disusul travel Isuzu Elf menabrak Terios, namun bisa lepas dari rangkaian kecelakaan utama.

Di sini dapat diambil hipotesis sementara bahwa proses kecelakaan fatal di Km 58 tersebut adalah hanya terjadi mulai counter 00.00 hingga 00.03, kemudian jika panjang bus Primajasa ini, termasuk bus besar,  adalah +/- 12 meter, maka proses tertabrak mulai dari awal hingga berakhir sudah dalam posisi minibus terbakar tidak sampai 3 detik saja dan posisi badan minibus sudah melewati panjang bus sejauh 12 meter. Seandainya durasi 3 detik ini dikonversikan ke dalam hitungan per detik, maka dalam 1 detik “kecepatan” tabrakannya saja masih 4 meter/detik.

Padahal sering kita mengonversikan berapa m/detik kalau melihat posisi speedometer kendaraan? Misalnya melaju dengan 50 km/jam itu artinya berjalan sejauh 833 m/menit atau sekitar 13.8 m/detik. Kalau 100 km/jam menjadi dua kali lipatnya, alias sekitar 27.7m/detik. Namun harus diingat ini adalah “kecepatan bebas kendaraan” dan bukan kecepatan kendaraan saat setelah tabrakan atau menghantam hambatan tertentu yang akan sangat mereduksi kecepatan laju kendaraan tersebut. Uji fatalistik dan waktu tabrak semacam ini biasanya jika dalam sebuah manufaktur kendaraan disebut dengan “Impact-Test” yang bisa melihat seberapa fatal efeknya bilamana kendaraan mengalami benturan, namun biasanya yang dilihat adalah besar kerusakannya dan bukan waktu tabrak yang terjadi.

Jadi apakah kita bisa mengambil hipotesis cukup dengan rekaman Dash-Cam ini untuk menentukan seberapa cepat minibus melaju? Meski sudah didapatkan data yang bisa digunakan untuk variabel pertama bahwa proses tabrakan mulai awal, melewati badan bus +/- 12 meter hanya diperlukan waktu 3 detik saja, namun “kecepatan” ini sekali lagi sudah sangat tereduksi oleh kerasnya benturan di awal, sehingga diprediksikan sudah berkurang lebih dari 50% bahkan 75% kecepatan awalnya. Dengan kata lain, mesin sudah terbentur sangat keras saja body GrandMax masih bisa “melaju” sejauh 4 m/detik, maka berapa kecepatan awalnya?

Oleh karena itu dalam kasus laka di Km 58 Jalan Tol Cikampek Jakarta tersebut memang sebenarnya kita memerlukan lagi data pembanding (bisa dari rekaman lengkap Dash-Cam sebelumnya, kalau ada) juga analisis hasil alat LIDAR melalui TAA, namun setidaknya di sini sudah dapat diambil hipotesis sementara bahwa terjadinya kecelakaan fatal tersebut (mulai dari saat benturan pertama minibus GrandMax dengan bus Primajasa) adalah sangat singkat alias hanya 3 detik saja sampai kemudian minibus sudah terbakar dan tertinggal di belakang bus sepanjang 12 meter. Bisa diprediksikan berapa kencangnya kecepatan sebelumnya.

Kesimpulannya, kalau Kakorlantas kemarin dalam berbagai statemennya menyampaikan bahwa kecepatan minibus Daihatsu GrandMax ini diprediksikan di atas 100 Km/jam, memang hal itu sangat masuk akal dan bisa dilogika, karena jika dikonversikan akan masuk perhitungan di atas, apalagi disebut-sebut di TKP tidak ada jejak pengereman yang sempat dilakukan sebelum benturan dengan bus Primajasa terjadi.

Dengan demikian pelajaran terpenting dari kasus ini sekali lagi adalah memang kita harus mempersiapkan kendaraan sebaik-baiknya dan kondisi tubuh pengemudi yang fit agar tidak ada risiko sekecil apa pun yang bisa terjadi. Contra-Flow bisa saja dievaluasi, namun pertimbangkan juga jika selama ini manfaatnya jauh lebih besar dari mudharatnya, tentu hal tersebut jadi hal yang perlu diperbaiki dan disempurnakan, bukan kemudian malah ditanggalkan. []

*) Penasihat sejumlah Klub Otomotif (PPMKI, TBN, Mercedes Benz, dan sebagainya)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.