Jumat, 26 April 24

Tulungagung Penghasil Lele Terbesar di Jatim

Tulungagung Penghasil Lele Terbesar di Jatim
* Panen lele di Desa Gondosuli, Kecamatan Gondang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. (Foto-foto: Arif RH/obsessionnews.com)

Tulungagung, Obsessionnews – Kabupaten Tulungagung penghasil ikan lele terbesar di Jawa Timur (Jatim). Lele Tulungagung dipasarkan ke Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Malang, Blitar, Nganjuk, Lamongan, Solo, Yogyakarta, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

 Menimbang ikan lele.

Menimbang ikan lele.

Tahun 2009 produksi lele sebanyak 6.419 ton, dan meningkat menjadi 9.764,95 ton pada tahun 2014. Adapun nilai penjualan lele tahun 2009 sebesar Rp 109,130 miliar, dan meningkat menjadi Rp 121,270 miliar pada tahun 2014.

Budidaya lele di Tulungagung berbasis masyarakat. Artinya, masyarakat yang memiliki dan mengelola tambak lele. Selain itu ada juga masyarakat yang memiliki lahan bermitra dengan pemilik modal dengan sistem bagi hasil. Hal ini berbeda dengan daerah-daerah lain di mana mayoritas tambak lele dimiliki pemodal besar, sedangkan masyarakat setempat hanya sebagai pekerja.

Dalam lima tahun terakhir banyak warga Tulungagung yang semula bekerja sebagai buruh di kota kemudian pulang kampung, dan beralih profesi menjadi pembudidaya lele, karena berbudidaya lele memberikan penghasilan yang jauh lebih baik dibandingkan bekerja sebagai buruh di kota.

Ikan lele merupakan salah satu alternatif komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Dengan keunggulan mudah dibudidayakan dan harganya relatif terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, menyebabkan prospek usaha beternak lele digemari masyarakat. Bisnis lele ini meliputi bisnis benih, pembesaran, dan bisnis pasca panen. Pasar utama ikan lele warung lesehan dan pecel lele. Di samping itu lele segar maupun aneka olahan ikan lele banyak dijumpai di restoran dan super market.

Sentra lele tersebar hampir merata di Tulungagung, dan yang terbesar di Desa Gondosuli, Kecamatan Gondang. Salah satu sentra produksi lele terbesar di Tulungagung adalah Desa Gondosuli, Kecamatan Gondang. Gondosuli berpenduduk 2.415 jiwa, dan 140 orang di antaranya adalah pembudidaya ikan.

Saat ini lahan budidaya ikan di Gondosuli mencapai ± 20,86 ha dengan kepemilikan lahan rata-rata setiap pembudidaya sekitar 1.000 m2. Secara umum kegiatan budidaya lele di Gondosuli dikembangkan oleh masyarakat di lahan di sekitar pekarangan rumah. Namun, akhir-akhir ini terjadi perubahan paradigma usaha yang dilakukan, yakni sudah mulai banyak masyarakat yang mengembangkan usaha budidaya di areal-areal persawahan. Hal ini dikarenakan dari segi ekonomi usaha budidaya lele lebih menguntungkan dengan sistem pengelolaan yang cukup sederhana dan waktu budidaya yang singkat.

Model budidaya yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di Gondosuli adalah dengan teknologi budidaya ikan di kolam terpal. Keunggulan yang diperoleh dari sistem budidaya ini adalah mudah dalam pengelolaannya. Persiapan lahan seperti pengeringan lahan tidak membutuhkan waktu yang lama, karena tinggal menata dan membersihkan terpal yang dipergunakan. Keunggulan lainnya adalah kolam tidak mudah terkontaminasi oleh lingkungan, karena tanah tidak berpengaruh langsung pada media air yang digunakan. Dengan teknologi budidaya ikan di kolam terpal ini ikan yang dihasilkan tidak bau tanah.

Dengan lokasi budidaya yang terpusat tersebut, Gondosuli mendapat kemudahan dalam pengembangan usaha, terutama terkait jaminan pemasaran baik yang dari pedagang lokal maupun pedagang antar provinsi. Jaminan pemasaran ini secara umum berupa kepastian terserapnya lele dari kegiatan budidaya dan kestabilan harga jual. Bahkan secara umum harga lele tingkat pembudidaya di Gondosuli lebih tinggi Rp 200 – Rp 300 per kilogramnya dibanding harga lele di luar Gondosuli.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan budidaya lele di Gondosuli, yakni kemitraan usaha, kemudahan teknologi budidaya, skala ekonomi produksi, penyeragaman benih, dan inokulasi air media baru dengan media dari kolam lain yang telah berhasil. Kemitraan usaha dijalin antara pemilik modal dengan pemilik tanah. Para pemilik modal melakukan perluasan usaha pada lahan milik penduduk lainnya dengan perjanjian bagi hasil dari keuntungan bersih, yakni 70% pemilik modal dan 30% pemilik tanah. Cara ini cukup efektif memacu masyarakat lainnya yang memiliki lahan pekarangan untuk memproduktifkan lahan tersebut melalui budidaya lele.

Kemudahan teknologi budidaya juga menjadi pertimbangan masyarakat memilih lele sebagai komoditas budidaya. Selain itu, ikan lele dianggap lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang optimum, sehingga risiko kegagalan juga relatif kecil.

Skala ekonomi produksi memegang peran penting dalam menunjang keberhasilan usaha budidaya lele. Secara umum harga ikan lele relatif murah, sehingga terjangkau bagi sebagian besar masyarakat. Tetapi, hal tersebut juga memiliki konsekuensi bahwa keuntungan dari budidaya lele relatif kecil, hanya Rp 1.000 – Rp. 1.200 per kilogram dengan harga Rp 13.000 per kilogram.

Untuk pembudidaya dengan luas kolam yang relatif sempit, nilai produksi yang diperolehnya seringkali dianggap kurang layak. Hal sebaliknya terjadi di Gondosuli, di mana dengan kepemilikan kolam yang cukup luas, produksi lele mampu mencapai skala ekonomi sehingga total keuntungan secara finansia layak dan mampu menjadi sumber perekonomian pembudidaya.

Dari sisi teknis budidaya, pembudidaya lele di Gondosuli menerapkan keseragaman benih dengan ketat. Keseragaman benih tidak hanya diseleksi saat membeli benih, tetapi sebulan setelah ditebar, pembudidaya melakukan seleksi ulang untuk memisahkan benih yang berukuran ekstrim dalam sebuah kolam. Selain itu, persiapan air media sebelum ditebari benih dilakukan dengan menginokulasikan air media lama dari kolam yang memiliki riwayat keberhasilan dalam kegiatan budidaya. Hal ini diduga lebih tepat dengan kebutuhan hidup lele yang dibudidayakan.

Budidaya lele mulai marak di Desa Gondosuli pada tahun 1995. Perkembangan yang sangat pesat terjadi ketika pemerintah melaksanakan program minapolitan secara nasional pada tahun 2005. Melalui program minapolitan ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan berbagai bantuan untuk mengembangkan sektor perikanan budidaya, termasuk budidaya lele. Sebelum tahun 2005 masih ditemui cukup banyak rumah penduduk Gondosuli yang berdinding gedek, tetapi setelah tahun 2005 tidak ada lagi rumah yang berdinding gedek. Kini semua rumah warga berdinding tembok, dan bahkan cukup banyak yang memiliki rumah mewah.

Berkat budidaya lele taraf ekonomi warga Desa Gondosuli meningkat.
Berkat budidaya lele taraf ekonomi warga Desa Gondosuli meningkat.

Sebelum tahun 2005 warga yang memiliki sepeda motor dan mobil masih bisa dihitung dengan jari. Namun, setelah tahun 2005 sepeda motor dan mobil bukan barang mewah lagi. Kini banyak warga yang memiliki sepeda motor daan mobil. Sektor budidaya lele memang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan warga Gondosuli.

Salah seorang pembudidaya lele di Gondosuli yang sukses adalah Katimin. Semula Katimin merantau ke Surabaya dan bekerja serabutan. Ia lalu memutuskan pulang kampung dan beternak lele pada tahun 1996. Modal awalnya berasal dari tabungannya sendiri. Di bawah bimbingan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tulungagung Katimin bersungguh-sungguh mengelola kolam lele. Awalnya memiliki sebuah kolam lele, lalu dari keuntungan menjual lele ia bermitra dengan beberapa orang warga yang memiliki lahan untuk kolam lele dengan sistem bagi hasil. Saat ini Katimin mengelola kolam lele seluas 2 ha dan mempekerjakan 25 orang

Untuk mengembangkan usahanya di sektor budidaya lele tersebut, Katimin meminjam Kredit Usaha Rakyat (KUR) Rp 100 juta dari BRI Cabang Tulungagung pada tanggal 15 Februari 2014. Ia berkewajiban membayar angsuran Rp 250 juta/6 bulan dalam jangka waktu dua tahun. Dalam seminggu produksi ikan lelenya rata-rata 10 ton dengan nilai total penjualan Rp 130 juta.

Katimin
Katimin

“Budidaya lele memiliki masa depan yang bagus. Lele mudah dipasarkan. Saya ingin terus mengembangkan usaha budidaya lele dan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak lagi. Semenjak budidaya lele berkembang pesat di Desa Gondosuli, taraf ekonomi warga meningkat dari waktu ke waktu,” kata Katimin.

Pembudidaya lain yang sukses adalah Maryoto. Ia bermitra dengan 38 orang pemilik lahan untuk budidaya lele seluas 1,5 ha dan produksinya per minggu rata-rata 6 – 8 ton dengan nilai penjualan berkisar Rp 75 juta – Rp 100 juta. Keberhasilannya berbudidaya lele itu karena ia mendapat bimbingan dari DKP Tulungagung. Selain itu kelancarannya berbudidaya lele berkat pinjaman KUR Rp 75 juta tanggal 25 Januari 2014. Dari pinjaman tersebut Maryoto berkewajiban membayar angsuran Rp 12,5 juta/6 bulan selama tiga tahun. (Arif RH)

Related posts

1 Comment

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.