Sabtu, 27 April 24

Tragedi Pendidikan dalam Jebakan Neoliberalisme

Oleh : Darmaningtyas, Pemerhati Pendidikan

Sejarah pendidikan Indonesia mengalami gelombang pasang surut di antara bandul kekuasaan dan kemudian beralih ke bandul kapital. Bila kita petakan secara kronologis, maka dapat dibagi dalam empat kurun secara kronologis.

Pertama, adalah masa awal kemerdekaan yang berlangsung antara 1945-1965, masa Pemerintahan Soekarno atau rezim berikutnya menyebut Orde Lama. Pada kurun ini, pendidikan dalam proses perjuangan (kuantitas maupun kualitas), karena pada saat itu jumlah sekolah, guru, maupun angka partisipasi pendidikan masih amat minim. Oleh karena itu, kesibukan pemerintah pada saat itu adalah berupaya meningkatkan jumlah guru, jumlah sekolah, dan jumlah  murid. Kebijakan-kebijakan yang terjadi lebih diarahkan untuk percepatan memperoleh guru.

Intervensi ideologi dari penguasa tidak terlalu terasa. Hal itu tercermin dari undang-undang pendikan yang lahir pada saat itu, yaitu UU No. 4 Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok Pengajaran di Sekolah junto UU No. 12 Tahun 1954 sebagai pelaksana UU No. 4 Tahun 1950. UU No. 4/1950 adalah UU Pendidikan yang amat cerdas, demokratis, dan toleran.  UU tersebut memberikan otonomi kepada sekolah (negeri maupun swasta) dan orang tua untuk memilih pendidikan yang dirasakan paling cocok.

Corak pendidikan saat itu adalah kebangsaan. Pada periode ini, pendidikan agama diberikan di sekolah-sekolah negeri, tapi keputusan orang tualah apakah anaknya akan diikutkan dalam pelajaran agama atau tidak.

Sedangkan yayasan-yayasan keagamaan diberikan kebebasan mendirikan sekolah sesuai dengan misi keagamaannya tanpa diintervensi oleh birokrasi pendidikan, tapi diberikan subsidi: penuh, setengah, dan tidak sama sekali.

Salah satu materi pelajaran di tingkat pendidikan dasar yang diajarkan saat itu dan setelah hilang kita getuni adalah Pendidikan Budi Pekerti.

***

Kedua, periode 1966 – 1983.  Masa ini adalah masa awal Rezim Orde Baru (Orba) yang memerlukan dukungan stabilitas politik, dan pendidikan merupakan wahana yang strategis untuk melakukan penetrasi ideologis kepada masyarakat secara luas. Rezim Orba memulai dengan menghapus mata pelajaran budi pekerti dan menggantinya dengan pendidikan agama. Meskipun UU No. 4/1950 – di mana pendidikan agama menjadi hak orang tua untuk memutuskan ikut/tidak — tapi berdasarkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan; pendidikan agama menjadi pelajaran wajib dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Praksis pendidikan pada kurun ini banyak mendapat intervensi dari penguasa, terutama yang terasa sekali adalah di tingkat perguruan tinggi guna meredam suara-suara kritis dari kampus.

Pada periode ini juga ditandai dengan pendirian SD Inpres di seluruh pelosok Indonesia sehingga mengatrol sangat signifikan jumlah anak Indonesia yang bersekolah. Tapi pada periode ini juga merupakan titik awal keruntuhan sekolah-sekolah swasta karena SD-SD Inpres itu juga didirikan di desa-desa yang sudah ada SD swastanya. Pemerintah Orba saat itu tidak melakukan pembinaan terhadap sekolah-sekolah swasta yang menjadi perintis pendidikan di suatu daerah, tapi membinasakan.

Pendidikan Moral Pancasila mulai diperkenalkan di sekolah pada periode ini. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) untuk para guru, dosen, murid, dan mahasiswa mulai diperkenalkan pada periode ini juga. Nafas kebangsaan tidak lagi menonjol dalam periode ini, tapi nuansa politik kekuasaan sudah makin terasa. Seragam dengan pakaian jilbab tidak diperkenankan. Sekolah SD mulai membayar juga pada periode awal Orde Baru.

Mulai akhir 1970-an kepentingan bisnis juga sudah mulai masuk ke sekolah melalui  penjualan seragam sekolah, pakaian olah raga, buku-buku pelajaran, dan program study tour, sehingga praksis pendidikan tidak hanya diwarnai intervensi politik dari penguasa saja, tapi juga intervensi kapital yang sudah merangsek ke sekolah-sekolah dari SD hingga SMTA.

***

Periode ketiga, 1984 – 1998 merupakan momentum penting dalam sejarah sistem pendidikan nasional karena pada periode ini ditandai dengan kecenderungan kebijakan dan praksis pendidikan yang mulai condong ke kanan, dimulai dengan kewajiban mengisi formulir bagi setiap murid baru di SD hingga SMTA mengenai pelajaran agama yang akan diikuti. Kebijakan itu dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto (seorang sastrawan yang dikenal dekat dengan militer).

Nugroho Notosusanto pada saat itu juga menampilkan gerak yang demontratif, misalnya  setiap Jumat ramai-ramai bersholat Jumat di Masjid Agung Alzahar dengan para stafnya. Kebetulan jarak antara Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Masjid Agung tidak jauh sehingga dapat ditempuh dengan jalan kaki, dan diliput oleh media massa.

Pada periode ini lahir UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang sempa menimbulkan kontroversial karena mulai mengebiri hak kekhususan sekolah-sekolah swasta berbasis agama.

Jika UU No. 4/1950 menjamin kebebasan hak-hak sekolah-sekolah swasta berbasis agama, maka pada UU No. 2/1989 menghapuskan kebebasan tersebut karena sekolah-sekolah swasta berbasis agama wajib menyediakan guru agama sesuai dengan agama murid, meskipun agama murid berbeda dengan agama yang dianut oleh penyelenggara sekolah.

Sejak Tahun Ajaran 1993/1994 jilbab resmi dapat dipergunakan sebagai bentuk pakaian seragam. Saat itu Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah adalah fasilitator  deklarasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yaitu mantan Rektor Universitas Brawijaya (Malang), sedangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Sekjen ICMI, yaitu Wardiman Djojonegoro.

Pada periode ketiga ini kebijakan dan praksis pendidikan bukan hanya banyak diintervensi oleh penguasa Orba, tapi juga kekuatan politik (agama) yang direpresentasikan oleh ICMI dan menguatnya intervensi kapital. Kapital masuk ke sekolah-sekolah bukan hanya untuk menawarkan produk seragam sekolah, pakaian olah raga, buku-buku pelajaran, dan program study tour saja; tapi juga alat peraga untuk sekolah, ulangan umum besarama (UUB), tes IQ, sepatu untuk murid, pembuatan kartu OSIS, asuransi, dan sebagainya, sehingga suasana sekolah sangat hiruk pikuk seperti pasar.

***

Keempat, periode 1998 – sekarang. Reformasi politik 1998 semula diharapkan akan menjadi titik awal pembaruan pendidikan karena kekuasaan yang otoriter telah runtuh, sehingga institusi pendidikan bisa lebih otonom, kreatif, dan inovatif dalam pengembangan pendidikan. Namun ternyata justru sebaliknya, reformasi politik yang dilanjutkan dengan otonomi daerah (2001) justru merupakan buah simalakama. Ibaratnya, lepas dari mulut harimau langsung diterkam oleh mulut buaya. Kebijakan dan praksis pendidikan tidak menjadi lebih baik, tapi semakin karut marut karena berkelindannya berbagai kepentingan dalam pendidikan, baik kekuasaan, ideologi, maupun kapital.

Aspirasi pendidikan dari kelompok-kelompok tertentu yang selama 53 tersumbat tidak dapat disalurkan, tiba-tiba memperoleh salurannya secara leluasa. Sekolah-sekolah swasta berbasis agama maupun kapital banyak bermunculan paska reformasi. Kebijakan pendidikan yang lebih bersifat agamis pun semakin semarak, terlebih paska pelaksanaan otonomi daerah.

Pada tingkat pendidikan tinggi mulai terjadi privatisasi dan liberalisasi pengelolaan pendidikan tinggi dengan pembentukan sejumlah PTN menjadi badan hukum milik negara (BHMN) . Dalam praksisnya, PTN yang berubah menjadi BHMN ini lebih  mahal.

UU Sisdiknas No. 20/2003 semakin mempertegas proses agamanisasi yang ada dalam UU No. 2/1989 dan memperkuat proses kapitalsasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan, baik di tingkat dasar, menengah, sampai dengan pendidikan tinggi. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah selain diperkenalkan konsep managemen berbasis sekolah (MBS) dan konsep RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang merupakan penjabaran dari UU Sisdiknas pasal 50 ayat (4) agar setiap daerah menyelenggarakan minimal satu sekolah bertaraf internasional.

Namun setelah kami gugat di Mahkamah Konstitusi (MK) pasal 50 ayat (4) itu dibatalkan oleh MK dan secara otomatis RSBI tidak memikiki landasan hukum yang kuat alias bubar.

Rezim reformasi selain membuat UU Sisdiknas No. 20/2003 juga membuat UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU BHP ini merupakan amanat dari UU Sisdiknas pasal 53 ayat (3) tentang pembentukan badan hukum pendidikan. Kebradaan UU BHP ini secara legal formal akan menjadikan kebijakan dan praksis pendidikan nasional menjadi sangat kapitalistik dan beralistik.

UU No. 9/2009 ini juga kami gugat ke MK dan dikabulkan. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan kami dengan menyatakan UU Sisdiknas No.20/2003 pasal 53 ayat (3) itu tidak memiliki kekuatan hukum yang sah. Dengan dicabutnya pasal 53 ayat (3) tersebut yang merupakan jantung pembentukan UU BHP secara otomatis UU BHP tidak memiliki kekuatan hukum alias bubar.

Dibubarkannya UU BHP membuat pemerintah sempat kelimpungan mencari payung hukum untuk PT-PT BHMN, sehingga statusnya sempat dikembalikan menjadi PTN. Untuk mengatasi kevakuman payung hukum tersebut Pemerintah kemudian menyusun UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang secara substantif sebetulnya rohnya tetap UU BHP tapi terbatas pada pendidikan tinggi saja. Dengan adanya UU Sisdiknas No. 20/2003 khususnya pasal 65 yang memberikan payung  hukum untuk masuknya perguruan tinggi asing membuka cabang di Indonesia dan lahirnya UU PT, maka proses privatiasi dan liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia semakin sah dan legal dengan bungkus otonomi pendidikan tinggi.

Padahal, ini sebetulnya merupakan tragedi besar dalam pendidikan nasional karena pendidkan (tinggi) bukan lagi sebagai hak yang dimiliki oleh setiap warga, tapi menjadi barang komoditas yang diperdagangkan.

Ketika pendidikan ada dalam jebakan kapitalisme dan liberalisme, maka fungsi kritis-emansipatoris pendidikan menjadi mandul, peserta didik menjadi objek pasif yang tunduk pada korporasi dan nilai-nilai budaya akan tergerus. Dengan ragam persoalan yang selama ini terjadi, mulai dari tumpulnya kesadaran kritis dan semangat emansipatoris peserta didik, lahirnya peserta didik nir kreativitas dan kian banyaknya anak-anak yang mulai menjauh dari alam kebudayaan Indonesia, maka tidak terlalu ragu untuk mengatakan kapitalisme dan liberalisme atau yang lebih populer disebut neoliberalisme sudah mencengkeram dunia pendidikan kita dan akhirnya menimbulkan banyak tragedi dalam praksis pendidikan.

Dalam perjalanannya, neoliberalisme adalah seperangkat kebijakan ekonomi global yang dikendalikan oleh IMF, Bank Dunia dan korporasi internasioanl. Krisis kapitalisme yang melanda dunia selama kurang lebih 25 tahun kembali ingin dimunculkan dengan liberalisme ekonomi, sehingga kebangkitan ini disebut dengan neoliberalisme. Tanda-tandanya cukup sederhana: yang kaya kian kaya dan yang miskin kian miskin (Martinez and Garcia, 2000) dan (E. Wayne Ross dan Rich Gibson, 2006). Neoliberalisme adalah istilah lain dari liberalisme pasar global dan kebijakan perdagangan bebas (E. Wayne Ross dan Rich Gibson, 2006).

Neoliberalisme mempunyai semangat tunduk pada aturan pasar, memangkas kebijakan publik untuk layanan sosial, seperti pendidikan dan kesehatan, privatisasi aset publik termasuk pendidikan, melemahnya peran pemerintah dan penghapusan konsep untuk kepentingan umum (E. Wayne Ross dan Rich Gibson, 2006).

Pendidikan menjadi salah satu incaran serius neoliberalisme, karena pendidikan adalah pasar besar dan juga arena strategis untuk membungkam munculnya warga negara kritis yang menolak kebijakan global. Kuehn (1999) seperti yang dikutip E. Wayne Ross dan Rich Gibson (2006) mengatakan, “Education is a key target of the neoliberal project because of market size (e.g., global spending on education is more than $1 trillion2), education’s centrality to the economy, and its “potential to challenge corporate globalization if education succeeds in producing critical citizens for a democratic society.

Pendidikan dalam cengkeraman neoliberalisme hanya bertujuan untuk melahirkan tenaga kerja yang tunduk pada kapitalis, menekan pemikiran kritis yang bisa menjadi opoisisi terhadap pemodal. Pendidikan menjadi alat reproduksi ideologi yang hanya menguntungkan kelas sosial tertentu. Agenda-agenda bisnis lebih kental di sekolah dan kampus, mulai dari sponsor usaha yang masuk sekolah hingga pada korporatisasi kurikulum.

Lembaga pendidikan juga dikelola layaknya bisnis, mulai dari adanya standarisasi pendidikan, skema akuntabilitas, insentif keuangan untuk sekolah yang berprestasi tinggi. Kebijakan pendidikan neoliberal menjadikan pendidikan sebagai subsektor ekonomi (Peter McLaren, 2006). Bahkan kinerja dosen dan peneliti pun dinilai kinerjanya dari tingkat kehadiran fisik (absen dengan sidik jari). Presensi seperti itu sebetulnya merupakan tragedi besar pendidikan (tinggi) memperlakukan dosen  seperti buruh pabrik dan membonsai dosen dalam sangkar besi.

Teror utama dari neoliberalisme pendidikan adalah mandeknya kesadaran kritis dan emansipatoris peserta didik. Kesadaran kritis dan kepedulian antar sesama yang menjadi watak inheran dalam setiap manusia pelan-pelan hilang proses pendidikannya sudah berlangsung sebagaimana layaknya perusahaan. Ketika peserta didik masuk sudah dianggap sebagai bahan baku yang harus diolah oleh perusahaan untuk disiapkan sesuai keinginan perusahaan dan kebutuhan pesar. Tentu ini dengan harga yang tak sedikit. Maka ketika peserta didik lulus yang dipikirkan adalah mengembalikan modal yang sebelumnya sudah dikeluarkan banyak. Peserta didik sudah digiring menjadi manusia ekonomi an sich yang dihilangkan kesadaran kritis dan emansipatorisnya dan tercerabut dari kebudayaannya.

Salah satu contoh jurusan mahal adalah kedokteran. Biaya untuk masuk kedokteran tak murah, baik itu swasta ataupun negeri. Universitas Indonesia misalnya, uang pangkal masuk Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) untuk tahun ajaran 2016 sebesar Rp. 25 juta.  Sementara besaran biaya per semester yang harus dibayarkan Rp. 7,5 juta. Universitas swasta, biayanya lebih mahal, seperti Universitas Trisakti Jakarta. Untuk FK berkisar Rp. 548,5 juta sampai Rp. 598 juta, sedangkan FKG sekitar Rp. 448,5 sampai Rp. 513,5 juta (tirto.id/12 Oktober, 2016).

Ketika jurusan kedokteran menjadi bisnis menggiurkan, maka banyak kampus lain berlomba-lomba juga untuk membuka jurusan kedokteran, dari prosedur yang tepat hingga jalan pintas yang dianggap pantas. Majalah Tempo Edisi 19-24 Desember 2016 menurunkan laporan “Obral Izin Sekolah Dokter” . Laporan investigasi mengungkap silang sengkarut kebijakan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir yang menerbitkan izin penyelenggaraan pendidikan dokter bagi lima perguruan tinggi yang tak layak. Dia mengabaikan aturan dan rekomendasi tim evaluasi bentukannya sendiri. Laporan investigasi itu juga menurunkan banyaknya fakultas kedokteran dengan kualitas abal-abal.

Di India, pada dekade 1970-an pernah terjadi gelombang demo besar ketika Pemerintah India menerbitkan izin pembukaan FK baru bagi PTS. Sejak itu, Pemerintah India amat selektif dalam menerbitkan izin FK karena lulusan dari FK itu akan bekerja untuk kemanusiaan. Bagaimana mungkin kita berharap para dokter bekerja untuk kemanusiaan bila proses masuknya saja harus membayar mahal?

Ada aktor-aktor berkuasa dan kaum cerdik cendikia yang terlibat dalam bisnis pembukaan jurusan kedokteran. Kaum cerdik cendikia sudah memproduksi pengetahuannya dan menjadikan praksis pembelajarannya berwatak bisnis yang berbicara untung rugi, bukan sebagai proses pembebasan dan alat untuk membangkitkan kesadaran kritis serta kemanusiaan. Maka tak heran apabila lulusannya menjadi dokter, dimensi kemanusiaannya nyaris hilang. Menjadi dokter bukan membantu dan memberikan pertolongan bagi mereka yang sakit, tetapi lebih didorong oleh motif kapital.

Di sinilah aspek fundamental persoalan ketika ada begitu banyak orang miskin yang ditolak oleh rumah sakit, seakan orang miskin dilarang sakit sebagaimana juga orang miskin dilarang untuk sekolah kedokteran. Usulan tindakan operasi untuk kasus tertentu misalnya, tidak semata-mata didorongg oleh keinginan untuk menyembuhkan si pasien, melainkan telah tersedia dokter spesialis tertentu dan terlanjur investasi beli peralatan yang amat mahal.

Pendidikan dalam jebakan neoliberalisme juga melumpuhkan ingatan historis akan kebangsaan. Sebagai salah satu contoh mari kita renungkan bagaimana pendidikan mampu membangkitkan kesadaran agraris peserta didik sehingga mereka menjadi generasi petani cerdas yang membanggakan. Alih-alih membangkitkan, pendidikan justru membunuh imajinasi anak-anak untuk menjadi petani yang handal. Konstruksi pengetahuan mereka: kalau setelah lulus menjadi petani adalah sebuah kegagalan. Sukses bagi mereka adalah bekerja di perusahaan dan kantoran.

Maka tak heran ketika kian hari generasi petani kita akan punah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Gutomo, peneliti Kependudukan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di tiga desa di Jawa Tengah, menyebutkan bahwa hampir tidak ada anak petani yang ingin meneruskan menjadi petani. Bukan keluarga tak ingin mewariskan, tetapi arah pendidikan yang didapat dikesehariannya memang tak menggiring ke sana dan lebih ke industri (Media Indonesia, 1/Februari/2007). Konstruksi pendidikan yang hanya mengarah untuk melahirkan pekerja-pekarja mesin kapitalis tidak hanya berbahaya bagi tergerusnya generasi petani, tetapi juga berdampak buruk pada ekologi. Industri telah merampah watak kemerdekaan dan juga merampas keberlangsungan ekologi.

Kondisi yang sama terjadi di daerah pesisir. Meskipun sejarah telah menunjukkan bahwa nenek kita orang pelaut dan kekayaan di laut mencapai ribuan triliun rupiah, tapi sedikit sekali sekolah-sekolah yang mengembangkan potensi laut. Demikian pula PTN dan PTS yang mengembangkan program studi kemaritiman terlalu minim. Ini menunjukkan bahwa minat anak muda untuk mengembangkan potensi kemaritiman amat rendah.

Neoliberalisme juga merongrong peserta didik sebagai subyek otonom dan merdeka. Peserta didik digiring menjadi segerombolan pasukan kolosal untuk menghamba pada para kapitalis yang nalar kritisnya sengaja dilenyapkan. Pendidikan berjalan untuk menyokong kuasa kapitalis sebagai raja-raja baru sedangkan peserta didik tak lebih sebagai hamba yang kemerdekaan dibajak. Mari kita lihat tragedi kolosal korporasi pendidikan di Indonesia melalui acara Inbox SCTV yang terjadi di beberapa daerah dengan pola yang nyaris sama: kerjasama antara perusahaan televisi dengan daerah yang melibatkan dinas pendidikan. Dinas Pendidikan kemudian menggunakan kuasanya dengan menyurati sekolah dan mewajibkan setiap siswa untuk hadir ke acara Inbox, bahkan ironisnya lagi daerah harus menyediakan uang pangkal.

Fenomena ini banyak ditemui di beberapa daerah. Di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Dinas Pendidikan (Diknas) Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur mengeluarkan surat perintah mengerahkan seluruh siswa SMP sampai Mahasiswa, baik swasta maupun negeri untuk hadir dalam acara Inbox SCTV live di GOR A Yani Sumenep, selama dua hari, tanggal 12 dan 13 November 2016. Dalam surat tertanggal 10 November 2016 yang ditandatangani Kepala Dinas Pendidikan, Sumenep A Sadik itu, merujuk pada hasil rapat yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Sumenep, Hadi Soetarto, tanggal 7 dan 9 November 2016. Tak tanggung-tanggung, dalam surat itu juga disebutkan, para siswa dan mahasiswa itu diminta hadir sejak pukul 06.00 sampai selesai sejak Inbox SCTV live di Sumenep. Di samping itu juga , Kadiskominfo Sumenep, Yayak Nuwahyudi mengatakan pemda harus menyerdiakan dana kisaran Rp.250 juta untuk acara inbox (portalmadura.com/12/11/2016).

Begitu juga pemerintah Kabupaten Boyolali, membuat surat berisi pemberitahuan agar siswa SMK dan SMA Kabupaten Boyolali menghadiri program musik Inbox SCTV membuat banyak sorotan. Surat nomor 421.3/4539/14/2014 yang ditandatangani Kepala Dinas Dikpora Kabupaten Boyolali Kabid SMA SMK Suyantameminta kepala sekolah agar berpartisipasi dalam acara tersebut dengan mengerahkan siswanya secara bebas dan tertib ke lokasi kegiatan dan siswa diminta hadir di lokasi syuting, sejak pukul 06.30 WIB (Solopost.com/24 /Desember /2014).

Ini juga juga terjadi dengan acara inbok yang digelar di Trenggalek (http://surabayaonline.co/2016/08/07/bupati-trenggalek-dikecam-biarkan-sekolah-libur-hanya-untuk-nonton-pesta-hiburan/). Serta acara Inbox di Kabupaten Kudus(http://www.radiosuarakudus.com/2016/10/pengerahan-pelajar-untuk-menyaksikan-kudus-inbox-karnaval-disesalkan.html).

Kalau kita bertanya ihwal manfaat edukatif dari adanya kerja sama antara stasiun televisi, Pemda dan Dinas Pendidikan setempat serta sekolah, tentu sangat sulit menemukan, kecuali demi berlangsungnya industi hiburan bagi staisun televisi yang bersangkutan dan pencitraan bagi pemerintah daerah. Guru dan siswa adalah sosok yang paling tidak diuntungkan dari acara pergelaran tersebut. Peran guru sebagai intelektual publik mengalami distorsi karena sudah dipolitisasi untuk hanya memerankan sebagai juru ketik saja. Guru juga menganggap siswa sebagai konsumen pengetahuan (Henry A. Giroux, 2004). Inilah efek dari neoliberalism pendidikan yang mampu menundukkan dan membajak nalar kritis siswa dan kedaulatan guru sebagai intelektual publik. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.