Sabtu, 27 April 24

Sisi Lain dari Hukuman Mati Terpidana Narkotika

Sisi Lain dari Hukuman Mati Terpidana Narkotika

Jakarta – Isu hukuman mati sering dijadikan alat pendongkrak popularitas domestik. Pakistan sekarang giat menghukum mati terpidana kasus teroris pasca penyerangan sekolah di Peshawar. Pemerintah Pakistan ingin terlihat giat bekerja memberantas teroris. Padahal, dunia tahu militer dan pemerintah Pakistan main mata dengan kelompok ekstrem.

Di Indonesia, Presiden Jokowi memerintahkan eksekusi mati terhadap enam terpidana kasus narkotika. Perintah eksekusi dilakukan disaat mulai memudarnya popularitas Jokowi akibat gonjang ganjing pergantian Kepala Polisi RI. Memang Jokowi menegaskan tidak akan memberi toleransi apapun terhadap kasus narkotika.

Namun, jika memang pemerintahan Jokowi benar-benar mau menyelamatkan generasi muda dari ancaman narkotika maka langkah yang dilakukan harus menyeluruh. Mungkin hukuman mati akan mencegah kejahatan narkoba tapi yang paling penting adalah pembenahan sistem penjara. Sipir menikmati uang dari napi narkoba yang mengelola penjualan narkoba. Bandar ditembak mati, sipir ciptakan bandar baru. Itu yang terkadang luput dari perhatian pemerintah.

Masih sangat segar dalam ingatan ketika masyarakat, pemerintah dan para penegak hukum dikejutkan oleh skandal “kamar romantis” di Lapas Narkotika Cipinang, Jakarta yang terbongkar pada minggu ketiga Juli 2013 silam. Skandal tersebut mengakibatkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang Thurman Hutapea dicopot dari jabatannya.

Perbuatan yang memalukan itu terbongkar berawal dari tersiarnya foto-foto ruangan khusus di Lapas Cipinang di mana Vanny Rossyane (22), model majalah pria dewasa biasa memadu kasih dan pesta sabu-sabu bersama bandar narkoba Freddy Budiman yang divonis mati PN Jakarta Barat, karena memiliki 1,4 juta butir ekstasi.

Tak sampai dua pekan setelah peristiwa itu, masyarakat kembali digegerkan oleh temuan Kementerian Hukum dan HAM bersama Direktorat IV Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri berupa sejumlah barang bukti sisa pembuatan narkoba jenis sabu-sabu saat melakukan inspeksi mendadak di Lapas Narkotika Cipinang. Berdasarkan penelusuran, narkoba tersebut berasal dari Lapas Narkotika Cipinang. Dari situ, polisi menduga ada home industri pembuatan sabu di sana.

Skandal “kamar romantis” dan adanya sebuah gudang tersembunyi di bengkel kerja Lapas Narkotika Cipinang yang dipakai untuk memproduksi sabu-sabu, menunjukkan betapa fleksibelnya penjara di Indonesia, bagi mereka yang memiliki uang. Kasus terpidana Gayus Tambunan yang terekam kamera tengah menonton turnamen tenis di Bali membuktikan penjara bisa dibeli.

Prinsipnya, tidak ada yang tidak bisa dibeli dengan uang di penjara. Pada sistem yang karut marut di mana kenyamanan sangat minim dan para petugas kurang mendapat jaminan kejahteraan, maka uang pun bicara.

Bisnis narkoba meski berisiko tinggi, mendatangkan uang banyak dalam waktu singkat apalagi penggunanya setiap tahun terus melonjak. Tak heran jika memproduksi narkoba, sangat menarik minat orang-orang yang tidak bertanggung jawab, walaupun pemberantasan pemakaian, peredaran dan pembuatan barang haram itu terus digencarkan oleh pihak berwenang.

Memberantas narkoba tak pelak ibarat mengejar bayang-bayang, makin dikejar makin lari. Ini tantangan berat bagi pihak Presiden Jokowi bersama aparatur di bawahnya, tetapi bukan berarti perang terhadap narkoba bisa berhenti. (Has)

Related posts