Dalam Sepekan Terjadi Dua Kasus Penembakan, Ada Apa dengan Polisi?

Obsessionnews.com - Polri diminta melakukan agenda transformasi secara serius, menyusul terjadinya dua kasus penembakan dalam sepekan terakhir. Pertama kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan, Sumbar, yang kedua kasus polisi menembak pelajar di Semarang.
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie menyebutkan, penggunaan senjata api yang berakibat hilangnya nyawa seseorang menjadi hambatan dalam reformasi Polri. Dua insiden yang terjadi dalam sepekan terakhir menandakan urgensi pengaturan akuntabilitas penggunan senjata oleh Polri.
Baca Juga:
Penembakan Polisi di Solok Selatan: Konflik Kepentingan Tambang Ilegal Tanpa Akhir
"Terdapat sekurangnya empat isu yang juga menjadi bagian dari 130 masalah yang diidap Polri sebagaimana studi Setara Institute dalam Merancang Desain Transformasi Polri (2024)," kata Ikhsan yang juga Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri (UIGM), Palembang, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (26/11).
"Selain soal akuntabilitas penggunaan senjata api, isu lain adalah soal kesehatan mental aparat, bisnis keamanan (pertambangan) dan pembinaan sumber daya manusia Polri," tambahnya.
Baca Juga:
Kabag Ops Polres Solok Selatan Tembak Kasatreskrim, Kapolri: Tindak Tegas!
Menurutnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah memiliki pengalaman terkait penggunaan senjata api oleh aparat, secara tidak wajar. Kasus penembakan yang melibatkan Ferdi Sambo selaku Kadiv Propam salah satunya. Artinya, Kapolri Sigit sejatinya mampu menekan insiden penembakan yang melibatkan personel secara transparan dan berkeadilan.
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute Merisa Dwi Juanita menambahkan, penggunaan senjata api di luar peruntukan telah diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai Kode Etik untuk Petugas Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials ) dan Prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials ) yang diadopsi UN Congress (1990).
Ketentuan internasional tersebut menekankan prinsip legalitas, nesesitas (keperluan), proporsionalitas, dan akuntabilitas dalam penggunaan senjata api. Dengan begitu, Polri perlu mengambil tindakan tegas untuk memastikan insiden serupa kembali terjadi.
Baca Juga:
Kasatreskrim Solok Selatan Tewas Ditembak Kabag Ops, DPR Minta Bongkar Beking Tambang Ilegal
Setara Institute memiliki lima rekomendasi kepada Polri untuk mencegah kasus penembakan di luar peruntukan terulang. Selain perlunya tindakan tegas kepada pelanggar, Polri perlu memastikan SOP terhadap penggunaan senjata api, baik aturan yang berlaku secara universal maupun aturan dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
"Pada Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 48 regulasi tersebut, telah diatur ketentuan, kondisi, dan prinsip penggunaan senjata api yang linear dengan aturan internasional," tutur Merisa.
Dikatakan, insiden penembakan yang terjadi di Solok Selatan dan Semarang menandakan aparat di daerah belum satu padu dalam mendorong transformasi Polri mendukung visi Indonesia 2045, sebagaimana komitmen Kapolri dan jajaran di tingkat Mabes Polri mendorong supremasi hukum dan penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan sebagai menjadi prasyarat bagi tercapainya Indonesia 2045.
"Untuk mencapai kondisi tersebut, tahapan yang dilakukan adalah internalisasi prinsip prinsip HAM pada SDM Polri, serta penegakan hukum yang berkualitas melalui aparat penegak hukum yang berkompeten dan berintegritas," kata dia.
Rekomendasi keempat Setara Institute menyuarakan isu kesehatan mental aparat perlu menjadi prioritas. TEmuan Setara Institute menyimpulkan kesehatan mental aparat yang rentan memengaruhi anggota kepolisian dalam menjalan kinerjanya, sehingga berpotensi memicu tindakan-tindakan yang tidak proporsional. Setara Institute juga merekomendasikan kesejahteraan anggota.
Faktor ekonomi, kata Merisa, mengakibatkan anggota ikut bermain atau membekingi bisnis-bisnis ilegal. Kasus yang terjadi di Solok Selatan mengindikasikan itu. "Keterbukaan motif penembakan yang pada pokoknya adalah bisnis pengamanan dan kemungkinan keterlibatan dalam bisnis ilegal, adalah fenomena gunung es yang sesungguhnya banyak terjadi di berbagai tempat," bebarnya.
"Kapolri harus menempatkan masalah ini sebagai prioritas penataan institusi Polri yang dituntut melakukan transformasi institusi guna mendukung kemajuan Indonesia 2045," kata Merisa. (Erwin)