Diskusi ke-55 Kelompencapir Bertema “Film sebagai Jaminan Pembiayaan pada Perbankan”

Obsessionnews.com – Kelompencapir menggelar Diskusi ke-55 dan sekaligus memperingati Hari Kemerdekaan ke-79 RI dengan mengangkat tema “Film sebagai Jaminan Pembiayaan pada Perbankan”.
Diskusi ini dibuka Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, SH., MH., M.Kn selaku penggagas.
Kelompencapir yang merupakan suatu kelompok diskusi secara rutin menyelenggarakan diskusi bertajuk seputar hukum dan kenotariatan, pada 22/08/2024 di Hotel Royal Kuningan Jakarta kembali mengadakan diskusi ke-55 dengan mengangkat tema tentang dunia perfilman.
Acara ini dihadiri Cahya Rahadian Muzhar (Dirjen AHU Kemenkumham RI), Rano Karno (mantan aktor dan anggota Komisi X DPR RI), Agung Sentausa (produser dan sutradara serta Ketua Asosiasi Sutradara Fil Indonesia), Esa Estheria Vipana (Legal Group Bank Mandiri), Robby Handrajid Hattari (Tenaga Ahli Anggo VII BPK RI), Marny Emmi Mustafa (Anggota Majelis Pengawas Konsultan Kekayaan Intelektual dan Dosen Universitas Jayabaya) serta dipandu oleh moderator Fessy Alwi.
Latar belakang Kelompencapir mengangkat diskusi ini karena melihat industri dunia perfilman yang kadang tercover oleh kegemerlapannya sampai terlupa, bahwa banyak PR yang harus diselesaikan guna bisa menjadikan industri ini menjadi lokomotif bagi ekonomi kreatif dan pariwisata di Indonesia.
Pertumbuhan pesat industri film dan budaya Korea selama dua dekade terakhir telah menjadi inspirasi bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam pandangan Dewi Tenti pemerintah Indonesia harus berperan aktif dalam mengatur dan mengembangkan industri perfilman dengan pendekatan yang holistik.
Negara tidak boleh membiarkan industri perfilman berjalan secara otomatis tanpa intervensi pemerintah atau lembaga negara. Pemerintah harus aktif terlibat dalam mengembangkan industri tersebut sehingga film-film Indonesia dapat bersaing dalam hal kualitas dengan film-film negara lain.
Indonesia seharusnya bisa mencontoh dukungan Pemerintah Korea Selatan yang menjadi faktor penting dalam mendorong industri film di negara tersebut sehingga berkembang pesat.
“Negara tidak bisa membiarkan industri perfilman ini autopilot berjalan begitu saja. Pemerintah harus hadir, lembaga negara harus hadir, sehingga menghasilkan film-film yang berkualitas,” ujar Dewi.
Di tahun 2022 Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 24/2022 tentang Ekonomi Kreatif yang pada Pasal 10 menyebutkan: “Kekayaan intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang berupa kekayaan intelektual yang telah tercatat atau terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, atau yang sudah dikelola baik secara sendiri atau dialihkan haknya kepada pihak lain.”
Hal ini menjadi suatu angin segar bagi dunia perfilman karena dibukanya peluang suatu karya cipta dapat dijadikan objek jaminan pada pembiayaan.
Pada kenyataannya sampai dengan saat ini apa yang diamanatkan dalam PP tersebut belum dapat sepenuhnya terealisasikan. Hal inilah yang menjadi bahan diskusi pada tema ini, dengan hadirnya para narasumber yang ahli di bidangnya, dan para peserta dari berbagai kelompok masyarakat perfilman, akademisi, perbankan, lembaga keuangan dan notaris.
Diharapkan diskusi ini dapat menghasilkan simpulan yang komprehensif dan saran yang solutif bagi terlaksananya film sebagai jaminan pembiayaan pada perbankan
Dalam kesempatan ini Dirjen AHU sebagai Keynote speech menyampaikan,
Pengaturan penjaminan pembiayaan yang berkualitas menjadi salah satu indikator yang diperhitungkan dalam mengukur tingkat kemudahan berusaha dan pertumbuhan perekonomian nasional. Konsep jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.
Fungsi jaminan secara yuridis memberikan kepastian hukum akan pelunasan utang di dalam perjanjian kredit atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian. Sedangkan secara ekonomis, fungsi jaminan adalah memberikan pengamanan pelunasan kredit oleh Debitur Kepada Kreditur.
Pemerintah menyadari pentingnya kemudahan pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga penjaminan, khususnya pembiayaan melalui jaminan fidusia. Selama lebih dari dua dasawarsa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terus melakukan upaya dalam meningkatkan kualitas pelayanan pendaftaran jaminan fidusia.
Jaminan fidusia menjadi salah satu alternatif pembiayaan yang sangat mudah dilakukan oleh masyarakat karena mengatur mengenai penjaminan dengan obyek jaminan berupa benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.
Kemudahan jaminan fidusia yang memungkinkan obyek jaminan fidusia berada dalam penguasaan debitur serta memberikan kedudukan diutamakan bagi kreditur telah menempatkan fidusia sebagai salah satu pembiayaan yang diminati oleh para pelaku usaha karena mereka tetap dapat melakukan usahanya melalui jaminan benda yang berada dalam penguasaannya.
Sementara itu Rano Karno menyampaikan sejarah perfilman di Indonesia bermula dari didirikannya bioskop pertama di Batavia pada 5 Desember 1900, pada awal perkembangan film di Hindia Belanda film bisu pertama berjudul “Loetoeng Kasarung” diproduksi pada tahun 1926 dan membuka jalan bagi banyak karya film lainnya, Pada era Jepang film menjadi alat propaganda untuk kepentingan perang, namun setelah kemerdekaan film-film di indonesia mulai menggambarkan semangat perjuangan bangsa, seperti yang terlihat dalam film Darah & Doa dan Long March Siliwangi pada tahun 1950.
Pasca reformasi 1998 perfilman mulai bangkit kembali dengan film-film yang sukses di pasaran seperti Kuldesak, Petualangan Sherina, AADC, hingga saat ini film Indonesia mampu menguasai sebagian besar layar bioskop di tanah air.
Potensi perfilman Indonesia tidak bisa diremehkan, sebagai contoh film terlaris di Indonesia di urutan pertama, yakni film KKN di Desa Penari yang berhasil meraih lebih dari 10 juta penonton, yang apabila diestimasikan dengan pendapatan 21 ribu rupiah per tiket, maka pendapatannya berkisar Rp 211 miliar.
Maka film seharusnya mendapat tempat penting, karena selain dapat mendorong perekonomian dan pariwisata juga bisa sebagai kolaborator dan corong dari kebijakan pemerintah, melalui film sejarah Indonesia dapat dikenang sampai saat ini.
Rano juga bercerita pengalamannya tentang pembuatan si Doel Anak Sekolahan yang filmnya masih diputar di siaran televisi.
Dalam kesempatan ini hadir sebagai narasumber: Pemaparan materi yang pertama disampaikan Agung Sentausa, Ketua Asosiasi Sutradara Film Indonesia (IFDC)
Dalam diskusi ini Agung Sentausa menyampaikan bagaimana perjalanan produksi film dibuat. Ketika sebuah film diinisiasi, ada dua kategori. Pertama, apakah film tersebut original atau baru dibuat, atau film yang dibuat dari adaptasi seperti dari novel yang sudah terjual sebelumnya yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah film. Dalam proses pembuatan film terdapat business plan, proyeksi, dan financing, sebelum akhirnya dibuat persiapan sebelum produksi film, baru setelah itu ada fase produksi/shooting, dan kemudian pasca produksi.
Dalam pembuatan film terdapat produser, sutradara, crew-crew utama dan actor/aktris, tetapi actor/aktris inilah yang menjadi kunci terhadap financingnya.
Di Indonesia film owner/PH belum ada distributor film, jadi sampai saat ini film owner langsung berinteraksi dengan bioskop, streaming, TV dan lain-lain dalam melakukan penjualan film.
Pemaparan materi kedua disampaikan Dr. Marni Emmy Mustafa, SH., MH. Majelis Pengawas Konsultan Kekayaan Intelektual (MPKKI)
Emmy menyampaikan hal apa saja yang harus diperhatikan dalam suatu hak cipta supaya aman dalam penjaminan pembiayaan.
Dalam memberikan pembiayaan kredit bank, pemilik film harus mendaftarkan karya sinematografinya ke Dirjen Kekayaan Intelektual, pendaftaran tersebut diatur dalam UUHC Pasal 66, Setifikat Hak Cipta Film sebagai bukti otentik sampai dibuktikan sebaliknya, sehingga bila telah dipenuhinya syarat untuk mendapat pembiayaan jaminan pada bank seperti bukti hak cipta film, surat catatan penciptaan, sertifikat, maka film bisa mendapatkan pembiayaan jaminan film.
Selain itu penting bagi bank untuk memiliki mekanisme yang jelas dan dapat dilaksanakan dalam mengeksekusi jaminan tersebut jika terjadi wanprestasi.
Pemaparan materi ketiga disampaikan oleh Rabin Indrajid Hattari, Tenaga Ahli Anggota VII BPK RI
Robin Hattari menyampaikan Pendanaan film di Indonesia ada 4, yaitu pendanaan tradisional, pinjaman lembaga keuangan, pendanaan startup dan pendanaan pasar modal. Di Indonesia pendanaan yang paling sering di pakai adalah pendanaan tradisional yang berasal dari dana pribadi, dana keluarga atau pinjaman dari rekan dengan system profit sharing atau bagi hasil dengan suku bunga tinggi dan tanpa jaminan.
Pendanaan perbankan adalah salah satu mekanisme pendanaan yang sangat memungkin, namun Bank harus memahami mekanisme penilaian hak cipta yang bisa menjadi jaminan atas kewajiban, maka untuk memperoleh pendanaan dari bank penting untuk Perusahaan film merapikan data-data internal seperti laporan keuangan yang mengikuti peraturan PSAK atau data-data lain yang di mana data-data tersebut akan diperlukan baik dalam rangka pendanaan melalui bank ataupun Pasar Modal.
Pemaparan materi keempat disampaikan Asa Estheria Vipana, Legal Group Bank Mandiri
Peran bank sebagai lembaga pembiayaan, sebetulnya bank sangat ingin mempunyai lebih banyak opsi dalam pembiayaan. Namun bank juga harus menerapkan asas kehati-hatian dalam pemberian kredit, maka harus dilihat terlebih dahulu apakah calon debitur dapat bank percaya, lalu dilihat kemampuan debitur dari laporan keuangan yang rapi, prospek kedepannya, dan juga modal yang telah dimiliki oleh debitur sebelum bank memberikan pinjaman Dan yang terakhir adanya jaminan, hendaknya nilai penjaminan melebihi dari nilai pinjaman.
Dalam hal film akan dijadikan agunan utama, maka debitur harus memenuhi kriteria agunan, dalam hal ini apakah hak cipta atas film dapat dinilai dengan uang? Bagi bank sesuatu yang dapat diikat secara yuridis harus diketahui nilainya, harus dapat dinilai dan ada lembaga penilainya.
Dan kepemilikan hak cipta ini harus bisa dipindahtangankan atau dapat dieksekusi, apakah dapat dieksekusi dengan mudah? Karena apabila memiliki nilai ekonomis tapi tidak dapat dipindahtangankan, maka bank akan kesulitan dalam memberi pinjaman atau pembiayaan. Dan yang terakhir bank harus tau siapa pemegang dari hak cipta tersebut agar hak cipta dapat diikat dengan sempurna.
Dari semua paparan yang diuraikan dapat disimpulkan,bahwa masih banyak PR yang harus diselesaikan oleh pemerintah khususnya untuk mendukung pembiayaan melalui perbankan tapi yang terpenting adalah adanya nilai dari suatu karya cipta.
Karena tanpa nilai maka perbankan tidak dapat mengetahui berapa pembiayaan yang harus dikeluarkan. Untuk penilaian ini diperlukan tim penilai yang mempunyai kemampuan, pengalaman dalam hal menilai suatu karya cipta.
Terakhir Christine Hakim menambahkan, bahwa dia mengapresiasi diadakannya diskusi ini dan berharap tidak berhenti sampai di sini dan menjadi awal kepedulian pemerintah dan masyarakat akan pembiayaan untuk perfilman.
Kesimpulan dari diskusi hari ini adalah: Dengan dikeluarkannya PP Nomor 24 tahun 2022 tentang ekonomi kreatif sudah dibuka kesempatan bagi hak cipta untuk dijadikan jaminan pada perbankan, hanya saja amanat itu tidak bisa berhenti di sini masih diperlukan turunan peraturan supaya bank dan lembaga keuangan merasa yakin dan terjamin keamanannya memberikan pembiayaan dengan jaminan hak cipta, dimulai dengan adanya kepastian nilai dari hak cipta. Oleh karenanya diperlukan suatu lembaga penilai independen yang dapat bertindak sebagai apraisal/kurator dari suatu karya cipta.
Kemudian jaminan bahwa hak cipta tersebut tidak akan dialihkan atau diserahkan kepada publik sebelum pembiayaan dilunasi. Oleh karenanya untuk mendukung kepastian dan kemanan diperlukan perjanjian tambahan yang tentunya dapat dibantu peran oleh notaris.
Pada akhirnya semua pihak dapat melihat film sebagai suatu aset yang sangat berharga baik bagi propaganda negara, mitra pemerintah dalam menyampaikan pesan moral kebangsaan, membantu mendorong promosi produk lokal dan pariwisata. Oleh karenanya perlu support dari semua pihak supaya perfilman di indonesia menjadi maju, dan diterima di dalam negeri maupun di dunia luar. (arh)