Penyelesaian Kasus Penculikan Aktivis Bukan di Fairmont dan Pemberian Uang Rp1 M

Obsessionnews.com - Penyelesaian kasus penculikan aktivis prodemokrasi tahun 1997-1998 tidak bisa diselesaikan di Hotel Fairmont dan pemberian uang tali kasih Rp1 miliar kepada keluarga korban. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) mengecam pertemuan yang diinisiasi pihak Istana pada 4 Agustus 2024 yang lalu. Ketua Badan Pekerja Ikohi Wanma Yetty menegaskan negara harus bertanggung jawab menyelesaikan kasus penculikan, penyiksaan dan penghilangan paksa aktivis. Penyelesaiannya harus dilakukan secara prosedur melalui program pemulihan hak para korban. Baca juga: Mayjen Muchdi PR Bantah Terlibat Kerusuhan dan Penculikan "Ikohi memperoleh bukti bahwa pertemuan tersebut diinisiasi dan difasilitasi oleh pejabat staff Kantor Staf Presiden yang pernah menjadi korban penculikan aktivis pada 1998, yaitu Mugiyanto Sipin. Menurut sumber kredibel Ikohi, pertemuan tersebut disertai pemberian uang senilai Rp1 miliar kepada setiap korban dan para keluarga korban yang hadir sebagai tanda tali kasih," kata Wanma Yetty dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (15/8). Ikohi menyebut, acara pertemuan antara para keluarga korban yakni Utomo D. Rahardjo, Paian Siahaan, dan lainnya dilakukan secara picik dan manipulatif. Para keluarga korban tersebut dikumpulkan untuk selanjutnya dipertemukan dengan Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. "Mereka gagal dalam memerankan dirinya di dalam kantor Staf Presiden untuk memenuhi janji mereka tentang program pemulihan hak para korban melalui PPHAM(Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu). Kegagalan dan ketidakmampuan mereka kemudian ditutupi dengan cara memanfaatkan sebagian korban dan keluarga korban yang berpikir pragmatis," keluhnya. Kegagalan tersebut lantas dijadikan celah dan dimanfaatkan inisiator memuluskan tindakan politik transaksional. Bahkan secara culas seolah menunjukkan elite partai Gerindra adalah bagian dari PPHAM. "Bagi IKOHI, cara-cara seperti itu tidak etis dan tidak lebih dari sekadar upaya picik yang memanipulasi kerentanan ekonomi dan kelelahan fisik korban dalam mencari keadilan yang tak kunjung ditegakkan oleh otoritas negara," kecamnya. Menurutnya, cara-cara tersebut pernah terjadi di kasus Tanjung Priok dan Talangsari, Lampung. Polanya mirip, para inisiator memanfaatkan kerentanan ekonomi dan kelelahan korban, termasuk merangkul sebagian korban agar mengajak korban lainnya untuk mau berdamai dengan mahar uang dan janji-janji dukungan ekonomi dan usaha. Menurut Wahyu Susilo, adik kandung dari Wiji Thukul aktivis yang diculik dan hilang, pertemuan di Hotel Fairmont tidak mewakili seluruh keluarga korban dari orang hilang yang sampai saat ini konsisten menuntut tanggungjawab negara. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan kasus pelanggaran berat HAM tidak mengenal kedaluwarsa atau berakhirnya batas waktu penuntutan. “Penghilangan paksa para aktivis adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak mengenal kedaluwarsa, kesalahan pelakunya tidak bisa diampuni dengan amnesti atau atas alasan perintah atasan atau atas dalih pernah ada pengadilan yang digelar. Sampai kapan pun, negara tetap wajib untuk menghukum pelaku utamanya," tegas Usman. (Erwin)