Ketika Demokrasi Melahap Partai Ideologis

Obsessionnews.com - Ironi bagi Indonesia, demokrasi yang menekankan pada kedaulatan rakyat tampaknya gagal melahirkan partai mapan dengan ideologi mantap. Demokrasi yang terbentuk hasil reformasi 1998 seolah mundur ke belakang (set back) ditandai dari banyaknya peristiwa mengiringi pelaksanaan Pilpres 2024. Guru besar filsafat Franz Magnis Suseno dalam acara diskusi bertajuk "Hukum sebagai Senjata Politik" yang digelar Nurcholish Madjid Society di Jakarta, Rabu (19/6), mempertanyakan eksistensi Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Baca juga: Borok Demokrasi Dibongkar oleh Parpol dan Elite Politik Secara implisit Romo Magnis menganggap Indonesia tertatih-tatih dan gagap dalam melaksanakan amanat konstitusi dan perjuangan reformasi. Pria paruh baya menyebut reformasi berhasil mempertegas Indonesia sebagai negara majemuk, dengan mengatasi ragam konflik horizontal namun gagal dalam memberantas praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). "Saya tidak takut segala macam radikalisme. Sebaliknya, kalau orang kecil merasa bahwa Indonesia itu milik mereka yang di atas, kita jangan heran kalau mereka mencari orientasi ideologis yang berbeda," tuturnya. Turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut yakni Guru Besar Antropologi Hukum UI Sulityowati Irianto dan pemikir kebhinekaan Sukidi. Franz Magnis mengingatkan reformasi 1998 merupakan peristiwa sejarah luar biasa menandai upaya rakyat yang dipelopori mahasiswa menerapkan demokrasi. Mempertegas Indonesia sebagai negara hukum dan menghormati hak asasi manusia, namun gagal melahirkan partai-partai berideologi. Kegagalan tersebut, kata Romo Magnis, bisa dilihat dari lemahnya partai-partai parlemen melaksanakan fungsi mengawasi pemerintah. Sebagai contoh, dirinya membeberkan tidak adanya partai yang kencang mengeritisi praktik-praktik bermasalah yang mengiringi suksesi. Bahkan, partai-partai semakin nampak tak lagi memiliki ideologi arah perjuangan. "Yang saya tidak dengar itu kritik dari Dewan Perwakilan Rakyat, dari partai-partai. Saya tidak dengar suara apapun mengenai apakah persiapan pemilu itu positif atau negatif, atau sebagainya. Wakil-wakil kita diam," bebernya. Dirinya mengaku khawatir kalau partai-partai dengan mudahnya dikooptasi pemerintah maka pelaksanaan hukum bakal karut-marut. Dengan mudahnya partai tergiur dengan kedudukan pada kementerian dan BUMN lantas mematikan daya kritis para kader di Senayan. Situasi ini, ujarnya, sudah dapat dilihat sekarang ini. Korupsi jalan terus dan munculnya rancangan produk-produk hukum bermasalah. "Mereka cepat-cepat memasukan undang-undang yang sebenarnya masih kontroversial, problematis," keluhnya. Partai Kiri Menyaksikan perjalanan reformasi membuat Romo Magnis bertanya-tanya, mengapa Indonesia tak lagi memiliki partai kiri yang tangguh. Dia menilai hal tersebut tak lepas dari peristiwa kelam 1965-1966 yang menyasar PKI. Peristiwa tersebut berimbas pada pelabelan kiri sebagai komunis, maupun sebaliknya. Padahal tidak semua yang kiri identik dengan komunis. "Saya kira itu trauma (peristiwa) 65-66, yang kiri dikira komunis, komunis dikira kiri, jadi tidak dipilih," kata dia. "Tetapi suatu demokrasi tanpa partai kiri sebetulnya enggak masuk akal," tambah Franz Magnis. Ketidakhadiran partai yang pro-rakyat dapat diketahui dari riset kecil-kecilan. Mereka yang terpinggirkan pasti kesulitan untuk menjawab, partai mana yang bakal dipilih pada pemilu. "Petani kecil, nelayan kecil, orang yang hidup di pinggir jalan kalau kalian tanya pilih partai yang mana? Ya bisa dikatakan tidak ada pandangan. Partai kita tidak punya orientasi ideologis. Orientasi itu dinasti," kata Romo Magnis. (Erwin)