Geopolitik Nikel dan Kutukan Sumber Daya

Oleh: Eko Sulistyo, Direktur Institute for Climate Policy & Global Politics Kerusuhan politik yang terjadi di Kaledonia Baru beberapa hari yang lalu, menarik untuk kita cermati sekaligus menjadi pembelajaran dalam mengelola risiko geopolitik nikel dan kutukan sumber daya. Meski disebut pemicu utama kerusuhan adalah ketika anggota parlemen Prancis mendukung perubahan Konstitusi Prancis yang akan meningkakan jumlah warga non-pribumi yang diizinkan untuk memilih dalam pemilihan Konggres Kaledonia Baru. Namun, bagi penduduk asli Kaledonia Baru -- suku Kanak yang pro-kemerdekaan -- menganggap reformasi konstitusi itu akan melemahkan pengaruh mereka. Tidak ada penyebab tunggal protes dan kekerasan di wilayah luar negeri Prancis di Pasifik Selatan ini. Selama ini ketegangan pasca kolonial seperti menghantui dan menjadi ancaman bom waktu keamanan di wilayah yang dikenal sebagai produsen ketiga nikel global (6%), setelah Indonesia (62%) dan Filipina (8%), menurut laporan terbaru Badan Energi Internasional (IEA), Global Critical Minerals Outlook 2024. Sementara kekayaan Kaledonia Baru dari industri pertambangan nikel sedang mengalami kesulitan di tengah melimpahnya pasar nikel global. Dengan hampir 30% cadangan nikel dunia, sebagai bahan penting dalam pembuatan baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik, dengan produksi yang anjlok dan hengkangnya investor asing, sektor ini terkena dampak dari pembatasan ekspor oleh otoritas Kaledonia Baru serta tingginya biaya energi. Hal ini menjadikan produksi nikel Kaledonia baru jauh lebih mahal dibandingkan produksi dari Indonesia dan negara-negara pesaing di Asia. Padahal nikel menyumbang hampir 90% ekspor dan memperkerjakan sekitar seperempat angkatan kerja penduduk Kaledonia Baru (IRIS, 24/5/2024). Ketegangan politik dan kesulitan ekonomi sudah bisa menjelaskan sumber kerusuhan di wilayah yang menjadi rumah bagi 270.000 jiwa, 41% di antaranya adalah orang Kanak Melanesia dan 24% dari Eropa, sebagian besar orang Prancis. Namun ambisi baru Prancis untuk mengontrol pasokan nikel di Kaledonia Baru tidak hanya telah melibatkan ekstraksi nikel, kolonialisme, dan klaim kedaulatan masyarakat adat. Tapi juga menyeret geopolitik nikel tepat di jantung kawasan maritim tempat Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) berebut pengaruh dan sumber daya yang makin meningkat. Geopolitik Nikel Nikel termasuk diantara mineral yang menghadapi risiko geopolitik besar karena keinginan dunia terhadap teknologi seperti panel surya, mobil listrik, dan baterai berkembang pesat. Namun akibat konsentrasi geografis mineral ini, dan dunia tidak dapat memenuhi kebutuhan pasokan, menjadikan nikel menjadi sumber daya strategis untuk rantai pasokan teknologi masa depan dan rendah karbon yang banyak diperebutkan. Kini terdapat 200 kebijakan dan peraturan di 25 negara yang menjamin praktik mineral, dimana 100 regulasi telah diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir. Diantaranya, The European Union’s Critical Raw Material Act, The US’ Inflation Reduction Act, Australia’s Critical Minerals Strategy, dan Canada’s Critical Minerals Strategy, yang semuanya bertujuan untuk mengamankan rantai pasokan mineral sekaligus mengimbangi peningkatan permintaan pasar yang pesat. Keinginan Prancis untuk mempertahankan kendali atas Kaledonia Baru yang kaya nikel dimotivasi menjadikan Kaledonia Baru sebagai Eldorado-nya Prancis. AS dan negara-negara anggota Uni Eropa (UE) lebih dulu berjuang untuk mengamankan rantai pasokan mineral-mineral penting mereka sendiri untuk mengejar ketertinggalan dari Tiongkok, yang telah berinvestasi dan mengendalikan sebagian besar pasokan global. Tidak heran jika kerusuhan di Kaledonia Baru dan sanksi kepada Rusia terhadap logam dan mineral termasuk nikel, mendorong harga nikel global di pusat bursa logam London Metal Exchange (LME) melonjak 5,5% sejak September tahun lalu (Bloomberg, 17/5/2024). Kenaikan harga ini juga dipicu oleh laporan IEA mengenai kekurangan pasokan mineral penting di masa depan, termasuk nikel, akibat pertumbuhan yang cepat dalam permintaan kendaraan listrik, penutupan tambang dan melambatnya investasi (IEA, 2024). Meski fluktuasi harga komoditas nikel terjadi di pasar global, industri nikel Kaledonia Baru mengalami kesulitan bahkan sebelum krisis politik akibat penurunan harga nikel global sebesar 45% pada tahun lalu. Kaledonia Baru yang tergantung pada ekonomi nikel sangat terguncang dan sulit bersaing dengan Indonesia, produsen nikel terbesar di dunia. Tingginya biaya energi dan pembatasan ekspor dalam beberapa dekade makin membuat produksi nikel Kaledonia Baru lebih mahal dan tidak menguntungkan. Kutukan Sumber Daya Krisis nikel di Kaledonia Baru merupakan gejala baru kutukan sumber daya dan ketergantungan pada nikel, yang menjadi berkah ketika harga tinggi dan menjadi masalah besar ketika harga pada titik terendah. Tidak ada permasalahan yang tidak berasal langsung atau tidak langsung dengan nikel di Kaledonia Baru. Nikel adalah bagian dari kehidupan, sejarah dan takdir masyarakat Kaledonia Baru. Krisis politik di Kaledonia Baru juga tidak bisa dipisahkan dengan urusan emas hijau ini. Di masa lalu, kepemilikan sumber alam dipandang sebagai sumber kekayaan dan kekuasaan bagi perekonomian. Bahan mentah membuka jalan bagi dominasi kolonialisme Inggris pada abad ke-19 dan AS pada abad ke-20. Saat ini, posisi Tiongkok di segmen pemurnian mineral dalam transisi rendah karbon merupakan langkah menuju arah tersebut. Namun, bagi negara-negara produsen yang posisinya lebih hulu dari sektor mineral (tambang), kepemilikan bahan baku belum menjadi jaminan pembangunan, bahkan bisa menjadi jebakan yang terkait kutukan sumber daya. Kutukan sumber daya, atau paradoks kelimpahan, menurut Syed Mansoob Mursheed (2018), The Resource Curse, mengacu pada pola dimana, alih-alih pemerintah menggunakan pendapatannya sebagai berkah untuk kesejahteraan, kemunduran demokrasi terjadi dan berkontribusi pada tingginya konflik, kemiskinan dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Contoh utama fenomena ini adalah Republik Rakyat Kongo dengan kelimpahan berlian menghasilkan pemerintahan yang korup dan tidak demokratis. Berlian menyediakan dana bagi pemerontak di negara tersebut untuk mempertahankan upaya perang mereka, dan menciptakan ketidakstabilan terus menerus. Kaledonia Baru akan menghadapi tantangan yang sama, bahkan bisa lebih besar lagi, akibat apa yang disebut “green-washing” terkait dengan mineral, dimana investor membenarkan pembangunan yang tidak demokratis untuk mencegah konsekuensi terburuk dari perubahan iklim. Kaledonia Baru menjadi studi kasus yang menarik bagaimana menavigasi geopolitik nikel dan mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab guna menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil. Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki tantangan yang lebih kompleks. Untuk itu, industri nikel Indonesia tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan dan memerangi perubahan iklim, tapi juga mengatasi ketegangan masyarakat lokal, mendorong pertumbuhan demokrasi, dan menghindari jebakan kutukan sumber daya. []