Menanti DPR Bertaring Lagi...

Obsessionnews.com - Sejak reformasi, boleh jadi dua periode terakhir menjadi kinerja terburuk DPR. Parlemen cenderung menjadi corong kekuasaan, dan mandek dalam melaksanakan tiga fungsi utama yakni melakukan monitoring, legislasi dan bujeting. Peneliti Formappi Lucius Karus kerap mempersoalkan masalah tersebut. Sekalipun memiliki kewenangan kuat, legislator menunduk dan terkesan menjadi kaki tangan kekuasaan. Baca juga:DPR Jangan Lanjutkan Pembahasan RUU Krusial Publik sudah kadung dipertontonkan gelagat itu. Khususnya kaitan dengan revisi undang-undang. Mulai dari UU IKN, KPK, pengesahan Rancangan KUHP, dan rencana merevisi sejumlah perundang-undangan pada sisa masa jabatan anggota DPR periode 2019-2024. Lucius menilai, hal tersebut tak lepas dari perubahan cara pengambilan keputusan mengikuti UU MD3 yang kali terakhir diubah pada 2019 untuk mengubah kursi pimpinan MPR dari 5 menjadi 10. UU MD3 selama 2014-2019 sudah empat kali diubah, dan sempat mencuat wacana untuk kembali direvisi seiring berakhirnya Pemilu 2024. Menurut Lucius, pola pengambilan keputusan yang disederhanakan cukup melalui fraksi, bisa jadi membuat anggota legislator tumpul. Tak nampak lagi keberanian anggota berseberangan dengan partai untuk memperjuangkan kepentingan publik. "Kita tak pernah melihat lagi atau mendengar lagi, bagaimana gigihnya seseorang, sebagai wakil rakyat, sebagai anggota DPR, seperti yang pernah terjadi periode 2009-2014, ada satu orang anggota DPR yang nekat, melawan partainya saat rapat paripurna," kata Lucius, dalam sebuah acara diskusi publik, yang digelar secara daring, di Jakarta, Jumat (14/6). Lucius menyinggung mendiang Lily Wahid, yang berani bersikap berlawanan dengan partai, ketika voting pada rapat paripurna. Adik almarhum Presiden Gus Dur mendukung hak angket Century dan mendukung hak angket mafia pajak. Selepas 2014, tak nampak lagi betapa gigihnya anggota DPR memperjuangkan kepentingan publik melalui paripurna, karena mekanisme voting anggota tak diterapkan lagi. Semua keputusan cukup diambil pada tingkat fraksi, absensi kehadiran dalam paripurna, juga cukup menghitung jumlah fraksi. "Jadi ada 9 fraksi kalau 5 sudah hadir sudah oke rapatnya, sudah bisa disahkan juga undang-undang, atau keputusan-keputusan lain," keluhnya. Mandeknya kinerja DPR, menandakan DPR periode 2009-2014 menjadi parlemen terakhir yang masih memiliki greget. Anggota DPR masih memiliki taring dalam mengawasi kinerja pemerintah. Sementara dua periode terakhir, kata Lucius, DPR hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah, untuk memproses sebuah kebijakan secara konstitusional namun banal, tanpa memerhatikan dampak dan manfaat untuk publik luas. Rasanya, mereka yang duduk di DPR tak lagi bisa diharapkan untuk memperjuangkan kepentingan publik yang substantif. "Kalau semua sudah diambil alih partai, ya sudah, mendingan ketua fraksi saja yang rapat, atau ketua partainya. Kita tidak perlu repot-repot memilih 580 anggota dewan, ribet di pemilu doang. Sudah begitu sederhana sekali kerjanya, mereka hanya harus berdandan setiap hari, rapat, begitu, tanpa kemudian merasa punya kuasa untuk menentukan sebuah kebijakan di negara ini," ujarnya. DPR periode 2019-2024 bakal berakhir pada hitungan bulan ke depan. Wajah-wajah baru bakal menghiasi parlemen. Mungkinkah ada perubahan? (Erwin)