Sabtu, 27 April 24

Presiden Trump Stop Imigran dari Negara Berpenduduk Islam

Presiden Trump Stop Imigran dari Negara Berpenduduk Islam

Oleh: Muhammad AS Hikam, Pengamat Politik Universitas Presiden

Janji Presiden ke-45 AS, Donald J. Trump (DT), saat kampanye Pilpres untuk menstop arus migrasi dan izin masuk ke AS dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim tertentu, tampaknya akan segera menjadi kenyataan. Sebuah draft rancangan Perintah Eksekutif (Excecutive Order/EO), dari Gedung Putih telah beredar di media dan publik. Kendati draft tersebut bisa saja mengalami perubahan-perubahan sebelum diresmikan, namun hal itu tak menghentikan maraknya kontroversi di ruang publik negeri Paman Sam itu, khususnya di kalangan aktivis pembela HAM, organisasi-organisasi pembela hak-hak sipil, kalangan Partai Demokrat, dan bahkan dari kalngan kelompok kanan Kristiani yang sejatinya mendukung pendekatan-pendekatan yang lebih simpatik dalam menyikapi krisis dalam hal para pengungsi, khususnya dari Timteng.

Menurut portal berita online AS yang berpengaruh, The Huffington Post, ‘bocoran’ draft EO tsb berisi beberapa poin, antara lain:

1) Memblokir izin-izin penerimaan pengungsi tanpa batas waktu dari negara yang sedang berperang seperti Suriah.

2) Melarang semua imigran dan noimigran masuk ke AS selama 30 hari dari negara-negara yang tersebut pada Bagian O, Pasal II, Seksi 203 dari UU Th 2016 Tentang Apropriasi Terkonsolidasi, yakni: Irak, Suriah, Iran, Sudan, Libia, Somalia, dan Yaman.

3) Menunda pemberian visa kepada negara-negara yang mendapat ‘perhatian khusus’ (special concern). Setelah 60 hari, Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS), Kementerian Luar Negeri, dan Dewan Intelijen Nasional (DNI) diperintahkan utk menerbitkan daftar negara-negara yang tidak mematuhi permintaan dari AS untuk memberikan informasi yang diperlukan untuk masalah itu. Warganegara dari negara-negara tersebut akan dilarang masuk ke AS.

Tak pelak lagi, jika EO ini jadi ditandatangani, Presiden Trump menunjukkan bukti bahwa dirinya bersungguh-sungguh ketika berpidato di depan khalayak kampanye Pilpresnya terkait dengan kebijakannya jika terpilih menjadi Presiden untuk bersikap tegas terhadap para migran dan pendatang dari negara-negara Muslim.

Jika kita lihat dari daftar negara-negara yang secara eksplisit disebut, maka negara-negara tersebut adalah yang selama ini dianggap sebagai sumber ancaman bagi AS dan yang dianggap menjadi pelindung bagi organisasi Islam radikal serta terorisme internasional.

Indonesia dan negara-negara berpenduduk Muslim di ASEAn dan Asia Selatan, tidak secara eksplisit ada dalam daftar tersebut. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan adanya berbagai kebijakan khusus terkait migrasi dan pemberian visa bagi warga negara mereka, terutama yang beridentitas Muslim.

Yang menarik adalah, menurut Huffington Post, ada pengecualian yang diberikan kepada para migran Non-Muslim dari negara-negara yang termasuk dalam daftar yang dilarang tersebut, dengan syarat bahwa mereka adalah pemeluk agama minoritas yang mengalami persekusi di negara-negara mayoritas Muslim tersebut.

Perkecualian seperti ini, otomatis akan memancing respons negatif bagi Pemerintah DT karena berarti kebijakan yang dibuatnya benar-benar ditujukan kepada individu-individu pemeluk Islam. Padahal kebijakan sebelumnya dikatakan oleh DT bahwa kebijakannya tidak ditujukan khusus kepada pemeluk agama Islam!

Dinamika politik AS pasca-terpilihnya Presiden DT masih dipantau dan direspons secara luas di seantero dunia, karena apapun kebijakan nasional dan internasional yang akan dibuat oleh sang Presiden pasti mempunyai dampak signifikan, karena negeri tersebut masih merupakan salah satu negara adikuasa. Kendati AS semakin mendapat pesaing yang tangguh seperti Rusia dan Tiongkok serta negara-negara yang industri baru seperti India, Korsel, Brazil, dan lain-lain, namun secara geopolitik global masih paling berpengaruh.

Namun demikian, bukan berarti kekuatan AS tersebut akan bersifat permanen manakala kebijakan pemimpinnya dipersepsikan akan menciptakan gejolak besar di dunia. Apalagi jika Trump sendiri mendapat perlawanan cukup serius di dalam negeri karena kebijakan-kebijakannya yang dianggap kontroversial serta bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang selama ini dianut oleh negara dan rakyat AS.

Volatilitas politik di AS akan membawa pengaruh bagi ekonomi nasional dan internasional pula. Bukan tidak mungkin reaksi-reaksi perlawanan akan muncul dari negara-negara yang selama ini menjadi mitra dekat AS sendiri, seperti negara-negara di Uni Eropa, Timur Tengah, dan juga di Asia Pasifik.

Trump boleh saja melakukan perubahan-perubahan drastis dalam kebijakan politiknya di dalam dan luar negeri, tetapi dia juga mesti berpijak kepada realitas dunia yang semakin saling tergantung dan menjadi “desa global (Global Village) ini. Pemerintah Trump tetap harus melakukan langkah-langkah yang konstruktif dan akomodatif baik ke dalam maupun ke luar, dan tidak malah mengembangkan sikap jinggoistik dan nasionalisme yang konservatif sebagaimana kini banyak dipersepsikan orang. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.