Sabtu, 27 April 24

Perubahan Paradigma dalam Pengelolaan SDA

Perubahan Paradigma dalam Pengelolaan SDA

 

Perubahan Paradigma dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
Oleh: Gede Sandra*

 

Paradigma Lama dan Jerat Neo-Kolonialisme

Konstitusi Indonesia, pasal 33 UUD 1945 ayat (3) menyebutkan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun, selama lebih dari 47 tahun, sejak berkuasanya Orde Baru di tahun 1967 hingga akhir pemerintahan SBY di 2014, paradigma dalam tata kelola sumber daya alam (SDA) seolah mengabaikan Konstitusi. Prinsip pengelolaan SDA selama masa itu adalah tebang-ekspor (untuk kayu), keruk-ekspor (untuk tambang), tangkap-ekspor (untuk ikan), dan sedot-ekspor (untuk migas), yang kita sebut sebagai “paradigma lama”.

Sejak era Orde Baru, SDA hutan kita habis  ditebangi, kayu gelondongan tanpa diproses langsung diekspor ke luar negeri. Bank Dunia saat itu tidak menyarankan Indonesia untuk membangun industri pengolahan kayu dengan alasan “tidak ekonomis”. Kayu gelondongan asal Indonesia tersebut kemudian diproses negara lain menjadi berbagai produk turunan yang harganya berkali-kali lipat, menyerap banyak tenaga kerja di negara tersebut, kemudian kita mengimpornya dengan nilai tinggi. Jelas bahwa kekayaan alam kita, kayu hutan Indonesia, tidak digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia, melainkan untuk kemakmuran rakyat negara lain.

Begitupun dengan perlakuan terhadap SDA galian tambang. Tanah yang mengandung nikel, tembaga, dan emas di Papua, Sulawesi, dan Nusa Tenggara dikeruk dan langsung diekspor dengan harga murah. Sesampainya di negara tujuan ekspor, tanah tersebut diproses dalam smelter, menyerap ribuan tenaga kerja di negara tersebut, menghasilkan bijih tambang murni yang harganya berpuluh kali lipat. Lagi-lagi Indonesia kehilangan kesempatan untuk mempergunakan SDA tambang demi kemakmuran rakyatnya, yang dimakmurkan sekali lagi adalah rakyat negara lain.

SDA Ikan juga bernasib sama. Ribuan ton ikan hasil tangkapan di perairan kaya ikan di Indonesia bagian timur dieskpor (secara legal maupun ilegal) setiap tahunnya ke negara-negara lain dengan harga murah. Ikan asal Indonesia tersebut kemudian diproses di industri perikanan negara-negara tersebut menjadi produk yang bernilai tinggi, menciptakan lapangan kerja bagi rakyat di negaranya, kemudian produknya kita impor dengan harga mahal. Sekali lagi kita kehilangan kesempatan untuk mempergunakan SDA ikan demi kemakmuran rakyat Indonesia terutama di bagian timur.

SDA gas alam pun senasib. Puluhan triliun cubic feet (TCF) gas alam di Arun, Bontang, dan Natuna selama puluhan tahun diekspor dalam bentuk LNG ke negara-negara lain dengan harga murah. Di negara-negara tersebut, gas alam asal Indonesia diproses dalam industri-industri petrokimia, menyerap ratusan ribu tenaga kerja di sana, menghasilkan produk-produk turunan yang nilainya berpuluh kali lipat. Kemudian, seperti biasa, kita impor produk-produk petrokimia tersebut yang hingga saat ini nilainya mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Sementara kini cadangan gas di Arun telah habis, dan gas alam di di Bontang sudah tinggal sedikit, tanpa meninggalkan “jejak” industri petrokimia yang berarti di wilayah sekitarnya.

Jadi memang para Founding Father kita sudah memiliki visi yang jernih dalam menyusun Konstitusi setelah proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Agar Indonesia tidak kembali terjerat pada kolonialisme, Founding Father berharap generasi pemerintahan setelah 1945 dapat teguh melaksanakan Konstitusi dalam pengelolaan SDA. Namun, faktanya ternyata pemerintah Orde Baru hingga Reformasi (1967-2014) tidak sungguh-sungguh melaksanakan Konstitusi dalam pengelolaan SDA, sehingga Indonesia kembali terjerat pada neo-kolonialisme. Seperti era kolonialisme kuno, saat ratusan tahun Indonesia menjadi “sapi perahan”- menggadai SDA-nya memperkaya industri negara-negara Eropa, di era neo-kolonialisme Indonesia yang berlangsung selama 47 tahun, SDA kita kembali diekspor murah untuk memperkaya negara-negara di Asia Timur dan Amerika Serikat. Jadi, sesungguhnya “paradigma lama” dalam pengelolaan SDA telah menjerat Indonesia dalam perangkap neo-kolonialisme.

 

Paradigma Baru demi Tegaknya Konstitusi

Masa lalu yang kelam tidak perlu diulangi, saatnya Bangsa kita bangkit dan belajar dari sejarah seperti nasihat Bung Karno, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (jas merah)”. Paradigma lama harus ditinggalkan, saatnya kita jelang “paradigma baru” dalam pengelolaan SDA yang sesuai dengan amanat Konstitusi 1945 agar Bangsa Indonesia dapat lepas dari jerat neo-kolonialisme. SDA tidak boleh lagi hanya sekedar ditebang-keruk-tangkap-sedot kemudian diekspor mentah-mentah, namun sudah saatnya SDA harus diproses dahulu di industri dalam negeri – yang akan menyerap ratusan ribu sampai jutaan tenaga kerja – menjadi produk-produk yang bernilai tambah tinggi, baru kemudian dapat diekspor maupun digunakan untuk keperluandomestik. Ini berlaku untuk seluruh jenis SDA kita yang masih tersisa.

Gong dimulainya “paradigma baru” dalam pengelolaan SDA telah dipukul oleh Presiden Jokowi saat Beliau memutuskan pengembangan gas alam Blok Masela di darat (onshore) pada 23 Maret 2016 di Pontianak (yang kemudian ditindaklanjuti oleh Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli lewat rapat koordinasi pada 11 Mei 2016). Perlu digarisbawahi, bahwa keputusan pengembangan di darat ini bukan sekedar memindahkan kilang LNG dari yang awalnya di laut (floating LNG) menjadi ke darat, namun yang lebih penting adalah memastikan bahwa gas alam yang dipipanisasi ke darat sebagiannya dapat dimanfaatkan untuk bahan baku industri petrokimia terintegrasi yang akan dibangun di kawasan sekitar kilang LNG darat (dengan model non-enclave). Sebagian kecil lagi gas alam dari pipanisasi yang sama akan diubah menjadi CNG (compressed natural gas) untuk didistribusikan lewat kapal-kapal angkut ke kawasan sekitar Masela sebagai bahan bakar pembangkit listrik maupun sebagai bahan bakar industri manufaktur kaca dan keramik (yang bahan bakunya melimpah di kepulauan NTT) serta bahan bakar industri rumput laut dan industri perikanan (yang bahan bakunya melimpah di perairan Maluku).

Sangat diharapkan pihak-pihak, baik itu di pemerintahan seperti SKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian ATR, Kementerian LHK, Kementerian Tenaga Kerja, dsb maupun di kontraktor Blok Masela dan mitranya, yaitu Inpex dan Shell dapat bekerja sama dengan baik mensukseskan “paradigma baru” dalam pengelolaan SDA di Indonesia. Khususnya bagi kontraktor dan mitranya, sedapat mungkin akan diberikan skema keuntungan “yang wajar” agar bisnis mereka dapat tetap berkembang- yang tentu sembari juga dapat memberikan “kemakmuran yang sebesar-besarnya untuk rakyat” Indonesia demi tegaknya Konstitusi kami. ***

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.