Sabtu, 27 April 24

Perang Akhir Zaman: Ekonomi Dunia Dilanda Kemelut Krisis

Perang Akhir Zaman: Ekonomi Dunia Dilanda Kemelut Krisis

Oleh: Salamuddin Daeng (Pengamat Ekonomi AEPI Jakarta)

Dunia tengah dilanda kemelut, global turmoil, serta ketidakpastian, yang ditandai oleh menurunnya pertumbuhan ekonomi global terutama ekonomi China, meningkatnya resiko keuangan dan kecendrungan kebijakan yang mengarah kepada proteksionisme yang justru dilakukan oleh negara negara yang selama ini menjadi pemimpin globalisasi yakni Inggris dan Amerika Serikat.

1. Kemenangan Donald Trump

Terlepas dari berbagai kontroversi yang dilakukan Donald Trump selama masa kampanye Pilpres Amerika Serikat (AS), Pemerintah Indonesia diharapkan mengambil makna dari peristiwa politik yang menggemparkan dunia dalam beberapa pecan terakhir, yakni kemenangan Donald Trump yang tidak disangka sangka oleh bayak pengamat, media dan lembaga survey.

Donald Trump adalah sosok yang sangat kontroversi baik bagi masyarakat Amerika Serikat maupun internasional. Dalam berbagai kesempatan Trump mengatakan akan mengakhiri semua kesepakatan perdagangan bebas yang disepakati presiden Barack Obama. Dia mengancam akan membangun tembok dalam pengertian sebenarnya dalam melindungi Amerika serikat dari gempuran imigran yang merebut lapangan kerja para pekerja AS. Dia juga mengatakan akan mengentikan bantuan militer kepada negara lain yang dianggap sebagai pemborosan dan banyak lagi statemen yang menimbulkan kekuatiran masyarakat global.

Duta Besar Prancis untuk AS dalam akun twitternya mengatakan bahwa “Dunia sedang runtuh di depan mata kita. Pusing,” demikian kicauannya. Namun yang pasti Trump menang telak dalam pemilihan. Twitter yang akhirnya dihapus karena banyak diserang oleh anak anak muda pendukung trump yang menyebut bahwa Trump adalah kemenangan rakyat AS yang selama ini merasakan didustai oleh elite.

Namun bagaimanapun juga Trump sudah memenangkan Pilpres. Dia dipilih oleh masyarakat Aemrika Serikat. Dia menang telah dalam electoral vote yang membuktikan pilihan mayoritas masyarakat AS. Pilihan tersebut berarti rakyat AS mendukung gagasan dan program Trump.

Apa relevansinya dengan keadaan sekarang?. Dunia tengah mengalami krisis, runtuh semakin cepat dari apa yang diperkirakan. Setelah krisis melanda AS tahun 2008, berulang dengan penyebab yang sama yakni keruntuhan sektor property namun dalam bentuk yang lain melanda China pada tahun 2014. Sementara AS banyak terlibat mengurusi krisis global, membangun Trans Pacific Partnership (TPP), terlibat dalam konflik laut china selatan, dan lain sebagainya yang dipandang oleh trump sebagai kesalahan.

Apa antitesa dari Trump terhadap keadaan ekonomi AS dan dunia dewasa ini ? Dia mengkampanyekan suatu langkah penyelamatan, suatu kebijakan nasionalis dan protectionis yang tentu bertentangan dengan semangat kapitalisme AS dan bahkan pada bagian tertentu bertentangan dengan Partai Republik yang mengusungnya.

Apapun penilaian kita bahwa nasionalisme yang ditawarkan Trump itu cenderung mengarah kepada sifat sifat Chauvinism, namun itulah nasionalisme yang dipilih oleh masyarakat AS sekarang dalam mengatasi masalah ekonomi politik yang dihadapinya. Boleh jadi nasionalisme itu baik untuk orang amerika dan suram bagi bangsa lain.

Tidak hanya AS yang memilih nasionalisme dalam mengatasi kemelut ekonominya. Bari baru ini inggris melakukan sebuah tidakan yang sama dengan keluar dari zona perdagangan Uni Eropa (EU). Inggris tidak mau mengambil resiko atas krisis berkepanjangan yang dihadapi EU. Inggris juga tidak mau terbebani ikut dalam mengatasi masalah yang dihadapi EU termasuk masalah imigrasi. Apapun penilaian orang yang menyebut Inggris licik dan tidak bijak, lari meninggalkan masalah. Padahal selama bertahun tahun Inggris mengambil untung dari EU.

Sekarang apa relevansinya dengan perintahan Jokowi ? dan kondisi Indonesia sekarang? Lebih dari 48% rakyat indonesia hanya berpendapatan 2 $ PPP ke bawah. Kekayaan nasional hanya terkonsentrasi ditangan segelintir elite dan modal asing. Indonesia menjadi lahan jarahan kapitalisme yang paling empuk.

Perlu presiden Jokowi tahu bahwa Indonesa bukan sedang krisis sebagaimana devinsi dan tipikal krisis yang dihadapi AS dan EROPA, tapi Indonesia ini adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya sudah miskin dan sekarang menghadapi keadaan yang lebih mengkhawatirkan lagi. Jatuhnya daya beli masyarakat, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan yang semakin dalam. Ini bukan krisis tapi sebuah situasi yang sangat menyedihkan.

Berbeda dengan Inggris dan AS, pemerintah Jokowi justru melakukan langkah terbaik. Mulai dari mengundang orang asing menyerbu Indonesia dengan kebijakan bebas visa, mengundang investor asing terutama dari China untuk menguasai sektor infrastruktur Indonesia, menawarkan hak milik asing atas property dan perumahan, mendorong perusahaan BUMN untuk mengambil utang sebanyak banyaknya, mendorong menteri keuangan juga mengambil utang sebesar besarnya. Itulah alam tindakan pemerintah Jokowi dalam mengatasi masalah ekonomi yang Indonesia hadapi. Ringkasnya pemerintah menjual diri kepada asing tanpa tendeng aling.

Bahkan baru bari ini Presiden Jokowi menegur keras BUMN agar mempercepat mencari utang, menjual aset ke pasar keuangan dalam mebiayai proyek infrastruktur dan mempercepat penyerahan proyek proyek yang sudah dibangun kepada swasta. Tindakan pemerintah Jokowi bertumpu pada neoliberalisme keblinger yakni privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi. Lengkap.

Tidak hanya itu pada tingkat internasional pemerintahan Jokowi semakin dalam membenamkan dirinya kedalam rezim perdagangan bebas. Berjanji menurunkan emisi hingga 25 % kepada UNFCCC yang membahayakan kepentingan industri nasional. Menurut secara membabi buta terhadap seluruh kesepakatan G20 dan APEC. Memberikan komitmen tertinggi dalam liberalsiasi perdagangan bebas ASEAN dan China yang menjadikan negara ini sebagai pasar.

Padahal otak neoliberalsime yakni Inggris dan AS sekarang tekah meninggalkan sistem ini. Kembali kepada nasionalismenya sendiri, kembali kepada protecsionisme. Tentu sungguh aneh jika mbahnya neoliberal meninggalkan ideologi tersebut, kok malah kita yang sebenarnya tidak terlalu fasih memahaminya jutru masih bertahan dengan istiqomah.

Seharusnya pemerintah Jokowi menyadari bahwa dunia telah berubah. Perdangan bebas tidak lagi bisa diharapkan. Liberalisasi telah melemahkan bangsa. Privatisasi telah mencuri aset negara. Komersialisasi telah menghancurkan daya beli rakyat. Neoliberalisme adalah rezim yang menguras dengan utang hingga bangsa ini kurus kering.

Kemenangan Trump dan Brexit adalah pelajaran berharga bagi dunia, bahwa sebuah negara begitu mudah meninggalkan ide, gagasan yang sudah tidak relevan lagi untuk dapat menjadi jawaban atas persoalan yang dihadapinya. Bahwa tidak ada suatu negara yang bisa bertahan dengan keyakinan buta pada demokrasi liberal, perdagangan bebas, neoliberalisme.  AS dan Inggris begitu mudah meninggalkan cara tersebut ketika dianggap sudah tidak bermanfaat.

2. Krisis Ekonomi China

Ekonomi China tengah berada dibawah tekanan utang raksasa, nilainya mencapai 28,2 Triliun dolar AS, atau sekitar Rp. 366 ribu triliun atau sekitar 100 kali utang luar negeri Indonesia. Utang China telah meningkat dengan sangat pesat sejak tahun 2007. Besarnya peningkatan mencapai 20,8 Triliun Dolar.

China menguasai dua pertiga dari peningkatan utang global dalam rentang waktu tahun 2007 – 2014 sebesar 57 triliun dolar. Sekarang utang ekonomi China telah mencapai 286 % GDP negara tersebut.

Sekarang utang tersebut terus meningkat. Pertumbuhan china hanya ditopang oleh peningkatan utang secara terus menerus. Laporan terakhir 2016 dari analis keuangan terkemuka MC Kinsey’s menyebutkan utang publik China telah meningkat menjadi 31,7 triliun dolar, tahun 2014 lalu utang publik china masih 28,2 triliun dolar.

Seberapa bahaya kondisi ekonomi China. Sebagian besar utang berkaitan dengan sektor property, sekitar 40 % -45 % dari total utang. Dengan dana utang, perusahaan di negara tersebut membangun property ugal ugalan yang menyebabkan terjadinya gelembung property. Kota kota baru dengan gedung gedung megah, infrastuktur mewah. Apa yang terjadi ? kota kota baru terancam menjadi kota hantu, gedung gedung megah berubah menjadi sarang burung wallet. Meski suku bunga sudah diturunkan dan harga property juga merosot, namun tetap tidak laku sebagaimana ekspektasi pengembang.

Ekonomi China sedang menuju kejatuhan. Pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 7 % pada kwartal I 2015. Tahun depan diperkirakan hanya akan tumbuh 6 % dan tahun tahun berikutnya hanya akan mencapai paling tinggi 4 %. Kondisi ekonomi China merupakan alarm bagi ekonomi global. Mengapa ? karena jika utang raksasa China jatuh maka puing puing bangunan utang akan menimpa kawasan asia tanpa ampun ! krisis 2008 yang melanda ekonomi AS akan kembali terulang di China.

Itulah mengapa International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) secara terburu buru bergabung ke dalam Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang dibangun Pemerintah China. Bergabungnya lembaga keuangan global tersebut dalam rangka menopang kejatuhan ekonomi China yang cepat atau lambat pasti terjadi. Seluruh dana global dimasukkan ke AIIB, termasuk dana Indonesia yang ditempatkan di IMF pada era pemerintahan SBY lalu. Namun ingat ! utang raksasa ekonomi China tidak tertolong.

Tampaknya Pemerintah Indonesia hendak memainkan peran menjadi salah satu lampung penyalamat bagi China agar tidak kembali tenggelam ke dasar lautan. Caranya adalah dengan dengan menyerahkan semua proyek infrastruktur raksasa kepada China. Dengan memegang kontrak infrastruktur tersebut, beserta hak atas tanah, maka China bisa mengagunkan Kontrak dengan Indonesia ke pasar keuangan global dan membentuk kembali gelembung financial China. Itulah mengapa sejak awal Pemerintah Jokowi sangat getol bicara infrastruktur. Tidak main main, infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur raksasa seperti Tol Laut, Tol darat, Pelabuhan, Bandara, Kereta Api, Monorel, MRT, dll, yang semuanya adalah infrastruktur yang menelan dana sekitar ratusan triliun Rupiah

3. Asean Sebagai Pusaran Pertarungan 

ASEAN merupakan suatu bentuk regionalisme ekonomi yang dibangun untuk menyatukan kawasan ini sebagai area perdagangan bebas (Free Trade Area) yang meliputi liberalisasi investasi, perdagangan, keuangan, ketenagakerjaan. Seluruh agenda perdagangan bebas yang ada di dunia di adopsi dalam regionalisme ASEAN. Zona perdagangan bebas ASEAN selanjutnya melakukan perjanjian Free Trade Agreemen (FTAs) dengan berbagai negara dan kawasan. ASEAN+3 dengan China, Jepang dan Korea, ditambah ASEAN+6 dengan India, Australia dan Newzealand. Selain itu ASEAN juga melakukan Free Trade Agreement dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat. ASEAN telah menjadi pusaran pertarungan dunia dalam merebut sumber daya alam dan pasar.

Indonesia berhadapan berhadapan dengan tiga hal pokok terkait perdagangan bebas ASEAN, pertama ; meningkatnya investasi asing, utang luar negeri dan barang barang impor yang masuk ke dalam ekonomi Indonesia bersama dengan tenaga kerja asing dalam proyek perdagangan dan investasi. Kedua, rendahnya industrialsaisi nasional dan melemahnya kemampuan ekonomi nasional dalam memenuhi kebutuhan nasional sendiri termasuk dalam hal pertanian dan pangan. Ketiga semakin meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.

Dalam hal liberalisasi ekonomi, baru baru ini pemerintah Indonesia dalam berbagai media internasional dikatakan tengah memainkan strategi big bang liberalisasi “Much has been written about President Jokowi’s hyped big-bang liberalization of investment rules last month. An overhaul of the ‘negative investment list’ is the most major change. The revisions allow 100 percent foreign ownership in previously-protected industries such as film, restaurants and pharmaceuticals while raising limits for 40 other industries such as warehousing and telecommunications up to 67 per cent.

Kondisi di atas memiliki implikasi langsung terhadap semakin melemahnya kesempatan kerja dan meningkatnya pengangguran. Arus barang barang impor dan modal asing yang masuk ke Indonesia satu sisi menciptakan kesempatan kerja di Negara Negara yang menjadi asal modal sendiri dan perpindahan tenaga kerja dari Negara maju ke Indonesia. Belum lagi jika kebijakan ini diikuti dengan pemberian berbagai kemudahan seperti bebas visa kepada 167 negara yang dikeluarkan pemerintah dan investasi dalam mega proyek infrastruktur yang membawa sekaligus pekerja pekerja asing masuk ke Indonesia.

Ginanjar Kartasasmita salah seorang arsitek ekonomi Orde baru dalam artikelnya di harian kompas (12 Mei 2016) mengemukakan keresahannya terhadap masuknya tenaga kerja China bersama dengan mega proyek investasi dari China dan proyek proyek yang dibiayai oleh utang dari China. Tertangkapnya tenaga kerja China yang belakangan adalah militer China yang di bandara Halim Perdanakusumah menjadi semakin menambah keresahan tersebut. Menurut Ginanjar, angka resmi tenaga kerja Tiongkok pada 2015 tercatat sekitar 12.800 orang atau 23 persen dari total tenaga kerja asing. Ini jumlah tertinggi tenaga kerja asing, jauh dibandingkan Korea dan Jepang. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah angka tak resmi atau yang datang tidak secara sah diperkirakan berlipat kali. Angka di atas kelihatannya hanya puncak dari gunung es yang jauh lebih besar.

Sisi lain Indonesia menghadapi de-industrialisasi, yang berarti menurunnya secara terus menerus kontribusi sektor industry terhadap ekonomi nasional yang diikuti dengan banyaknya perusahaan perusahaan nasional yang bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan usaha usaha asing atau barang barang impor. Ini akan semakin menyebabkan kesempatan kerja di dalam negeri akan semakin langka.

Menurut data Bank Dunia selama ini Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh komoditas. Meskipun pertumbuhan tersebut tidak cukup untuk menyerap pertumbuhan angkatan kerja sebanyak 3 juta orang setiap tahun. Sehingga kemerosotan industry migas dan sektor komoditas secara keseluruhan akan semakin memperkecil kemampuan ekonomi nasional dalam menyerap ketersediaan tenaga kerja.

Selain itu ASEAN ke depan akan banyak mengadopsi bentuk bentuk standarisasi produk baik sebagai ukuran kualitas, kebersihan, kesehatan, standar ramah lingkungan dan standar lainnya, akan semakin melemahkan kemampuan industry nasional, tidak hanya dalam konteks persaingan di dalam negeri, namun juga persaingan di luar negeri. Sehingga inovasi dan terobosan baru sangat diperlukan oleh industry untuk tidak menjadi tamu di negeri sendiri.

Sementara dalam hal kualitas sumber daya manusia Indonesia masih berada pada peringkat bawah. Menurut survey Institute of Management Development (IMD) yang merupakan lembaga pendidikan bisnis terkemuka di Swiss melaporkan hasil penelitiannya berjudul IMD World Talent Report 2015 dengan melakukan survey terhadap 61 negara. Di tahun 2015, peringkat kesiapan tenaga kerja Indonesia terjerembab ke peringkat 42. Faktor kesiapan tenaga kerja Indonesia dirasa masih kurang bersaing dari negara lain di tahun 2015. Untuk faktor ini, Indonesia hanya unggul dalam pertumbuhan angkatan kerja saja dimana Indonesia menduduki peringkat kelima. Indikator lainnya seperti pengalaman internasional, kompetensi senior manajer, sistem pendidikan, pendidikan manajerial, dan pada keterampilan bahasa berada pada peringkat di atas 30. Bahkan untuk keterampilan keuangan, Indonesia berada pada peringkat ke-44. Itulah mengapa Indonesia tidak pernah dapat mengambil keuantungan apapun dari perdagangan bebas ASEAN yang sekarang telah menjadi point of no return.

4. Peningkatan Risiko Emerging Market 

Hasil analisis Jp Morgan yang dilakukan Morgan Asset Management menyebutkan lima negara dengan keuangan mengkhawatirkan “Fragile Five” yakni Brazil, India, Indonesia, South Africa and Turkey” (J.P. Economic Research Data as of 31 December 2016). Dalam kaitanya dengan ekonomi Indonesia analisis ini berhubungan dengan dua hal yakni :

Pertama; mengenai equity Indonesia yang rendah sehingga memiliki kerentanan yang tinggi terhadap perubahan situasi global terutama berkaitan dengan kebijakan Donald Trump presiden terpilih Amerika Serikat. Apa itu kebijakan Donald Trump tentu Jp Morgan telah memahaminya secara utuh.

Kedua, Terkait kemampuan Indonesia dalam membayar kewajibannya yang menurun. Dengan demikian maka resiko akan meningkat jika melakukan investasi dalam pasar keuangan Indonesi. Maka kepada Indonesia untuk ini harus memberikan imbal hasil yang lebih besar kepada investor. Imbal hasil utang (bond) yang harus dibayar oleh pemerintah Jokowi meningkat dari 1,85 menjadi 2,15. Jadi pemerintah harus bayar lebih besar atas utang utangnya.

Mengapa risiko Indonesia meningkat? Karena masalah fixed income Indonesia yang tidak berkembang dan relatif menurun terhadap peningkatan utang dan kewajiban. Mengapa penerimaan Indonesia menurun? karena harga komoditas yang jatuh, daya beli masyarakat yang melemah, penghapusan potensi penerimaan pemerintah melalui tax amnesty. Dll.

Mengapa harga komoditas jatuh, khususnya minyak? Karena Amerika Serikat semakin independen dalam hal pasokan minyak dan adanya pelemahan dalam ekonomi china yang selama ini menopang harga komoditas dan minyak. Sekarang ekonomi china sekarat.

Mengapa daya beli yang rendah? Karena pada saat yang sama tertekan oleh inflasi yang tinggi dan tidak terkendali. Padahal 53% ekonomi Indonesia dikontribusikan oleh konsumsi. Daya beli yang jatuh dikarenakan PHK, pengangguran, merosotnya harga hasil pertanian pada tingkat petani, kenaikan harga harga yang ditetapkan pemerintah seperti bbm, listrik, transportasi, harga rokok dll.

Mengapa penerimaan pemerintah akan menurun pada 2017? Karena potensi penerimaan pajak pemerintah telah dihapus melalui tax amnesty pada tahun 2016 lalu. Ratusan triliun piutang pajak pemerintah telah hilang akibat proyek tax amnesty. Ini adalah skandal yang besar setelah BLBI.

Apa strategi yang diambil pemerintah mengatasi berbagai masalah yang disebutkan di atas ;

Pertama; pemerintah pasti akan menggenjot penerimaan negara. Satu satunya cara adalah menaikkan pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Inilah penyebab mengapa pungutan STNK, BPKB kendaraan bermotor meningkat. Pemerintah memprotes JP MORGAN tetapi mengatasi masalah berlandaskan analisis JP MORGAN.

Kedua, pemerintah akan menggenjot revenue ekonomi dengan menaikkan harga BBM, LISTRIK, TRANSPORTASI, harga tembakau, rokok dll, harapannya secara nilai pengeluaran masyarakat meningkat. Ini adalah cara agar terjadi peningkatan konsumsi. Langkah ini adalah sebuah kejahatan ekonomi terbesar kepada rakyat.

Ketiga, pemerintah bisa dan berwenang mencetak uang. Ini memang akan memicu inflasi yang besar. Namun pemerintah sudah mempersiapkan langkah untuk menutup nutupi dengan redenominasi atau memotong nilai rupiah, sehingga dampak pencetakan uang tidak terasa. Asal jangan sampai uang cetakan digunakan beli barang impor. Jokowi bisa dihajar Amerika, china, Eropa rame rame.

Keempat, wabah e-money yang melipatgandakan peredaran uang yang memicu inflasi secara tidak terkendali. Instrumen pengendalian moneter cara lama yang menjadi otoritas bank central tidak lagi berfungsi, sehingga kondisi ini akan melahirkan chaos di negara negara berkembang seperti Indonesia yang tidak memiliki kesiapan suprastruktur dan infrastruktur dalam menghadapi masalah semacam ini. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.