Sabtu, 27 April 24

Tiga Motif Utama Kampanye di Media Sosial

Tiga Motif Utama Kampanye di Media Sosial
* Ilustrasi kampanye di media sosial.

Oleh: Subchan Chusaen Albari

Obsessionnews.com – Hampir semua kemenangan calon presiden, kepala daerah ataupun anggota legislatif tidak bisa dilepaskan dari strategi kampanye di media sosial. Diakui atau tidak media sosial sudah menjadi alat yang efektif untuk mengorganisir warga dan memobilisasi pemilih. Di era personalisasi politik pasca Orde Baru, marketing politik kini bahkan sudah menggabungkan media sosial, sebagai bagian dari strategi yang wajib dipakai. Hal itu dilakukan karena pola komunikasi masyarakat kini sudah berubah, dari semua menggunakan komunikasi darat, sekarang beralih di dunia maya.

Artinya di era digital in sudah mendorong setiap orang atau politisi untuk aktif di media sosial. Sampai ada yang beranggapan bila ada politisi tidak lagi aktif di media sosial, maka pamor politiknya pun akan ikut redam. Pernyataan itu ada benarnya, karena pengguna Facebook di Indonesia mencapai 42, 5 juta penduduk, Twitter 19,5 juta, dan blog lebih dari 3,5 juta. Kencangnya penetrasi ini membuat Indonesia dilabeli sebagai “twitter nation”. Sementara tingkat penetrasi internet telah mencakup jumlah 24, 23 persen atau setara dengan 63 juta penduduk. Maka tak heran jika data itu tidak bisa dijadikan peluang bagi para politisi untuk penggiringan opini publik.

Situasi ini jelas berbeda dengan situasi pada tahun 1990-an, di mana kampanye politik lebih banyak dipusatkan di lapangan, tempat terbuka atau di jalan-jalan utama kota dengan parpol sebagai mesin utama penggeraknya. Sekarang panasnya kampanye politik justru lebih terasa dirasakan di media sosial. Karena kekuatan politik di media sosial intensitasnya semakin tinggi, maka peluang itu tidak hanya dimanfaatkan oleh politisi, tapi juga berbagai pihak yang juga memiliki banyak kepentingan. Tujuannya tidak harus sama, tapi semua cara bisa digunakan untuk kepentingan masing-masing.

Untuk itu setidaknya ada tiga motif utama gerakan politik tidak bisa dilepaskan dari media sosial. Pertama ialah sebagai bagian dari perluasan pengaruh politik dari kandidat tertentu kepada para konstituennya ataupun kepada mereka yang belum punya pilihan. Kedua, sebagai bagian dari strategi kampanye sekaligus strategi menyerang yang ditujukan pada pihak lawan. Ketiga, sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang bisa bertumpang tindih dengan motif lainnya. Atas dasar itulah, media sosial bakal semakin masif dipergunakan politisi, para pendukung, dan elemen lainnya untuk memenangi pertarungan politik.

Selain untuk membangun citra dan menyerang lawan politiknya. Motif ekonomi kadang kala bisa dirasakan lebih berbahaya. Motif ekonomi yang dimaksud adalah, bagaimana orang atau kelompok tertentu menawarkan jasa kampanye politik melalui media sosial untuk menghancurkan lawan politiknya sesuai pesanan. Kelompok ini bisa disebut sebagai kekuatan buzzer. Buzzer sendiri  adalah seseorang bertugas menyebarluaskan sebuah produk di media sosial. Sebagai contoh ada sebuah perusahaan yang meminta jasa buzzer membuat produknya menjadi booming sehingga seolah-olah produknya dibahas banyak orang. Buzzer juga lazim digunakan di dunia politik karena motif ekonomi.

Para calon pemimpin yang akan ikut pemilihan biasanya menggunakan jasa mereka sebagai alat pemenangan dan menggiring opini publik di masyarakat. Sayangnya dalam konteks politik hal ini menjadi senjata baru yang sudah mulai dianggap berbahaya. Dengan memiliki banyak akun sosial, buzzer ini bekerja berkelompok dan dibagi ke dalam tiga tugas: perayu, propaganda, dan pem-bully. Maksud perayu adalah bekerja jauh-jauh hari sebelum masuk dalam musim pemilihan untuk mempengaruhi lawan politik yang dianggap potensial untuk tidak mencalonkan diri.

Adapun propaganda merupakan salah satu kelompok yang mungkin sering ditemukan di media sosial. Kelompok ini bekerja dengan melemparkan sebuah argumen atau dapat menggunakan foto dan video yang bertujuan mengubah opini publik. Kelompok ini biasanya menggunakan akun anonim atau kadang akun terbuka tergantung dari bayaran klien, dan tak hanya satu akun. Mereka bertebaran di mana-mana dan menyasar semua akun media sosial dengan harapan masyarakat ikut menyebarkan konten-konten yang mereka produksi.

Sedangkan pem-bully merupakan pelaku berbayaran sedikit lebih mahal karena harus menyerang secara terbuka terhadap lawan politik. Kelompok ini biasanya yang menyebarkan fitnah, hoax, hingga berita bohong yang sengaja dibuat mengubah persepsi masyarakat. Dampak dari penggiringan opini publik dari para buzzer ini tak jarang meninggalkan perdebatan panjang di media sosial. Sudah menjadi pemandangan wajar dewasa ini bila melihat kolom komentar berisi debat kusir antara yang pro dan kontra. Terutama bila hal yang dibahas adalah salah satu pasangan calon yang menjadi jagoannya.

Justru hal inilah yang diinginkan para buzzer. Semakin banyak debat, semakin sering dibahas, maka semakin booming informasi tersebut dan akhirnya opini publik mengarah kepada hal yang diinginkan para buzzer. Karena sebenarnya sangat jelas bahwa tujuan mereka adalah mengabarkan, mengaburkan, menguburkan.Tujuan tersebut menjadi sangat mudah dicapai karena target mereka adalah orang-orang yang suka berdebat seperti mahasiswa, remaja, dan yang masuk kategori dewasa muda.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.