
Oleh: Subchan Chusaen Albari
Obsessionnews.com – Sesuai Peraturan KPU Nomor 4/2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, membatasi akun resmi setiap pasangan paling banyak lima akun. Regulasi yang sama juga mengatur isi atau konten kampanye di media sosial. Meski sudah ada aturan kampanye di media sosial yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun tetap saja, pelanggaran pemilu di media sosial tetap tidak bisa dihilangkan. Bahkan sebaliknya, pelanggaran di media sosial lebih banyak ditemukan.
Situasi ini juga dirasakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu sampai saat ini masih kesulitan dalam mengawasi dan menindak pelanggaran kampanye di media sosial. Kesulitan mengawasi aktivitas di media sosial karena ada beberapa teritori yang tak bisa sentuh oleh lembaganya. Salah satunya yang tak bisa disentuh oleh Bawaslu adalah pelanggaran yang dilakukan oleh akun-akun yang tak didaftarkan sebagai akun resmi tim pemenangan. Kebanyakan akun-akun yang tidak terdaftar itu merupakan simpatisan yang sudah terkotak-kotak untuk menyerang satu sama lain.
Untuk menindak para pelaku, tidak hanya bisa mengandalkan Bawaslu. Namun dibutuhkan bantuan dari lembaga penegak hukum lain yang memiliki jangkauan atau kewenangan hukum lebih besar. Bawaslu hanya bisa menindak bagi akun yang sudah didaftarkan di KPU bila terbukti melakukan pelanggaran. Sesuai Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017, sanksi terberat untuk pelanggaran kampanye di media sosial bagi akun resmi ialah pembatalan peserta. Namun sebelumnya, petugas terlebih dulu melakukan teguran terhadap pasangan yang melanggarnya.
Akun resmi tersebut dilarang menyampaikan konten bernuansa kampanye hitam yang merugikan peserta lainnya. Selain itu tidak boleh mempersoalkan Pancasila dan Undang-Undang 1945, suku agama ras dan antargolongan (sara) dan black campaign. Bila ada ditemukan akun lain di luar akun resmi yang diduga kuat melakukan pelanggaran, maka pelaku bisa dijerat dengan UU ITE dan KUHP. Faktanya memang banyak ditemukan akun-akun palsu di media sosial yang mengatasnamakan calon tertentu. Di luar itu juga banyak bertebaran akun anonim yang sengaja dibuat oleh buzzer untuk menyudutkan calon tertentu sesuai pesanan politik.
Jika dilihat dengan perkembangan media sosial yang begitu masif, maka jenis pelanggaran Pemilu di media sosial spektrumnya semakin luas. Bawaslu juga mengakui masih terus mencari formula yang efektif untuk meminimalisir adanya pelanggaran Pemilu di media sosial. Pihak Bawaslu terus melakukan kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi, KPU, Kepolisian dan berbagai organisasi kemasyarakatan. Dengan UU ITE paling tidak, sudah cukup membantu Bawaslu untuk mencegah terjadinya pelanggaran Pemilu.
Sejak UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hadir, pengguna media sosial banyak yang merasa khawatir. Undang-undang ini pada awalnya untuk melindungi kepentingan Negara, publik, dan swasta dari kejahatan siber (cyber crime). Saat itu ada ada 3 pasal mengenai defamation (pencemaran nama baik) yakin, penodaan agama, dan ancaman online. Semula, ketiga pasal itu dimaksudkan untuk menangkap para penjahat siber. Namun, kini malah lebih sering dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, berpolemik, hingga menyampaikan kritik kepada pimpinan daerah.
Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang 2016 ada lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar tuduhan pencemaran nama baik, penodaan agama, dan ancaman, yang berbasiskan UU ITE. SAFENET juga mencatat munculnya empat pola pemidanaan baru yaitu: aksi balas dendam, barter hukum, membungkam kritik dan terapi kejut yang sangat berbeda, jika tidak dapat disebut menyimpang dari tujuan awal ketika UU ITE dibentuk. Kini, UU No. 18 Tahun 2008 telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016. Undang-undang yang disahkan pada Oktober 2016, itu dinilai tak jauh beda dengan UU sebelumnya.
Namun, sebaik apapun UU ITE dibuat, tak akan berpengaruh tanpa adanya kesadaran hukum dari masyarakat. Masyarakat perlu bijak dalam menggunakan media sosial dengan berpikir ulang atas informasi apa yang ingin dibagikan ke orang lain yang nantinya akan dibagikan juga oleh orang lain tersebut. Masyarakat juga sepatutnya memahami hal apa saja yang tidak boleh ditulis dan dibagikan (share) melalui media sosial.
Masyarakat perlu kembali diingatkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Adapun ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) [lihat Pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Kita juga sama-sama tahu bahwa fenomena hoaks telah mencemari atau menebar racun dalam demokrasi yang kita jalani saat ini. Filsuf Jerman, Jurgen Habermas, percaya bahwa masyarakat perlu menerapkan apa yang ia sebut sebagai demokrasi deliberatif, yaitu kesempatan kepada banyak pihak untuk menyampaikan pendapat mereka, yang paling berbeda sekalipun, dan kemudian membiarkan masyarakat mengambil keputusan atas informasi yang beragam tersebut.
Perlu juga diketahui bahwa hoaks ujaran kebencian di sini bukanlah merupakan bagian dari demokrasi karena jika diteropong lewat pendekatan kebebasan memperoleh informasi (freedom of information), masyarakat perlu memiliki informasi yang lengkap dan terbuka untuk mengambil keputusan dalam pelbagai aspek kehidupannya. Apa yang akan terjadi jika informasi yang ingin dijadikan pegangan ialah informasi yang tak akurat, sengaja dipelintir ataupun difabrikasi? Hoaks ini racun bagi suatu kebebasan memperoleh informasi, sementara kita sering mendengar bahwa kebebasan memperoleh informasi adalah oksigen bagi demokrasi.