Oleh: Ustadz Felix Siauw, Pengemban Dakwah
Baru kali ini saya menyaksikan sebuah pertunjukan dakwah sekolosal ini. Mungkin biasa bagi yang sudah sering menghadiri, tapi bagi saya ini hal yang sangat baru.
Sejak kecil jangankan ikut acara seperti ini, nonton layar tancep saja saya tak pernah. Jangankan melek sampai lewat tengah malam, siang hari saja tak tahan kantuk.
Itulah konsep Ma’iyah Cak Nun dan Kiai Kanjeng, sederhananya kebersamaan bersama Allah. Saya melihatnya persatuan antara budaya dan agama secara harmonis.
Sarat pesan dakwah dalam tiap pitutur, nasihat tersembunyi lewat lagu, sampai membahagiakan manusia lewat nada dan lelaku, mengajak baik tanpa memaksa.
Sindiran menohok gaya Cak Nun yang berlapis, membuat kita menikmati kala mencoba mengelupas makna-maknanya, semua terangkai sempurna di malam itu.
Penyimaknya dari selevel kapolda hingga penjaja kopi atau kacang goreng, dari asatidz hingga preman. Semua mengambil makna dari caranya masing-masing.
Bagi saya Cak Nun adalah salah satu yang berhasil membawa dakwah pada satu tahapan yang jarang dicapai yang lainnya. Beliau sangat penting untuk dianalisis.
Sebab kita tahu begitu apiknya dakwah masuk ke Indonesia, tentu memerlukan kekhususan tertentu, sebagaimana yang dibuat oleh walisongo ketika memulai dakwah.
Sebab perintah Allah itu sudah jelas, itulah agama. Sedangkan ekspresi manusia dalam menaati Allah itulah budaya. Dan kita tak hendak membedakan keduanya.
Nusantara punya budaya khas dalam menghamba pada Allah, dalam menegakkan agamanya, yang jadi sangat khas dan berbeda dengan tempat yang lainnya.
Ekspresi ketaatan akan perintah Allah inilah yang menurut Cak Nun bisa terlihat dalam segala level kehidupan. Yang tertinggi adalah menjadi Khalifah di bumi Allah.
Bagi saya ini sebuah pengalaman baru sekaligus bekal dakwah baru, mengantarkan Islam dengan lebih baik, lebih bijak, lebih kreatif dan tentu saja lebih ikhlas.