Rabu, 1 Mei 24

Rencana Mundurnya Prof Mahfud MD Ditinjau dari Sisi Manajemen OCB

Rencana Mundurnya Prof Mahfud MD Ditinjau dari Sisi Manajemen OCB
* Dr. KRMT Roy Suryo, M. Kes., Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB. (Foto: Edwin B/Obsessionnews.com)

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M. Kes., Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB

 

Sesuai dengan kapasitas yang bukan lagi seorang politisi (setelah hampir empat tahun mundur dari parpol semenjak Supersemar-2000 (11/03/2020), maka tulisan ini memang sesuai dengan kajian disertasi Doktor saya soal OCB (Organizational Citizenship Behavior) yang telah mendapat predikat “sangat memuaskan” saat dipertahankan minggu lalu di UNJ (23/01/2024).

Hari ini Prof Mahfud MD (Cawapres 03) secara terbuka di depan media telah resmi mengumumkan rencana pengunduran dirinya selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, sikap ini disebutnya sebagai azas tidak “tinggal gelanggang colong playu” (Jawa) yang secara singkat artinya adalah “melarikan diri dari tanggung jawab, atau tiba-tiba mundur tanpa pamit” sebagaimana beberapa orang yang secara tidak jelas (di) mundur (kan) – dicabut KTA-nya misanya, karena tidak secara ksatria berani bertanggung jawab meski sudah jelas-jelas beda arah politiknya. Orang-orang semacam ini dengan kata lain adalah pengecut atau bahkan disebut “Malin Kundang” karena mengkhianati yang sudah membesarkannya.

Secara etika ketimuran dan fatsun organisasi, sikap Prof Mahfud MD ini sangat layak diapresiasi dan (selayaknya) diikuti juga oleh para Capres atau Cawapres lainnya yang sampai saat ini masih memegang jabatan publik, apalagi jika jabatannya tersebut dulu diusung oleh partai yang saat ini sudah ditinggal (gelanggang) olehnya dengan cara mlayu (berlari, seperti orang yang habis “nyolong’/mencuri), ini filosofinya. Sikap orang-orang yang tidak mundur ini memang memalukan, karena di samping tidak ksatria juga secata terang benderang menyalahgunakan posisinya untuk tetap menggunakan fasilitas negara untuk tujuan politiknya.

Namun bagaimana sebenarnya organisasi (dalam hal ini Kabinet) yang ditinggalkan oleh Prof Mahfud MD ini kemudian bisa tidak goyang/terpengaruh akibat pengunduran dirinya? Apalagi santer terdengar kabar kalau beberapa menteri lain juga akan mengikuti jejak beliau, meski hingga saat ini kabar tersebut masih simpang siur alias belum tegas dilakukan. Dengan kata lain mereka belum berani bersikap ksatria sebagaimana sikap Prof Mahfud MD tersebut, karena konon disebut-sebut suasana di dalamnya sudah tidak kondusif lagi, karena seperti misalnya ada program bantuan sosial tetapi justru bukan diberikan oleh Menteri Sosialnya, atau urusan pertanian tetapi diberikan oleh bukan Menteri Pertanian. Sangat karut marut memang sebenarnya situasi yang sekarang terjadi, ditambah urusan mikro dilakukan secara makro, demikian juga sebaliknya.

Sebagaimana saya tulis kemarin, OCB merupakan konsep yang menekankan pada perilaku ekstra-role individu di dalam organisasi, sebut saja dalam hal ini nanti pasca Prof Mahfud MD meninggalkan Kabinet. Sehingga OCB dapat memengaruhi perilaku-perilaku seperti membantu rekan sesama menteri, memegang tugas yang tidak tercantum dalam deskripsi tupoksi/job desk kementerian dan mempromosikan suasana kerja yang positif. Mengapa harus OCB karena perilaku ini tidak diwajibkan oleh deskripsi tupoksinya atau aturan organisasi kementeriannya, tetapi bertujuan untuk mempromosikan suasana kerja yang positif dan membantu Kabinet mencapai tujuannya.Dalam hal ini Kabinet agar tidak goyah pasca ditinggalkan oleh satu (atau bahkan banyak menterinya).

OCB dapat memiliki dampak positif pada hasil kabinet, seperti kinerja, produktivitas, dan moral menteri-menteri yang lain. Kepemimpinan (dalam hal ini Presiden) dapat mengaplikasikan OCB melalui pemahaman, dukungan, dan pengembangan budaya kabinet. Pengukuran dan penilaian OCB dapat dilakukan dengan menggunakan riset internal (dilakukan oleh KSP) yang mengukur perilaku seperti membantu rekan sesama menteri, menunjukkan loyalitas, dan mempromosikan suasana kerja positif. Hasil dari pengukuran ini dapat digunakan untuk mempromosikan perilaku positif dan memperkuat budaya Kabinet selanjutnya.

Dampak OCB pada Kabinet yang akan ditinggalkan oleh menteri-menteri antara lain bisa dilihat nantinya pada kinerja Kabinet, moral menteri yang lain, kepuasan kerja, lingkungan kerja, reputasi Kabinet. Sementara sebagaimana saya definisikan kemarin, beberapa faktor yang memengaruhi OCB di Kabinet ini adalah budaya organisasi (dalam hal ini Kabinet), gaya kepemimpinan (Presiden), kondisi kerja (pasca mundurnya menteri-menteri), reward dan sanksi (untuk yang masih setia atau malah yang tidak netral di Kabinet) dan sebagainya.

Hal menarik yang harus dicermati adalah perbedaan budaya dalam OCB, karena budaya memegang peran penting dalam OCB menteri-menteri. Perbedaan budaya dapat memengaruhi tingkat OCB para menteri dan cara mereka melakukannya. Beberapa perbedaan budaya dalam OCB antara lain individualisme vs kollektivisme, jelasnya negara yang berorientasi individualistik cenderung memiliki tingkat OCB yang lebih rendah karena fokus pada tujuan pribadi dan karier, sementara negara yang berorientasi kollektivistik cenderung memiliki tingkat OCB yang lebih tinggi karena fokus pada kepentingan grup dan budaya Kabinet.

Kemudian ada juga faktor masculinity vs femininity, di mana negara yang bersifat maskulin cenderung memiliki tingkat OCB yang lebih rendah karena kurangnya perhatian pada kebutuhan dan perasaan orang lain, sementara negara yang bersifat feminin cenderung memiliki tingkat OCB yang lebih tinggi karena lebih memperhatikan perasaan dan kebutuhan orang lain..

Sementara individual power distance menyebut bahwa negara yang memiliki tingkat jarak kekuasaan individu yang tinggi cenderung memiliki tingkat OCB yang lebih rendah karena adanya kurangnya interaksi dan kerja sama antar individu. Sementara negara dengan jarak kekuasaan individu yang rendah cenderung memiliki tingkat OCB yang lebih tinggi karena adanya interaksi dan kerja sama yang lebih baik antar individu. Selanjutnya ada faktor collectivism power distance, di mana negara dengan jarak kekuasaan grup yang tinggi cenderung memiliki tingkat OCB yang lebih rendah karena kurangnya partisipasi, sementara negara dengan jarak kekuasaan grup yang rendah cenderung memiliki tingkat OCB yang lebih tinggi karena adanya partisipasi dan keterlibatan yang lebih baik.

Kesimpulannya, jika dalam hari-hari ini Prof Mahfud MD benar-benar mewujudkan janjinya untuk mundur secata ksatria, maka seharusnya Presiden bisa segera melakukan langkah-langkah terobosan OCB ini untuk kelanggengan kabinetnya, bukan malah sibuk sendiri berkeliling dan melakukan tugas-tugas mikro yang sebenarnya hal tersebut dapat dikerjakan oleh para menterinya. Sebab jika tidak maka dikhawatirkan akan terjadi “tsunami politik’ di Kabinet apalagi jika benar-benar terjadi banyak menteri yang akan mengundurkan diri. Indonesia harus tetap tegak menyongsong 2045, jangan hanya gara-gara ambisi pribadi atau keluarga akan membuat bencana. (*)

Jakarta 31 Januari 2024

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.