Azka Aufary Ramli: Akuisisi GoTo oleh Danantara Langkah Strategis, tapi Jangan Lengah Ancaman Kedaulatan Data dan Dominasi Asing

Obsessionnews.com - Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Jakarta Selatan, Azka Aufary Ramli, menyatakan dukungan atas langkah Danantara lembaga pengelola dana abadi negara yang menyatakan minat membeli saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo).
Langkah ini dinilainya sebagai bentuk nyata kehadiran negara dalam menjaga kedaulatan ekonomi digital nasional, di tengah potensi merger GoTo dan Grab yang bisa menggeser arah kendali perusahaan ke tangan asing. Hal itu dikemukakan Azka di Jakarta , Sabtu (7/6/2025).
“Indonesia bukan hanya pasar, kita adalah pemilik potensi. Jika tidak ada langkah aktif seperti ini, kita bisa kehilangan kendali atas salah satu ekosistem digital terbesar yang dibangun anak bangsa dengan dukungan jutaan mitra,” tegas Azka.
Menurut Azka, rencana Danantara membeli 5–6% saham GoTo patut diapresiasi sebagai strategi jangka panjang negara untuk menjaga kursi strategis dalam perusahaan teknologi. Merger dengan Grab, perusahaan yang berbasis di Singapura dan dikendalikan oleh investor global seperti Temasek dan Softbank dikhawatirkan bisa menggeser kepemilikan ke luar negeri dan membuka risiko besar terhadap kedaulatan ekonomi dan data nasional.
“Kita harus sadar, jika entitas hasil merger ini berkedudukan hukum di luar negeri, maka data masyarakat Indonesia, perilaku konsumen, informasi UMKM, hingga transaksi GoPay bisa masuk yurisdiksi asing. Ini bukan sekadar bisnis, ini isu strategis negara,” jelas Azka.
Ia menambahkan bahwa merger dua raksasa ride-hailing dan e-commerce ini tidak hanya akan berdampak pada struktur korporasi, tetapi juga dapat menciptakan dominasi pasar tunggal. Dengan penguasaan lebih dari 85% pasar transportasi daring dan e-commerce oleh dua entitas yang kini akan menjadi satu, maka kekuatan pasar tersebut sangat besar dan berpotensi menciptakan praktik monopoli atau oligopoli.
“Jika tak dikawal, platform digital bisa mendikte tarif, algoritma, bahkan masa depan mitra pengemudi dan pedagang kecil. Kita tidak boleh membiarkan ini tanpa ada penawalan,” tegas Azka.
Azka juga menyinggung pentingnya regulasi perlindungan data pribadi dan pengawasan sistem algoritma yang digunakan perusahaan hasil merger nanti. Menurutnya, tanpa regulasi yang kuat dan keterlibatan negara sebagai pemegang saham, potensi penyalahgunaan data dan eksploitasi perilaku digital masyarakat sangat mungkin terjadi.
“Kami mendesak agar pemerintah memastikan data center tetap di Indonesia, dan setiap penggunaan data harus tunduk pada UU Perlindungan Data Pribadi. Tidak boleh ada celah yang memungkinkan penyalahgunaan atau transfer data ke luar negeri secara sembarangan,” katanya.
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan nasionalisme ekonomi, Azka juga mengusulkan pembentukan Dewan Pemantau Ekosistem Digital Nasional yang berisi perwakilan mitra pengemudi, regulator, UMKM, akademisi, dan pemerintah. Dewan ini akan menjadi pengawas independen terhadap operasional perusahaan pasca-merger agar tetap berpihak pada kepentingan nasional.
Azka juga mendorong agar langkah Danantara tidak hanya bersifat defensif, tetapi menjadi langkah awal untuk lebih jauh memperkuat investasi negara di sektor teknologi digital, terutama pada startup lokal yang tumbuh dari pinggiran dan daerah.
“Kita jangan hanya bereaksi. Harus mulai proaktif menumbuhkan 1.000 startup baru dari sektor agritech, edutech, dan healthtech. Danantara bisa menjadi jembatan antara inovasi pemuda Indonesia dan dukungan modal negara,” ujarnya.
Namun demikian, Azka juga menyampaikan kekhawatiran yang perlu dijawab secara terbuka. Menurutnya, meski negara membeli sebagian saham GoTo, porsi kepemilikan asing masih sangat besar, dan tanpa sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha nasional, langkah ini tidak akan cukup untuk menahan dominasi asing.
“Saya harus jujur, jika hanya membeli 5–6% saham tapi tidak diiringi dengan penguatan regulasi dan kontrol kebijakan, maka kita tetap berisiko hanya menjadi penonton di negara sendiri,” kata Azka.
Ia pun menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa saya berdiri di tengah untuk mendukung kolaborasi global, bukan menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada pasar bebas.
“Kami tidak anti investor asing. Tapi kami pro kedaulatan. Kami mendukung pertumbuhan ekonomi digital yang adil, sehat, dan berpihak pada semua terutama jutaan mitra pengemudi, pelaku UMKM, dan inovator muda Indonesia. Mari kita jaga agar ekonomi digital ini tidak menjadi koloni baru dalam bentuk yang lebih modern,” tutupnya.(Fad)