Elitisme Jalan Melestarikan Kemiskinan

Elitisme Jalan Melestarikan Kemiskinan
* Ilustrasi elitisme dan kemiskinan. (Pixabay)

Oleh: As’ad Bukhari, S.Sos., MA, Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik

Ideologi liberalisme telah memperlihatkan implikasinya bagi perekonomian sebuah negara yang akhirnya menjadi virus bagi negara berkembang atau negara dunia ketiga. Kini pergerakan dan perkembangannya juga semakin pesat, sehingga semakin tumbuh nilai ideologi pembaharuannya menjadi neo liberalisme sebagai bentuk jalan pemikiran alternatif menghadapi tantangan era globalisasi. Para revolusionis pun mulai kelelahan dalam menghadapi ideologi tersebut, sehingga ideologi kiri yang dijalankan cenderung sangat lemah, tidak berdaya dan bahkan mati suri.

Kegagalan dalam bentuk resisitensi menghadapi sistem ekonomi melalui ideologi neo liberalisme dianggap sebagai diskursus praktis, solutif, alternatif dan taktis menjawab tantangan dinamika kemajuan teknologi informasi. Modernitas pun berkembang pesat dari masa ke masa sebagai bentuk eksistensi kehidupan yang selalu berada pada posisi matang, sehingga stabilitas dapat terjaga hingga terus bertahan. Arus modernitas menjadi referensi setiap individu untuk mencapai kemajuan sebagai bentuk partisipasi global menghadapi kehidupan yang penuh dengan progresivitas yang sangat tinggi.

Faktor yang paling krusial menjadi dampak besar terhadap faktor sosial dan faktor kemiskinan. Kemiskinan tetap ada dan tidak dapat dikendalikan, bahkan bagi negara berkembang menjadi beban berat negara untuk masuk dalam modernitas kemajuan pemerintahan. Negara dunia ketiga selalu menjadi sapi perah bagi negara maju, sehingga neo kolonialisme perspektif imperialitas era globalisasi tampak hadir kembali dengan nuansa baru, dampak baru, indikasi baru serta implikasi baru sesuai dengan situasi maupun keadaan zaman tersebut.

Kelas sosial tidak dapat sejalan dengan ide negara kesejahteraan, sebab kaum elite, kelas atas, ataupun orang-orang kaya yang memiliki harta kekayaan itu jumlah populasinya sangat sedikit namun jumlah kalkulasi kekayaan sangatah banyak. Akibatnya angka kemiskinan hanya menurun melalui perspektif angka statistik yang sifatnya pun sangat temporer, fleksibel, dan upgrading. Kemiskinan bagi negara berkembang tidak akan jauh berbeda dengan negara tetangga yakni negara berkembang lainnya yang terkena dampak dari ekspansi neo liberalisme dalam mengatur kesejahteraan ekonomi suatu negara. Karena pada dasarnya yang disejahterakan adalah kaum dengan pemahaman elitisme untuk mendapatkan akses kemudahan sebagai bentuk aktivitas bisnis, ekonomi dan sosialnya.

Elitisme merupakan jalan melestarikan kemiskinan, hal tersebut disebabkan karena manusia atau individu berpandangan bahwa kehidupannya merupakan keseimbangan status sosial dan kelas sosial yang di sisi lain menekan sekaligus menjatuhkan angka kemiskinan. Elitisme menggangap bahwa bila angka kemiskinan menurun, maka sama saja posisi atau positioning kaum elitisme berada pada potensi serta kemungkinan menjadi bagian kemiskinan baru bahkan lebih ekstrim jatuh serta masuk dalam angka kemiskinan pada umumnya.

Elitisme adalah bagian penting dari neo liberalisme, sehingga menjadi sumbu dasar utama untuk mengembangkan ekspansi, ekaplorasi dan eksistensi elitisme menjaga stabilitas posisi sebagai bentuk langkah strategis menghadapi kemiskinan.

Kemiskinan yang ditinggalkan dari hasil neo liberalisme sangat sistematis, berjalan sesuai konsep dan program yang tujuannya dapat tercapai mempengaruhi negara-negara berkembang. Elitisme bagaikan virus neo liberalisme yang penawarnya ialah ekonomi neo lib melalui lembaga, organisasi, LSM, perusahaan dunia yang bergerak bagaikan mesin renterir modern perspektif ekonomi kapitalis sebagai bentuk mesin penghambur uang yang kemudian menjadi mesin penarik serta penyedot uang kembali yang akhirnya semua dapat dihisap habis sscara terstruktur. Penangkal serta antibodi menjadi sangat urgen melalui ekonomi mandiri yang praktis dan taktis, bukan hanya sekedar wacara ekonomi atau hanya slogan pemerintahan namun isi dan rasanya justru ekonomi kapitalis, ekonomi neo lib dan ekonomi imperialis.

Lazimnya negara berkembang bila telah masuk dalam perangkap dan arena tersebut sudah dipastikan karena kelemahan pemimpin atas intervensi global, ketidakmampuan dalam mengelola pemerintahan, tidak maksimalnya konsep pemberdayaan ekonomi mandiri secara sistemik, tata kelola yang tidak taat aturan atau hukum, ketidakmampuan menjaga aset strategis negara, ketidakberdayaan menghadapi lintah darat negara dari kalangan bangsa sendiri yang menjadi mafia atau bandar, ketidakpastian dalam mencapai target kemajuan, kegagalan dalam merealisasikan program utama sebagai dominasi kinerja, keluguan dalam menjawab tantangan ekpansi pasar dan bobroknya sistem kelola negara dan pemerintahan dari level lokal, regional, serta nasional.

Kelemahan negara berkembang akan menjadi kebahagiaan bagi kaum elitisme untuk mengambil bagian besar dan menjadi ancaman serta ujian berat yang sifatnya permanen bagi golongan masyarakat miskin serta kaum revolusionis pemerhati sosial masyarakat miskin. Tindakan substantif dan subversif dalam menangani problematika ekonomi negara harus secara tegas, jujur, berani dan berwibawa meski pun harus berhadap tekanan global dan tekanan internal bangsa sendiri. Sehingga mempertahankan negara kesejahteraan bukan sekedar simbol negara alternatif era globalisasi semata dalam menghadapi neo liberalisme melainkan welfare state tersebut memang benar nyata hasil dari output dan outcome bagi negara yang menjalani sistem kesejahteraan. Rakyat pun harus jeli dan mampu melihat keadaan negara dan pemerintahannya agar tidak salah ditangani atau salah memilih supir pemerintahan bahkan operator negara dalam menghadapi tekanan ekonomi global.

Alasan yang kerap kali menjadi argumentasi perspektif ekonomi negara seolah merasa ditekan membuktikan bahwa negara beserta para pengelola yakni pejabat publik tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga negara dikuasi oleh segelintir kelompok dan menyuburkan elitisme di setiap level apapun. Angka kemiskinannya bisa semakin kecil tapi kenyataan kemiskinannya justru semakin besar. Itulah dampak negara berkembang yang lemah akhirnya menjadi negara kemelaratan antitesa dari negara kesejahteraan. []