Lemahnya Negara karena Pemimpinnya

Lemahnya Negara karena Pemimpinnya
* Serambi belakang Istana Negara (ANTARA News/Desca Lidya)

Oleh: As’ad Bukhari, S.Sos., MA – Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik

Fenomena aneh tapi nyata menjadi marak di bangsa ini dan sungguh-sungguh benar terjadi di setiap tingkatannya. Untuk memilih pemimpin dari skala terkecil sampai terbesar jika diambil titik simpulnya akan terlihat sama barometer yang akan dipakai meskipun akan jauh berbeda dari segi sistematikanya, dinamikanya, prosedurnya, mekanismenya dan metodenya. Contoh kecil saja di lingkungan sekolah sebagai aspek pendidikan, sering kali untuk memilih ketua kelas selalu yang menjadi pilihan adalah anak yang cenderung lemah, dianggap netral, mudah ditekan, bermental kacung, bersikap feminis, rada gemulai, bahkan yang sangat dekat dengan wali kelas atau gurunya, atau justru populer di kelas, bahkan bisa yang paling nakal dan lain sebagainya.

Namun rata-rata yang diangkat adalah yang berjiwa lemah atau netral. Hal ini karena adanya tekanan dari teman-temannya yang cenderung lebih mendominasi terhadap kenakalan di sekolah maupun di kelasnya. Sehingga peran ketua kelas harus lemah jangan sampai menjadi tukang mengadu, tukang suruh, tukang pilih kasih atau bahkan yang paling sok bijak dan bermanis muka dengan guru atau wali kelasnya. Bahkan tidak jarang justru pemimpin ketua kelaslah yang menjadi suruhan, menjadi alat untuk tutup mulut terhdap kenakalan-kenakalan yang ada di sekolah maupun di kelas.

Ternyata tidak hanya sampai di situ saja, ini pun mengalir dari tingkatan paling kecil bisa dari TK, SD, SMP, SMA, bahkan ke perguruan tinggi serta di setiap komunitas, organisasi, dan kelompok-kelompok kecil maupun besar. Posisi pemimpin lemah dan netral menjadi langganan terpilih untuk mewakili anggotanya yang di dalamnya terdapat dua, tiga atau lebih kubu yang memiliki kepentingan serta keinginan yang berbeda meskipun masih dalam satu barisan tujuan yang sama dalam kelompok ataupun organisasinya. Bila pun ada prestasinya biasanya sangat sedikit dan bahkan kalah dengan anggotanya yang memiliki segudang prestasi dan kemampuan, akan tetapi memilih pada jalan aman sebagai anggotanya saja dan tidak ingin berada di posisi puncak sebagai pemimpin di pucuk kepemimpinan untuk menggerakkan anggotanya.

Alasannya pun beragam bisa takut tidak mampu membawa anggota serta organisasi maju, bisa karena tidak berpengalaman, bisa karena tidak memiliki potensi, atau karena banyak anggota yang tidak suka dan lain sebagainya. Inilah fenomena aneh tapi nyata yang ada di bangsa ini, dalam memilih pemimpin pun masih sangat jauh nilai kualitasnya baik manusianya itu sendiri dan kesadarannya. Masih sangat subjektif dalam menilai, memilih, mematuhi, mempercayai dan sebagainya terhadap pengakuan pemimpin. Lebih menekankan pada aspek sosiologis-psikologis ketimbang pada aspek agama-budaya dalam memandang sebuah kepemimpinan yang baik.

Inilah yang menjadi negara ini sangat lemah dalam menghadirkan kualitas manusia untuk memimpin. Sangat mudah tertekan oleh kelompok yang dianggap keras, ekstrim, nakal, jahat atau lainnya yang lebih banyak mengarah ke arah negatif yakni untuk mengacau balau, menabrak aturan, kriminalisasi, penyelewengan, dan berbagai macam motif buruk lainnya. Di sisi lain juga pemimpin yang sangat dekat ke arah sebaliknya sehingga meninggalkan jauh jaraknya terhadap kelompok tersebut yang seharusnya mampun dirangkul untuk terus diperbaiki, namun ini sangatlah berisiko tinggi butuh keberanian dan nyali. Hal itulah yang terjadi dalam membangun sebuah negara serta mempertahankan dan mengelolanya. Bila negara lemah maka sudah dipastikan yang memimpin jauh lebih lemah karena kenetralan yang tidak memiliki kualitas dan integritas tinggi namun hanya sekedar bahkan tidak dimiliki sama sekali. Akhirnya negara hilang wibawa dan martabatnya, sehingga negara lain sangat mudah melakukan negosiasi, diplomasi, intervensi, ekspansi dan kegaiatan lainnya yang akan mengarah pada neo kolonialisme dan neo imperialisme di era baru dan di seluruh aspek baik politik, ekonomi, budaya, pendidikan, agama, seni, sosial maupun kesehatan serta yang lainnya. Negara hanya menjadi alat dan mainan nansional serta internasional dalam menjalankan misinya baik berdagang, berbisnis, bertransaksi, dan bermain kepentingan yang dapat melemahkan sebuah negara karena kepemimpinan yang sangat lemah.

Lemahnya negara karena pemimpinnya adalah peristiwa yang sangat miris untuk membangun kedaulatan negara sekaligus mengembalikan kejayaan dalam kemandirian bangsa. Akhirnya negara hanya bermodal ketergantungan dan bermental pengikut dalam permainan politik internasional sekaligus permainan pasar internasional. Dikarenakan negara sangat lemah di bawah kekuasaan para pemimpinnya yang lebih senang bergurau, bercanda ria, bersenang-senang, guyonan, melucu, tertawa-tawa, terbahak-bahak dan bermain-main layaknya seorang anak-anak yang sedang bermain karena mendapatkan mainan baru tak dapat berpikir jauh bila sudah lelah barulah akan menangis sekencang-kencangnya agar mendapatkan belas kasih orang tuanya. Bila mengurus negara saja tak bisa dikerjakan dan membedakan mana yang urusan pribadi mana yang urusan publik, maka negara akan kacau berantakan karena dianggap lelucon, mainan dan hal lucu yang enteng dan mudah, sehingga kehilangan keseriusan dalam mengelola sebuah negara bagaikan kapal besar yang sedang berlayar yang setiap saat ombak datang menghempas kapal di lautan luas lepas. Sehingga perlu kekuatan, ilmu, pengalaman, mental, jaringan dan segalanya untuk membentuk negara yang kuat, berdaulat dan mandiri.

Tentu semua berharap agar negara harus dipegang dan dikendalikan oleh para pemimpin yang berkualitas, berkomitmen, berintegritas yang tidak sekadar menjadi juru penyelamat dengan dalih keadilan untuk semua yang tidak diprioritaskan. Jangan sampai negara ini lemah karena setiap kepemimpinan strategis diisi oleh pemimpin lemah, dan akan memberikan efek serta indikasi panjang ke depan nantinya. Negara harus diisi oleh para pemimpin yang berkarakter, berbudaya, berbangsa, bernegara dengan baik yang tidak mencari celah buruk untuk meraih keuntungan pribadi atau kelompok di dalam kekuasaan terhadap negara. Negeri ini subur makmur alamnya, dan tentu harus subur makmur pula manusianya yang berkualitas dan berdidikasi tinggi peduli terhadap nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan dan keharmonisan. Karena dengan begitu akan terhindar dari fenomena miris yakni negara lemah hanya karena pemimpinnya yang sibuk memikirkan perutnya, pribadinya dan kelompok kecilnya. []