Pembangkangan terhadap Hukum dan Demokrasi, HMI: Hanya Satu Kata, Lawan!

Obsessionnews.com – Indonesia, sebagai negara hukum (rechsstaat) dan demokrasi terbesar di Asia, saat ini sedang menghadapi ancaman serius terhadap eksistensi hukum dan masa depan demokrasi. Fenomena yang disebut oleh Charles Sampford sebagai “disorder of law” (kerancuan hukum) dan digambarkan oleh Steven Levitsky serta Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die sedang nyata terjadi.
”Apa yang sedang terjadi? Dan bagaimana itu bisa terjadi? Dan apakah kita akan berdiam diri, tentunya tidak. Hanya ada satu kata, lawan,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 2023-2025, Bagas Kurniawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/8/2024).
Menurut dia, pembangkangan terhadap hukum dan penghianatan terhadap demokrasi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terhadap rakyat. Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 dengan tujuan memperkuat dasar-dasar konstitusional kini berada di bawah ancaman serius.
MK dibentuk untuk menjalankan judicial review atas undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, sebuah langkah maju dalam perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern di Indonesia. Namun, cita-cita ini telah terciderai, dengan MK yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi (the guardians of constitution) kini berada dalam posisi yang dilemahkan.
Pada Selasa, 20 Agustus 2024, MK mengeluarkan dua putusan krusial: Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah, serta Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menetapkan syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua putusan ini diharapkan bisa memberikan angin segar bagi demokrasi elektoral di Indonesia. Namun, justru sebaliknya yang terjadi.
DPR RI melalui Badan Legislasi (Baleg) dengan cepat membentuk Panitia Kerja (Panja) UU Pilkada untuk membahas revisi UU Pilkada pada Rabu, 21 Agustus 2024. Revisi ini, yang diusulkan untuk disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis, 22 Agustus 2024, diduga sebagai upaya nyata untuk menjegal dan membungkam Putusan MK, serta kembali memasukkan pasal-pasal inkonstitusional yang telah dihapus oleh MK.
Ironis dan mengecewakan, kata Bagas, DPR RI yang seharusnya berfungsi sebagai penyusun regulasi dan pengawas kekuasaan, kini tampak semakin tenggelam dalam ‘nafsu’ kekuasaan yang justru mengamputasi hukum, kewarasan, dan kepercayaan publik. DPR RI kini seakan menjadi alat bagi elit dan rezim otokratis untuk melanggengkan otokrasi legalisme, memonopoli regulasi demi mempertahankan kekuasaan. Manipulasi narasi, pelanggaran hukum, dan etika dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, menodai harapan publik bahwa DPR RI akan menjadi wakil yang amanah, jujur, dan teladan.
Apa yang terjadi saat ini menunjukkan DPR RI bukan lagi pelindung konstitusi dan suara rakyat, melainkan aktor yang ‘cawe-cawe’ dalam upaya menjegal putusan MK demi kepentingan kekuasaan. Hal ini mengindikasikan kemunduran demokrasi dan penghinaan terhadap prinsip-prinsip hukum yang seharusnya dijunjung tinggi di Indonesia.
Dia berpendapat, pembangkangan terhadap konstitusi, dengan mengbaikan, menghilangkan, meniadakan, dan tidak menggunakan Putusan MK harus dilawan, hal ini demi supremasi hukum dan tegaknya pilar demokrasi, serta kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, HMI menyerukan, yang pertama, mendesak DPR RI untuk mencabut hasil rapat Panja yang membahas tentang UU Pilkada dan/atau mematuhi putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. ”Dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024,” tambah Bagas.
Kedua, mendesak KPU RI sebagaiself regulatory bodies(pelaksana hukum) untuk menindaklanjuti dan melaksanakan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024.
”Sebab sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2020 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final,” tegas Bagas.
Ketiga, lanjut dia, mendesak Bawaslu RI untuk menjalankan Checks and Balances untuk memastikan KPU melaksanakan putusan MK, dan jika tetap ‘tidak dilaksanakan’. maka DKPP berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat harus memberikan sanksi tegas kepada para pihak.
Keempat, menolak dengan tegas wacana untuk menerbitkan PERPU yang berpotensi menjadi ‘biang’ masalah baru, sangat tendensius, dan akan mempengaruhi politik hukum pada Pilkada.
Yang terakhir, mengingatkan kembali, jika Revisi UU Pilkada tetap dilanjutkan dengan tetap mengabaikan putusan MK, maka HMI mengajak seluruh elemen bangsa untuk bangkit dan bersatu.
”Melawan dan menyelamatkan Indonesia dari Monster-Monster Jahat yang kini mengancam hukum dan demokrasi serta masa depan bangsa dan negara kita,” pungkas Bagas. (Poy)