MKMK: Kita Menganut Supremasi Konstitusi, Bukan Parlemen!

Obsessionnews.com – Arogansi DPR bersama pemerintah mengebut pembahasan RUU Pilkada yang kini tinggl menunggu untuk diundangkan membuat banyak kalangan geleng-geleng kepala. Termasuk Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Gede Dewa Palguna, yang mengingatkan Indonesia tidak menganut supremasi parlemen seperti yang dipertontonkan di Baleg DPR RI pada Rabu (21/8).
Palguna mengakui DPR-presiden memiliki wewenang untuk membuat undang-undang sebagaimana yang sudah termaktub dalam konstitusi. Namun dia mengingatkan kita menganut supremasi konstitusi, artinya putusan MK yang sifatnya final dan mengikat harus dilaksanakan bukan diakali.
Baca juga: Duh, Jokowi Anggap DPR Begal Putusan MK Tindakan yang Biasa
“Kita tidak menganut prinsip supremasi parlemen karena kita mengandalkan prinsip supremasi konstitusi. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 mengatakan kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Pasal 1 ayat 3 mengatakan Indonesia adalah negara hukum,” kata Palguna melalui pesan suara kepada Obsessionnews.com di Jakarta, Kamis (22/8).
“Itu menunjukkan bahwa kita itu mengandalkan prinsip supremasi konstitusi. Artinya seluruh praktik penyelenggaraan negara di Indonesia setelah perubahan UUD 1945 itu tidak boleh bertentangan dan harus mengacu pada konstitusi. Termasuk, atau kalau tidak mungkin terutama ketika DPR membuat undang-undang,” lanjutnya.
Dirinya membenarkan kalau DPR dan presiden sesuai dengan Pasal 20 dan Pasal 5 UUD bersama-sama membuat perundang-undangan. Namun bukan berarti boleh sembarangan dalam pelaksanaannya.
“Dia dibatasi oleh konstitusi,” tegas Palguna.
Baca juga: Aksi DPR Begal Putusan MK Picu Resistensi Publik
Adanya pembatasan tersebut dipertegas dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang mengatur konstitusionalitas m undang-undang bisa diuji. MK menjadi lembaga yang berwenang melajukan uji materi.
“Artinya derajat putusan MK itu setara dengan undang-undang. Itu sebabnya Pasal 47 UU MK mengatakan putusan MK itu mengikat setelah selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum,” tutur Palguna.
Baca juga: DPR Begal Konstitusi-Kangkangi MK, Selamat Datang Era Otoritarian
Palguna mengingatkan kembali bahwa posisi DPR-pemerintah sebagai positive legislature sementara MK sebagai negative legislature. Artinya DPR dan pemerintah berwenang menyusun undang-undang sementara MK bisa membatalkannya kalau terbukti melanggar konstitusi.
“Kewajiban untuk menaati putusan MK sebagaimana kewajiban untuk menaati undang-undang yang dibuat oleh DPR dengan presiden, itu sama berlaku terhadap seluruh warga negara Indonesia dan seluruh penjabat negara. Itulah prinsip supremasi konstitusi,” tekannya.
Baca juga: Suhartoyo, Anwar Usman dan Praktik Machiavelli
Dia mempertanyakan di mana logika kalau DPR-pemerintah membuat undang-undang hanya dengan modal alasan sebagai positive legislature, dan mengabaikan batasan dan ketentuan yang diatur dalam konstitusi.
“Jadi bagaimana logikanya ketika anda mengatakan bahwa hanya dengan merujuk bahwa DPR mempunyai kewenangan membuat undang-undang lalu itu bisa mengabaikan semuanya. Kita tidak menganut prinsip supremasi parlemen seperti di Inggris. Kita menganut prinsip supremasi konstitusi,” ungkap Palguna yang menganggap DPR bersama pemerintah telah melakukan pembangkangan secara telanjang dengan merevisi UU Pilkada. (Erwin)