DPR Dipakai Oligarki Politik untuk Batalkan Putusan MK

DPR Dipakai Oligarki Politik untuk Batalkan Putusan MK

Oleh: Chris Komari, Activist DemocracyRumah Demokrasi Modern (RDM) Partai Demokrasi Modern (PDM)

Partai politik tidak seharusnya memiliki kekuasaan jauh di atas kedaulatan tertinggi rakyat, anggota DPR harus lepas dari ikatan partai politik dan DPR tidak dipakai oleh oligarki politik untuk “membatalkan” keputusan hukum (Mahkamah Konstitusi) hanya untuk memenuhi kepentingan keluarga Presiden.

Rusaknya demokrasi di Indonesia, abuse of power Presiden dan tidak berfungsinya anggota DPR untuk mewakili kepentingan rakyat karena hampir semua urusan politik dikuasai oleh ketua umum partai politik (partai-krasi).

Semua anggota DPR sudah dikunci, diikat, dikontrol dan dikuasai oleh ketua umum partai politik dengan ancaman mutasi dari jabatannya di DPR dan ancaman PAW dari ketua umum partai politik yang ada dalam UU MD3.

Padahal dalam 11 pilar-pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi, tidak ada istilah dan tidak ada satu pun pilar dan prinsip yang menyebutkan kedaulatan partai politik, apalagi kedaulatan ketua umum partai politik.

Perhatikan bagaimana ketua umum partai politik di Indonesia menguasai hampir semua urusan politik di Indonesia:

1) Untuk bisa menjadi calon kandidat (Capres, Cagub, Cawali, Cabup dan Caleg) harus minta izin dan ditentukan oleh ketua umum partai politik.

2) Untuk membuat dan meloloskan RUU baru, harus minta ijin dan persetujuan dari ketua umum partai politik.

3) Ketua umum partai politik memiliki hak prerogatif untuk menentukan dan memilih seorang Capres, Cawapres, Caleg, Cagub, Cawagub, Cawali, Cawabup.

Tetapi untuk pemilihan Calon Kepala Desa (Cakades) bebas, siapa pun warga desa bisa mencalonkan diri menjadi Cakades?

Itu artinya, pemilihan kepala desa lebih demokratis dibanding pemilihan Presiden, Gubernur, Wali kota, Bupati dan anggota DPR.

4) Untuk menjadi anggota Kabinet Kementerian dan direksi BUMN, harus minta izin dan persetujuan dari ketua umum partai politik.

5) Untuk menjadi peserta pemilu, juga harus berupa partai politik berdasarkan UU Pemilu No.7 tahun 2017.

Semua urusan politik dan yang ada hubungannya kekuasaan dan yang ada hubungannya dengan duit, rente dan fulus, harus minta izin dan persetujuan dari ketua umum partai politik.

Itu namanya ketua umum partai politik MATA DUITAN. Padahal dalam 11 pilar-pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi, tidak ada satu pun pilar dan prinsip yang menyebutkan kedaulatan partai politik. Apalagi kedaulatan ketua umum partai politik? Yang ada hanya kedaulatan rakyat (sovereignty of the people).

A) Partai politik itu siapa….?

Partai politik itu kan benda mati. Lambang partai politik juga benda mati, nama partai juga barang mati bahkan kantor partai politik juga benda mati.

Partai politik itu tidak bisa berbicara dan tidak bisa mewakili kepentingan rakyat.

Yang bisa berbicara itu orangnya, para kandidat, bukan partainya.

Karena itu UU Pemilu No.7 tahun 2017 yang menyatakan peserta pemilu adalah partai politik dan kandidat Presiden (Capres) harus didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik, jelas melanggar nilai-nilai demokrasi, melanggar kedaulatan tertinggi rakyat dan melanggar UUD 1945, khususnya Bab 1, Ayat 1, Pasal 2.

Semua kandidat dan calon kandidat pejabat publik itu yang menentukan seharusnya adalah suara rakyat.

Karena itu sistem Primary Election sangat cocok buat Indonesia.

Primary Election sangat cocok untuk dijadikan mekanisme seleksi calon pemimpin daerah dan nasional (Pilkada dan Pilpres) yang ditentukan oleh suara rakyat (konstituen), bukan oleh suara ketua umum partai politik.

Kalau sudah tahu salah, jangan dibiarkan kesalahan itu terus berjalan.

B) Sudah waktunya bagi Indonesia untuk menata kembali fungsi partai politik.

Kedaulatan partai politik di Indonesia sudah terlalu besar, harus dibatasi dengan UU/UUD karena sudah mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat.

Seleksi kepemimpinan daerah dan nasional (Pemilu) dengan mengunakan sistem open Primary, primary election dan general election sangat cocok buat Indonesia.

Secara prinsip sistem primary ada 3 kali proses seleksi (3 putaran):

1) Putaran pertama, atau seleksi awal yang disebut dengan “open primary” atau “preference primary”.

Yakni seleksi kepemimpinan, atau seleksi kandidat yang dilakukan oleh masing-masing internal partai politik dan independen, untuk menentukan siapa kandidat terbaik untuk mewakili partai politik (choosing the best candidate to represent the party), dan bagi calon independent untuk mendapatkan dukungan publik minimal 2% atau lebih dari total DPT.

Jadi open primary itu seleksi untuk internal partai politik dan calon dari jalur independent.

Caranya bagaimana?

Terserah partai politik itu sendiri, asal sistem dan proses yang dilakukan terbuka, adil, fair, ada open competition, ada equality dan equal opportunity untuk semua kader-kader partai politik dan dilakukan secara demokratis.

✓ Bagaimana dengan kandidat independen, atau kandidat individual (perorangan)? Sederhana saja:

KPU tinggal membuat aturan bahwa kandidat independen harus mengumpulkan tanda tangan bukti pendukung sekian persen (2%), rata-rata bisa 5% atau 7% dari total DPT yg harus di spread equally di seluruh daerah pilihan (dapil/fistrict/region).

Misalnya dapil (A) ada 5 kecamatan.

Maka kandidat independen harus mengumpulkan 5% tanda tangan bukti pendukung sebagai kandidat independen, dengan spread (1%) tanda tangan pendukung di masing-masing kecamatan.

Itu sudah lebih dari cukup syarat bagi kandidat independen!

Calon independen jangan dipersulit dan jangan terlalu mudah syaratnya untuk bisa mencalonkan diri sebagai kandidat independen.

2) Seleksi kedua yang disebut “primary election”.

Yakni seleksi kepemimpinan (election) antar kandidat dan antar partai politik dari masing-masing partai politik plus kandidat independen ikut dalam kontes primary election.

Di Amerika Serikat (USA), sistem primary election ini akan menghasilkan pemenang (winners) yang disebut: “congressional nominees” untuk Pileg dan “presidential nominees” untuk Pilpres yang akan bertarung di “general election”.

3) Seleksi ketiga ada “general election” atau pemilu terakhir untuk mencari pemenang Pilpres dan Pilkada.

Semua congrestional winners dalam primary election akan bertarung dalam general election untuk menjadi pemenang.

Begitu juga dengan presidential nominees yang menjadi pemenang dalam presidential primary election akan bertarung di general election untuk menjadi pemenang President-elect.

Untuk Indonesia sistem primary election itu harus diatur (adjusted) dan disesuaikan untuk memenuhi kondisi sosial, politik, ekonomi, logistik, SDM, geografi dan budaya di Indonesia. []