Merindukan Pemimpin Inklusif yang Humanis, Agamis dan Nasionalis

Oleh : As'ad Bukhari, S.Sos., MA, Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik Sebagai generasi milenial yang hidup dengan kemajuan teknologi informasi dengan sistem informasi terbuka dan mudah diakses, tentu memiliki harapan yang besar dala membangun dan memajukan bangsa yang sangat besar dengan beraneka ragam suku, budaya, agama, ras dan adat istiadat dalam bingkai kebhinekaan. Jiwa kepemimpinan semestinya memang harus sudah dipupuk dari dasar ketika masa anak-anak, remaja, muda, dewasa dan sampai nantinya pada usia senja atau tua. Sehingga jiwa kepemimpinan itu membawa energi positif agar menjadi orang yang egaliter, arif, bijaksana, santun, tegas, beribawa dan mengayomi seluruh kalangan yang pluralitas. Merindukan pemimpin inklusif artinya ialah berharap semakin banyaknya para pemimpin yang sangat terbuka, open mind, never give up, ikhlas mengabdi, pemersatu semua kelompok serta golongan, jiwa solutif, sangat imajinatif, pemikirannya yang ptogresif dan pengabdian yang produktif. Dengan demikian lahirlah pemimpin itu dengan pesona, aura dan nuansa yang berkemajuan yakni pemimpin yang sangat humanis mengerti hak azasi manusia, memanusiakan manusi, humanisasi manusia dengan baik serta penyejuk di antara semua manusia. Sifat humanis tentu sangat tepat bagi pemimpin, sebab pemimpin akan mengayomi masyarakat publik yang pluralitas dan hererogen agar dapat memediasi, memfasilitasi dan mewadahi setiap kejadian yang ada. Sifat agamis seorang pemimpin juga sangat urgen, agar memiliki nilai ketuhanana dan sprituitas dalam dirinya. Sehingga menyadari akan tanggung jawab, perilaku, etika, akhlak, moral dan budi perkerti. Pemimpin yang agamis pasti akan senantiasa taat pada aturan dan norma agama, dengan begitu segala sesuatu yang diamanahkan padanya akan dipegang sebaik mungkin, menjaga kepercayaan dan melindungi alam semseta serta umat manusia. Apalagi menjadi pemimpin itu berat dan banyak bebannya, jadi harus punya sisi spritualitas agar menjadi pemimpin yang agamis. Selanjutnya yang kalah tidak penting ialah jiwa nasionalisme serta patriotisme yang tinggi. Sebab bila pemimpin tidak memiliki sifat nasionalis, maka amanah yang ada padanya tidak akan mampu dipegang. Negara dan bangsa akan mudah terjajah, punah serta dapat dengan mudah dikuasai negara lain sehingga kembali menjadi negara terjajah di era globalisasi. Tentu nasionalis seorang pemimpin harus totalitas memiliki pengetahuan, kemampuan mengayomi negara, menjaga kadaulatan,berupaya menanamkam sifat berdikasi, kemandirian dan nasionalisasi kebijakan serta program kerjanya. Sebab ancaman dan tantangan serta godaan bangsa asing untuk meraih sekaligus menjajah negeri indonesia ini sangat mudah lagi menggiurkan bila pemimpinya pragmatis dan tidak nasionalis. Itulah kenapa harapan generasi muda dan milenial terhadap para pemimpin negerinya sangat besar. Dengan merindukan sosok pemimpin inklusif dan terbuka kepada semua golongan anak negeri menjadi teladan dan contoh baik baik generasi milenial. Apalagi bila pemimpin itu sangat mempuni, berkompeten, terpercaya, berdidikasi tinggi, reputasi yang baik, prestasi yang banyak, kemampuan yang luas tentu kebanggan bagi semuanya. Intitinya dengan menannkan sifat humanis, agamis dan nasionalis pemimpin maka bangsa indonesia akan tetap jaya, maju, terus tumbuh, besar di mata dunia dan memebrikan sumbag sih pada dunia internasional. Semua harus dilakukan sejak dini yakni dari pendidikan yang baik, sistem yang berkemajuan dan menjaga integitras. Dengan menanamkan nilai-nilai tersebut, maka secara otomatis akan terbangun integritas, kapasitas, dan loyalitas terhadap bangsa ini. Doa, usaha serta keyakinan menjadi jalam harapan yang tak permah putus untuk mendapatkan sosok pemimpin yang dirindukan membangun indonesia ke depan dengan semangat perstauan, semangat kemajuan dan semangat kebangsaan. []