Perunggu Badminton dan Rapor Merah PBSI

Perunggu Badminton dan Rapor Merah PBSI
Obsessionnews.com - Sudah sejak lama cabang olahraga bulu tangkis (badminton) menjadi harapan Indonesia menambang emas dalam ajang tertinggi seperti Olimpiade. Apa lacur, prestasi Indonesia melorot tajam. Biasanya mampu meraih medali emas, pada Olimpade Paris, Indonesia harus berpuas diri dengan medali perunggu. Indonesia pernah terpuruk karena tidak meraih medali pada Olimpade London, 2012 yang lalu. Catatan tersebut dijadikan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Menuju Olimpiade Paris 2024. PBSI bahkan mengirim para atlet untuk pemusatan latihan di Chambly, Prancis. Baca juga: Akhirnya, Indonesia Dapat Perunggu Badminton Olimpiade Para legenda bahkan turun gunung masuk Tim Ad Hoc. Jawara Olimpiade turun gunung sebagai mentor. Mereka yakni Taufik Hidayat (tunggal putra), Susi Susanti (tunggal putri), Candra Wijaya (tunggal putra), Greysia Polii (ganda putri) termasuk Liliyana Natsir-Tontowi Ahmad (ganda campuran). Celakanya, peran mentor tidak terlihat di arena. Atlet kita malah tumbang bahkan empat dari enam wakil sudah tersingkir pada babak penyisihan. Tentu ini bukan hasil yang diharapkan. Ganda putri Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Ramadhanti yang berada pada grup neraka dengan unggulan nomor satu dunia Chen Qing Chen/Jia Yi Fan tak mampu lolos fase grup. Penampilan Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari malah tak secemerlang laga pertama. Pada tunggal putra Jonatan Christie dan Anthony Ginting yang sempat menghadirkan All Indonesian Final pada All England keok dari fase grup. Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto yang bisa bertahan hingga perempat final akhirnya tersisih. Tak disangka, Gregoria Mariska Tunjung tampil memukau kendati hanya mampu menggondol perunggu. Gregoria berhasil menembus babak semi final meski kalah dalam pertarungan sengit dengan An Se Young.  Gregoria praktis meraih perunggu karena lawan Carolina Marin menderita cedera. Perunggu dari Gregoria menjadi satu-satunya medali yang disumbang badminton Indonesia dari Paris. Kontan, situasi ini menempatkan PBSI di bawah kepemimpinan Agung Firman Sampurna mendapat sorotan tajam. Salah satunya mengenai metode penanganan cedera para atlet. Apriyani Rahayu yang terus bergelut dalam cedera dalam setahun terakhir ini masih terlihat tak nyaman ketika bertanding. Tim Ad Hoc yang seharusnya dibuat jauh sebelum akhir kualifikasi Olimpiade 2024 atau 'Race to Olympics' pada 30 April 2024, baru dientuk Januari 2024 atau empat bulan sebelumnya. Banyak pihak menilai lambatnya pembentukan Tim Ad Hoc menunjukkan persiapan tidak optimal. Implikasinya, pemetaan kondisi atlet yang seharusnya mencapai puncak performa mereka pada saat Olimpiade tidak terlihat. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Republik Indonesia (RI) Dito Ariotedjo mengakui hal itu. Namun dirinya tetap mengpresiasi kinerja Tim Ad Hoc. "Memang saya juga akui dan saya mohon maaf kepada bulu tangkis lovers, ini sedikit lambat dan telat tapi marilah kita beri kesempatan satgas tersebut untuk menyiapkan Olimpiade dan saya yakin saya melihat langsung bagaimana pak ketua satgas memimpin dan berkomunikasi seluruh stakeholder yang ada. Dari pemain Olympian, senior, dari berbagai klub yang diundang," kata Dito pada Februari 2024 yang lalu. Lambatnya pembentukan Tim Ad Hoc belakangan baru terasa membawa efek domino. Para atlet yang berada dalam usia matang seperti Ginting (28), Jonatan (27), Gregoria Mariska (25), Fajar Alfian (29), Muhammad Rian Ardianto (28), Apriyani Rahayu (26), Siti Fadia Silva (24), Rinov Rivaldy (25), Pitha Haningtyas Mentari (25) gagal menunjukkan performa terbaik. Situasi ini diperparah dari lambannya regenerasi. PBSI harus memberikan kesempatan kepada para pemain junior agar peringkat mereka bisa meningkat dan tampil di turnamen-turnamen level atas. Menyoal kegagalan badminton pada Olimpiade Paris 2024, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PP PBSI Ricky Soebagdja menyebut, para atlet telah menunjukkan daya juang di lapangan. "Pasti ada kekecewaan. Saya tahu sebagai atlet pasti tidak mau kalah tetapi kita perlu lihat bagaimana permainan di lapangan, bagaimana daya juang di lapangan," kata Ricky dalam keterangannya. "Kecuali Ginting, saya melihat kekalahan ini karena tidak bisa mengeluarkan permainan terbaik. Sementara secara persiapan kalau saya rasa sudah benar-benar maksimal tetapi secara di lapangan belum keluar secara maksimal," keluhnya. PBSI harus melakukan pembenahan secara menyeluruh untuk mengembalikan Indonesia sebagai jawara badminton. Kalau tidak, bukan mustahil, raihan Indonesia di Los Angeles 2028 bakal lebih buruk. (Agnes/Erwin)