Muhammadiyah di Persimpangan Jalan: Memurnikan Tauhid, Namun Tercoreng Secara Politik

Oleh: Mochammad Syukri Fadholi, Pencinta Muhammadiyah"Janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui(-nya)." (QS Al Baqoroh Ayat 42) Muhammadiyah sejatinya tidak an sich bergerak pada ruang pemurnian akidah (purifikasi Islam), dengan fokus memberantas TBC (Tahayul, Bid'ah & Churofat). Sejatinya Muhammadiyah juga punya peran sentral melakukan gerakan purifikasi politik, agar politik dapat berjalan di atas rel wahyu, yakni sejalan dengan Al Qur'an dan as Sunnah. Melalui gerakan dakwah amar ma'ruf nahi unkar dan kontekstualisasi tajdid dalam melihat fenomena kekinian, Muhammadiyah dalam setiap era kepemimpinannya telah menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan di luar parlemen, yang sangat diperhitungkan. Muhammadiyah, menjadi bandul kekuatan penyeimbang yang kokoh, karena semata-mata menempatkan bobot syariat Islam sebagai unsur utama untuk menjalankan fungsi kontrol untuk menjaga kesetimbangan politik. Namun, manakala bobot politik itu bergeser, dari politik yang berorientasi pada Wahyu, yang tegas terikat dengan dalil Syara', bergeser menjadi politik kemaslahatan yang pijakan utamanya adalah unsur materi, sejak saat itulah, Muhammadiyah mulai goyah. Goyah karena posisi politik sebagai ormas yang menjadi penyeimbang kekuasaan menjadi ormas yang hanya melegitimasi kekuasaan. Ramainya kritikan publik, baik dari internal kader maupun dari eksternal umat Islam yang mencintai Muhammadiyah atas keputusan PP Muhammadiyah menerima tawaran tambang rezim Jokowi, mengkonfirmasi kegoyahan itu perlahan menjadi goncangan. Muhammadiyah ada pada dua pilihan yang sebenarnya mudah untuk diputuskan: yakni segera kembali kepada umat dan segera meninggalkan rezim zalim. Karena dengan dalih apa pun, keputusan menerima tambang itu tidak dapat dibenarkan. Apalagi telah banyak tulisan dan penjelasan yang menyatakan tambang eks PKP2B yang ditawarkan pemerintah itu terkategori milik umum (milik rakyat). Sehingga tambang itu wajib dikembalikan kepada rakyat, dikelola oleh negara, bukan diberikan kepada ormas. Sebenarnya peralihan sikap politik Muhammadiyah sudah mulai terbaca saat PP Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan yang sangat normatif dan tidak menunjukkan sikap istiqomah kepada jati dirinya sebagai organisasi gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, bahkan terkesan 'mendua' atas terjadinya Pemilu curang yang sangat zzalim dan bertentangan dengan prinsip aqidah etika moral serta hukum dan perundang-undangan. Semestinya sebagai organisasi pergerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar terhadap segala bentuk kezaliman dan kebatilan yang bertentangan dengan agama, moral dan hukum, seharusnya disikapi dengan jelas dan tegas sesuai dengan Petunjuk Allah SWT dalam Surat Al Baqoroh Ayat 42. Tidak boleh mencampuradukan antara yang haq dan yang bathil. Kesimpulan yang mungkin bisa kita petik bahwa seolah Muhammadiyah membiarkan keadaan negara Indonesia yang diperjuangkan oleh para syuhada dengan darah dan jiwanya, dibiarkan tetap dikendalikan oleh kekuasaan oligarki asing saat ini, tetap berjalan dan berkuasa tanpa tersentuh gerakan amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan oleh para pimpinan dan tokoh Muhammadiyah sebagai pendiri bangsa dan negara RI pada saat memperjuangkan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa. Sebagai kata akhir bahwa rekam jejak misi Muhammadiyah yang luhur agung dan mulia pada awal pergerakannya, sekarang telah hilang dan lenyap di bawah kekuasaan oligarkii penguasa negara nir agama dan moralitas.