Misteri Muhammadiyah Tarik Dana Rp15 Triliun dari BSI, Ada Apa? Likuiditas BSI Tergerus?

Obsessionnews.com - Heboh! Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menarik dana persyarikatan di Bank Syariah Indonesia (BSI) sekitar Rp15 triliun. Tindakan penarikan tersebut diakui bahwa sebagai langkah konsolidasi. Termasuk menginstruksikan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) untuk ikut melakukan penarikan dana dari bank pelat merah tersebut. Keputusan tersebut tercantum dalam memo Surat Keputusan PP Muhammadiyah Nomor 320/I.0/A/2024 tertanggal 30 Mei 2024. Muhammadiyah menilai, porsi penempatan dana mereka terlalu terkonsentrasi di BSI. Langkah Muhammadiyah ini menghebohkan publik pada Minggu ini. Karuan saja hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah Muhammadiyah tak percaya BSI? Ataukah masalah lain? Yang jelas, PP Muhammadiyah kini mengambil sikap tegas untuk "bercerai" dari BSI. Menurut sumber yang dapat dipercaya seperti dikutip EmitenNews, hubungan Muhammadiyah dengan BSI kurang baik. Selain itu, sistem pelayanan BSI dinilai tidak memuaskan bagi Muhammadiyah. Selain menginstruksikan seluruh badan amal usaha untuk menarik dana dari BSI, PP Muhammadiyah juga meminta agar dana tersebut dialihkan ke bank-bank syariah lainnya seperti Bank Bukopin Syariah, Bank Mega Syariah, Bank Muamalat, dan bank-bank syariah daerah telah menjalin kerja sama baik dengan Muhammadiyah. Menurut surat yang diterima EmitenNews, dengan tanda tangan Ketua PP Muhammadiyah, Dr. H. Agung Danarto, dan Sekretaris Muhammad Sayuti, disebutkan penarikan dana itu, menindaklanjuti pertemuan pada 26 Mei 2024 di Yogyakarta mengenai konsolidasi keuangan di lingkungan Aman Usaha Muhammadiyah (AUM). Tidak hanya itu, Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Ditlitbang) PP Muhammadiyah juga mengeluarkan surat yang ditujukan kepada para Rektor, Ketua, dan Direktur Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA). Dalam surat tersebut, Majelis meminta agar laporan konsolidasi dana disampaikan paling lambat pada 10 Juni 2024 melalui surat elektronik. Namun, PP Muhammadiyah kini mengambil sikap tegas untuk "bercerai" dari BSI. Menurut sumber yang dapat dipercaya, hubungan Muhammadiyah dengan BSI kurang baik. Selain itu, sistem pelayanan BSI dinilai tidak memuaskan bagi Muhammadiyah Likuiditas BSI Tergerus? Penarikan dana yang dilakukan Muhammadiyah dari BSI membuat publik penasaran terhadap nasib bank pelat merah tersebut. Sebab, dana yang ditarik bernilai fantastis, mencapai Rp15 triliun. Jika penarikan dana Muhammadiyah dari BSI terjadi, likuiditas bank syariah terbesar di Indonesia itu pun diprediksi bakal tergerus. Bahkan, keputusan Muhammadiyah mengalihkan dananya dari BSI dinilai menimbulkan kekhawatiran. Terutama, tentang potensi efek domino dan risiko konsentrasi bagi nasabah BSI. Dilansir PikiranRakyat, Jumat (7/6), kalangan pengamat menilai, penarikan dana besar oleh Muhammadiyah dapat berdampak pada likuiditas dan kepercayaan nasabah BSI. Dalam jangka pendek, kebijakan ini tentunya akan berdampak pada BSI. Pasalnya, maraknya pemberitaan dan komentar akan menimbulkan pertanyaan bagi nasabah segala segmen. Sebab, risiko yang paling cepat memengaruhi bank adalah risiko pada saat terjadinya kejadian yang berpengaruh pada likuiditas. Krisis likuiditas akibat penarikan dana multi nasabah adalah fenomena global. Sehingga, BSI setidaknya dapat belajar dari pengalaman bank lain untuk memperkuat tata kelola dan manajemen risikonya. Karena tidak sedikit, ditemukan bahwa krisis likuiditas akibat penarikan dana multi nasabah terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, penarikan dana besar oleh Muhammadiyah ini harus mampu dipenuhi BSI untuk menunjukkan kemampuannya menjaga likuiditas. BSI harus memastikan kepercayaan nasabah bahwa dana mereka di BSI aman. Selain itu, penarikan atau peralihan dana Muhammadiyah dari BSI menjadi alarm bagi perusahaan tersebut. Karena dengan likuiditas yang menurun, bisa memicu rush terhadap nasabah lainnya. Dana Muhammadiyah cukup besar yang ditempatkan dan perputarannya cukup kuat dengan berbagai badan usaha yang didirikan. Maka, dampak yang langsung dirasakan tentu saja ke likuiditas dan pembiayaan oleh BSI. Kemudian dari sisi kemampuan pembiayaan BSI juga dikhawatirkan berkurang karena kemampuan pembiayaan yang menurun. Ini berpotensi pada seretnya pendapatan dari margin yang bisa menurun akibat kemampuan pembiayaan dari BSI. 'Rush Money' Ala Muhammadiyah Peneliti Sosial Budaya Budi Saksono mengibaratkan ketika seorang nasabah kelas kakap akan menarik semua tabungannya dari suatu bank maka ternyata pihak bank tak dapat memenuhi karena ternyata uangnya tidak ada di bank/cabang bank tersebut? Sering terjadi atau malah selalunya nasabah kakap yang menyimpan dalam jumlah besar uangnya di bank malah tak bisa menarik semua uangnya padahal itu adalah haknya dan berjenis tabungan biasa non deposito yang seharusnya bisa diambil sewaktu waktu dan ditarik bahkan tutup rekening sewaktu waktu pula. Kenapa begitu? Karena sebetulnya uang nasabah terutama yang dalam nominal besar itu tidak disimpan dalam arti ditaruh di suatu brankas atau tempat yang aman di bawah pengawasan pihak bank namun diputar oleh pihak bank dengan dipinjamkan sebagai modal kepada para pengusaha kelas atas hingga konglomerat sebagai tambahan modal usaha dan investasi mereka dalam melakukan pengembangan dan ekspansi bisnis mereka sedang uang nasabah yang bisa ditarik hanya uang kelas "recehan" saja untuk kebutuhan harian bulanan para nasabah. Menurut Budi Saksono, bukan rahasia juga di kalangan pebisnis bila yang mendapat privilege untuk mengakses pinjaman dengan nilai besar bin fantastis dari perbankan adalah pebisnis-pebisnis warga non pri. "Jadi bila ada film yang menggambarkan adegan perampokan bank yang berhasil membawa berkarung karung uang itu sebetulnya adalah bentuk pembodohan saja sebab sejatinya bank tidak menyimpan uang uang anda selain disisakan sedikit yang kira kira diperlukan untuk ditarik sewaktu waktu oleh golongan masyarakat kelas menengah ke bawah," ungkapnya. Ilustrasi pada beberapa paragraf di atas adalah gambaran yang sedang terjadi saat ini ketika organisasi keagamaan terkaya dan termaju Indonesia yaitu Muhammadiyah menyiarkan release akan menarik seluruh dananya yang mereka simpan di BSI, bank syariah milik pemerintah gabungan dari tiga bank syariah plat merah BNI, Mandiri dan BRI. Jumlahnya mencapai Rp15 triliun nilai dana milik persyarikatan Muhammadiyah yang akan ditarik dari BSI. "Rush Money ala Muhammadiyah ini jelas membuat panik pihak BSI yang sampai saat ini belum memberikan pernyataan resmi dan mengagetkan dunia perbankan regional mengingat besaran nilainya," tegas Budi Saksono. Pimpinan Muhammadiyah lewat ketua umumnya Haedar Nashir dan sejumlah jajaran PP Muhammadiyah dalam siaran persnya menyampaikan tujuan penarikan karena alasan untuk meratakan keadilan ekonomi dan mengurangi risiko persaingan tidak sehat dengan menarik dananya yang tadinya hanya terpusat disimpan di BSI lalu membaginya dengan disimpan di beberapa bank syariah lainnya terpisah secara merata. Tapi tentu saja itu cuma bahasa diplomatis. Bahasa tingkat tinggi kaum intelektual yang tak dipahami semua kalangan awam yang tujuannya untuk meredam kesan konflik dan menjaga marwah institusi lain walau sudah tak sepihak sejalan. Yang sebetulnya terjadi adalah para pimpinan dan pemikir Muhammadiyah kecewa karena BSI lebih mementingkan perputaran dana untuk kepentingan para pengusaha kelas kakap dan golongan konglomerat sedang porsinya untuk pengembangan UKM/UMKM jauh lebih kecil padahal Muhammadiyah selain sebagai gerakan dakwah namun juga sebagai gerakan kebangkitan ekonomi pribumi seperti spirit awal KH Ahmad Dahlan yang terus diwariskan oleh pengurus pengurus Muhammadiyah sangat tidak keberatan bila dana raksasa yang mereka amanahkan dipergunakan untuk penguatan sektor UKM/UMKM tanah air. Selain itu para para pengamat atau sebut saja analis intelijen dari internal Muhammadiyah juga membaca adanya sebuah proses penempatan agen-agen dari kekuatan konglomerasi tertentu kedalam jajaran komisaris dan direksi bank tersebut yang kemungkinan besar mengincar aset perbankan milik Muhammadiyah dengan menguasai akses manajerialnya. Bahkan dulu pernah wagub Jabar Dedy Mizwar memberi semacam bocoran kalau salah satu pentolan 9 naga si James Riady gusar bagaimana lembaga dakwah non profit seperti Muhammadiyah bisa memiliki aset lebih besar dari seluruh jaringan bisnisnya di group Lippo. Hal yang membuat JR maupun TW tak bisa "membeli" Muhammadiyah terutama untuk mendukung pilihan politik yang didukung 9 naga seperti organisasi keagamaan lainnya yang sangat menikmati semua fasilitas dan panggung sosial, politik, ekonomi selama sepuluh tahun/dua periode rezim terakhir ini. Muhammadiyah Tak Terbeli! Budi Saksono menilai Muhammadiyah benar benar tak bergeming oleh rayuan rayuan politik 9 naga itu. Dan yang terakhir dan paling dikhawatirkan banyak pihak adalah bahwa rush money Muhammadiyah ini sebetulnya adalah langkah awal dari rencana persyarikatan untuk membangun bank sendiri yang artinya Bank Muhammadiyah sedang dalam agenda yang mulai akan dijalankan sebab memang sudah selayaknya Persyarikatan Muhammadiyah mempunyai lembaga perbankan sendiri sebagai salah satu AUM yang mandiri dari pemerintah dan bermanfaat bagi semua umat entah dari organisasi manapun dan agama apa pun. Lagi pula Muhammadiyah sudah memenuhi semua syarat dan kapasitas untuk memiliki sebuah lembaga perbankan sendiri bukan? Dan sesuai edaran yang telah dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah kepada seluruh rektor kampus kampus Muhammadiyah, AUM dan seluruh pengurus aset Muhammadiyah untuk mulai melakukan penarikan dan penutupan rekening di BSI maka kita saksikan saja sambil mendoakan agar proses rush money ini bisa berjalan lancar tanpa hambatan. "Karena jangan-jangan BSI tidak sanggup segera mencairkan seluruh dana milik Muhammadiyah dan sibuk mencari pinjaman dari bank bank lainnya buat memenuhi perintah penarikan tutup buku organisasi terkaya, terkuat dan termodern ini," duga Budi Saksono. (Red)