Ruang Kebebasan Sipil Terancam

Oleh: Chandra Purna Irawan, Ketua LBH Pelita Umat, dan Mahasiswa Doktoral Hizbut Tahrir Indonesia, FPI, radikal atau oposisi non partai yang mengkritik Pemerintah. Seolah-olah menjadi legal dan sah untuk melakukan persekusi, intimidasi, represi dan pelanggaran kebebasan berekspresi kepada mereka. Di antaranya membubarkan kajian, pengajian, seminar dan tablig akbar terhadap seseorang atau organisasi. Sebagai contoh ASN, mahasiswa dan/atau pegawai swasta dikeluarkan atas tuduhan di atas. Tidak ada ruang pembelaan, cukup dengan stigma, narasi dan sanksi, padahal negara ini sering menyebut sebagai negara hukum tetapi asas due process of law tidak digunakan kepada orang yang dituduh tersebut. Padahal Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi dakwah yang damai dan cerdas, dan Hizbut Tahrir Indonesia bukan organisasi terlarang, HTI hanya dicabut status Badan Hukum Perkumpulan. Sementara tuduhan ormas terlarang adalah narasi politik dan narasi pecah belah. Bahkan tak jarang seseorang yang ‘tidak mampu bersaing bisnis’ menggunakan alasan di atas, untuk mematikan bisnis kompetitornya. Sebagai contoh dalam satu kota terdapat si A yang mendirikan sekolah selama bertahun-tahun tetapi siswa/santrinya sedikit. Sedangkan si B yang baru satu mendirikan sekolah tetapi siswa/santrinya sangat banyak, dan diketahui si B adalah aktivis HTI atau FPI. Maka kemudian si A menggunakan alasan di atas untuk melakukan persekusi dan sebagainya dengan melapor kepada aparatur, kemudian dari situlah tindakan-tindakan lainnya dilakukan. Narasi politik dan narasi pecah belah tersebut dibangun menggunakan media sosial untuk tujuan politis, termasuk menekan, menghilangkan kepercayaan hingga memecah belah warga. Jika mengutip riset _'The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation'_ bahwa cyber troops paling banyak digunakan oleh aktor-aktor pihak pemerintah atau politik yang ditugaskan untuk memanipulasi opini publik secara daring dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi publik. Dengan legitimasi publik seolah-olah menjadi legal untuk merenggut kebebasan ruang sipil. LBH Pelita Umat beberapa kali menemukan persoalan di atas, semestinya mengedepankan asas hukum ‘due process of law’ yaitu memberikan kesempatan kepada pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan. Serta Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil ...”. Narasi polarisasi yang bersifat indelingsbelust (pengkotak-kotakan) yang mengarah kepada kebohongan publik adalah tindakan melanggar Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Menghadapi persoalan di atas, masyarakat mesti berani secara damai untuk melakukan edukasi dan menghentikan tindakan persekusi yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi atau oknum aparatur. Perbedaan semestinya menjadi indah dan merekatkan bukan malah menjadi alasan persekusi. []