Ironi 116 Tahun Kebangkitan Nasional Saat Ini

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen, Anggota APDI (Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia) Hari ini Senin (20/5/2024) seharusnya seluruh rakyat Indonesia dengan optimis memperingati 116 tahun peristiwa Kebangkitan Nasional yang sekarang dikenal luas sebagai Harkitnas (Hari Kebangkitan Nasional) setiap tahunnya. Oleh karena itu hari ini juga dipilih APDI (Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia) untuk memulai rangkaian nobar film "Dirty Election" dan Diskusi "Membongkar Aktor Intelektual Kejahatan Pilpres 2024" di berbagai kota Indonesia. Dimulai dari Heyoo Kafe di Jl. Kapten Tendean 41 Jakarta pukul 13.00 WIB, kegiatan ini akan berlangsung juga di Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya dan seterusnya. Menilik sejarahnya, peristiwa Harkitnas dimulai saat hari Rabu (20/5/1908) berdiri sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo di Hindia Belanda, sebelum negara ini bernama Indonesia. Didirikan oleh para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia/Djakarta dan digagas oleh dokter Soetomo, Wahidin Soedirohoesodo, Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji, organisasi ini sempat berkiprah dalam perjuangan pergerakan awal sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya. Sayangnya Boedi Oetomo memang tidak sampai saat Indonesia benar-benar merdeka, karena sudah dibubarkan 10 tahun sebelumnya, yakni 25/12/1935 di Kongres Solo. Hal terpenting yang saya tekankan di sini adalah cita-cita dan filosofi di balik nama "Boedi Oetomo", di mana dua kata ini berasal dari bahasa Sanskerta. Kata pertama "bodhi atau buddhi" berarti keterbukaan jiwa, kesadaran, akal, atau pengadilan. Sementara kata kedua "Oetomo" berasal dari kata "uttama" yang berarti tingkat pertama atau sangat baik;kata ini juga berarti kebajikan dan kesempurnaan dalam bahasa Jawa. Maka Boedi Oetomo kerap diartikan sebagai "usaha bagus" atau "usaha mulia", bisa juga sebagai "usaha murni" atau "usaha tinggi". Mengapa arti "Boedi Oetomo" tersebut penting untuk kita bangkitkan kembali setelah 116 tahun berlalu? Karena sekarang ini jangankan sampai usaha mulia, karena untuk melakukan usaha yang benar saja sudah seperti tidak mau dilakukan. Praktis semua usaha yang dilakukan rezim ini sudah bak panggang jauh dari api alias jauh dari cita-cita awal para pejuang kemerdekaan Indonesia tempo doeloe. Lihat saja revisi berbagai Undang-Undang yang saat ini dikebut pembahasannya: RUU MK, RUU Kementerian hingga RUU Penyiaran, semuanya tampak tergesa dilakukan dan wajar jika banyak yang mengatakan "demi memenuhi syahwat kekuasaan" rezim belaka. Embrio dari pembuatan berbagai UU yang tidak amanah dan jauh dari sifat kerakyatan ini dimulai saat perubahan UU KPK, kemudian RUU Cilaka yang setelah namanya dihaluskan menjadi UU Ciptaker, esensinya tetap benar-benar "cilaka" bagi masyarakat. Selanjutnya UU IKN yang sangat tampak nafsunya untuk sekadar memuaskan kepentingan (bisnis?) segelintir orang saja, terbukti dengan pengesahannya yang terburu-buru dan hanya dilakukan oleh 80-an anggota DPR RI secara real fisik kehadiran (meski dipakai alasan "Covid-19" saat itu, alias hanya secara "online"), namun kalau melihat total anggota yang seharusnya 575 orang, tampak keterlaluan rekayasa kuorumnya ini. Oleh karenanya bisa dipahami sekarang kalau (katanya) semua calon investor pada "mengantre" di IKN, namun setelah berulang kali sampai dilakukan sowan ke mereka semua, mulai dari Asia sendiri, hingga Arab sampai Eropa, nyaris tak terdengar hasilnya. Mulai dari raksasa finansial Jepang yang mundur, bahkan investor dalam negeri sekelas Djarum dan Wings Group meminimalisasi rencana investasinya (untuk tidak mengatakannya "batal"). Meski terakhir nama Elon Musk tampak mau melakukan investasi produk StarLink-nya di IKN, namun itu pun juga setelah berbagai kemudahan diberikan di sana, termasuk penyambutannya bak Kepala Negara secara khusus saat menghadiri gelaran WWF (World Water Forum) di Bali kemarin. Soal batalnya sebagian besar investor yang mau masuk Indonesia di atas sebenarnya sangat miris bila dilihat berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diberikan kepada mereka ketika digadang-gadang untuk bisa masuk di era rezim ini. Lihat saja Apple yang tidak jadi investasi setelah diterima di Istana Negara, meski sebelumnya hanya sekadar mau mendirikan lembaga pendidikan. Belum lagi kalau melihat sektor lain misalnya otomotif, barusan Peugeot angkat kaki, disusul nama besar sepatu Bata yang menutup Pabriknya di sini, padahal keduanya sudah ada semenjak puluhan tahun bahkan sebelum Indonesia merdeka, sezaman dengan Boedi Oetomo saat gencar melakukan pergerakannya. Jadi di sinilah tampak benar perbedaannya, dulu di zaman Boedi Oetomo meski kita masih dalam kondisi terjajah, namun dengan sangat gagah dan berwibawa saat itu Indonesia tidak perlu membuat pesta yang mewah namun di mata dunia kita masih memiliki marwah. Sedangkan sekarang meski Indonesia sudah merdeka dan berusaha menyambut mereka dengan pesta-pesta, namun kenyataannya kita tidak berdaya dan di mata dunia tidak ada apa-apanya. Memang ini tidak lepas dari ulah rezim yang salah urus semuanya, mulai dari tidak bisa merawat reformasi, gagal dalam berbagai investasi, penuh kolusi dan korupsi, bahkan hingga merusak demokrasi. Mengapa saya sering menulis "kalau saja Pahlawan-pahlawan dan Tokoh-tokoh" di Republik ini menyaksikan apa-apa yang sekarang terjadi, mulai dari Ki Hajar Dewantara, para pendiri Boedi Oetomo (dr Soetomo, dkk), hingga Azyumardi Azra dan Salim Said yang kesemuanya telah meninggalkan nama baiknya, mungkin beliau-beliau juga tidak akan rela dengan sekarang yang terjadi di Republik yang dulu ikut dibesarkannya. Bagaimana tidak, Indonesia yang dicita-citakan kini tampak makin jauh dari janji kemerdekaan yang ikut digagasnya, bahkan tampak hanya menjadi seperti "jarahan" oknum-oknum tertentu yang seharusnya mengemban kepercayaan dari rakyat, bukan mengkhianatinya. At last but not least, sebenarnya Indonesia masih punya harapan untuk memandang jauh ke depan, namun harus berani bersikap dan tidak ikut-ikutan edan. Dari sisi ekonomi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada triwulan IV tahun 2023 hanya tumbuh 4,47 % secara tahunan (year on year), turun dari triwulan III-2023 yang tumbuh 5,06 % secara tahunan, serta dibandingkan dengan triwulan IV-2022 yang sebesar 4,5 %. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa negara ini sedang "tidak baik-baik saja" tetapi tetap sok bergaya mewah dan punya program-program absurd seperti pembangunan tergesa-gesa IKN dan juga makan siang gratis. Banyak korupsi dan kolusi makin menjadi-jadi, belum lagi soal rencana jurnalis dan media yang dikebiri ditambah kematian demokrasi, jelas ironi di peringatan 116 tahun Kebangkitan Nasional hari ini. []