PKS, Oposisi atau Gabung Prabowo-Gibran?

Obsessionnews.com - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sedang diuji, apakah akan tetap membersamai umat di luar pemerintahan, atau berkolaborasi dengan rezim yang kabarnya menang karena Pilpres curang. Secara implisit dan eksplisit, nampak jelas PKS ingin gabung dalam koalisi Prabowo-Gibran. Dua mitra parpol dalam koalisi perubahan, NasDem dan PKB, juga sudah duluan bermanuver merapat. Bahkan sudah gelar karpet merah untuk Prabowo. PKS, belum sempat gelar karpet merah untuk Prabowo. "Hanya saja, keinginan PKS bergabung belum tentu diamini oleh Prabowo dan koalisi partai pendukung. Partai Gelora secara terbuka telah menolak PKS untuk gabung, dengan alasan PKS selama ini mengusung narasi 'Prabowo Pengkhianat'," ungkap pemerhati politik Ahmad Khozinudin, Kamis (2/5/2024). PKS sendiri, jelasnya, telah menyiapkan bantalan kalau seumpama akhirnya tidak jadi (ditolak) berkoalisi. Pengalaman 10 tahun era SBY dan 10 tahun era Jokowi, menjadi modal narasi untuk berkoalisi atau beroposisi. Tentunya, dengan kata kelu 'demi kemaslahatan bangsa dan negara'. Sebenarnya, menurut Khozinudin, koalisi atau oposisi tidak dikenal dalam Islam. Islam tidak mengajarkan umatnya menjadi pihak yang beroposisi maupun berkoalisi. Dalam Islam, diajarkan ketaatan pada pemimpin saat menaati Allah SWT, kewajiban mengoreksi (muhasabah) pemimpin saat melanggar syariat dan melaksanakan aktivitas dakwah amar Ma'ruf nahi mungkar. "Koalisi dan oposisi adalah ajaran demokrasi, yang substansinya bertentangan dengan Islam. Koalisi adalah sikap politik yang diambil partai, sebagai kompensasi atas bagian kue kekuasaan yang didapat dalam pemerintahan. Sementara, oposisi adalah ikhtiar menentang kekuasaan untuk mendapatkan benefit elektabilitas untuk dikonversi dengan kekuasan saat Pemilu," paparnya. Beroposisi dasarnya bukan Islam. Berkoalisi dasarnya juga bukan Islam. "Baik oposisi maupun koalisi, dasarnya kepentingan politik (pragmatisme)," tegasnya. Meskipun melanggar syariat, ungkap dia, partai koalisi akan tutup mata dan terus menjaga kekuasaan. Meskipun melanggar syariat, jika tidak ada kepentingan politik, partai oposisi tidak akan melakukan penentangan. Misalnya, lanjut dia, saat kekuasaan tidak menerapkan Islam seperti menghalalkan riba, zina dan miras, partai oposisi tidak akan melakukan penentangan. Karena standar beroposisi mereka adalah pragmatisme, bukan Islam. Karena itu, menurutnya, baik PKS atau partai lainnya, hakekatnya tidak penting lagi dibahas apakah akan berkoalisi maupun beroposisi, jika dasarnya bukan Islam. Pragmatisme politik, hanya akan menyengsarakan rakyat, baik dibungkus dengan koalisi maupun oposisi. Dilema Tampaknya, PKS masih dalam dilema besar, belum memutuskan apakah akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran atau tetap bertahan sebagai oposisi. Keputusan ini menjadi fokus perdebatan di internal partai, menandakan situasi yang kompleks, berbeda dengan NasDem dan PKB yang sudah secara terang-terangan menyatakan dukungan terhadap Prabowo-Gibran. Di pihak Prabowo-Gibran, ada beberapa partai yang menunjukkan penolakan terhadap PKS. Salah satunya adalah Partai Gelora, yang dibentuk oleh mantan elite PKS seperti Anis Matta, Mahfudz Siddiq, dan Fahri Hamzah. Gelora, sebagai bagian dari koalisi Prabowo-Gibran, menolak kehadiran PKS dalam pemerintahan. Fahri Hamzah, salah satu pentolan Partai Gelora, menuding PKS pernah menyebarkan narasi negatif tentang Prabowo. Menurutnya, PKS perlu untuk melakukan evaluasi diri mengenai sikapnya. Hal ini terkait dengan penolakan PKS terhadap tawaran Prabowo untuk bergabung dalam koalisi. Fahri mengkritik alasan PKS yang menyatakan ada perbedaan substantif antara keduanya, sehingga PKS menolak bergabung. Fahri mempertanyakan apakah Prabowo dianggap bukan bagian dari umat atau tidak membawa aspirasi umat. Di tengah polemik ini, PKS merespons dengan tegas. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menanggapi penolakan tersebut melalui sebuah video yang diunggah melalui media sosial. Pimpinan PKS ini menunjukkan ketidaksetujuan terhadap partai yang menolak PKS, dengan mengatakan bahwa partai tersebut bahkan tidak berhasil melewati ambang batas parlemen. Sementara itu, di internal PKS sendiri, terdapat perbedaan pendapat. Ada kader yang ingin PKS tetap berada dalam oposisi, sementara ada juga yang mendukung masuk ke dalam koalisi pemerintahan. Juru Bicara PKS Ahmad Mabruri menyatakan, bahwa partai sedang dalam proses diskusi untuk menentukan pilihan politik yang tepat. Menurutnya, yang terpenting bagi masyarakat adalah bagaimana sebuah partai dapat mengadvokasi masalah yang mereka hadapi. Untuk menentukan langkah selanjutnya, PKS akan menggelar musyawarah yang melibatkan seluruh kader. Mabruri menegaskan bahwa soliditas dan struktur partai merupakan pilar utama bagi PKS. Meski belum ada keputusan final, ada kemungkinan PKS akan kembali mendukung Anies Baswedan sebagai calon Gubernur Jakarta dalam Pilkada 2024. Namun demikian, keputusan ini tidak sepenuhnya bergantung pada jalur komunikasi pribadi antara PKS dan Prabowo, karena masih terdapat perbedaan pandangan dan dinamika politik yang harus dipertimbangkan. Sementara itu, PKS diharapkan untuk memilih posisi di luar pemerintahan, sebagaimana yang dilakukan oleh PDIP. Kedua partai ini memiliki pengalaman yang cukup dalam menjadi oposisi, dan memperlihatkan konsistensi dalam pandangan politiknya. Dengan demikian, PKS diharapkan untuk tetap berada di jalur oposisi untuk menjaga keseimbangan politik di Indonesia. Yang jelas, keputusan PKS untuk tetap menjadi oposisi atau bergabung dengan rezim Prabowo-Gibran, tentu bakal mempengaruhi perolehan suara PKS di Pemilu 2029. Jika bergabung atau berkoalisi dengan rezim pemerintahan yang dianggap menang curang pada Pemilu 2024, maka bisa jadi suara PKS terancam anjlok pada Pemilu mendatang? (Red/PR)