Ucapan Gibran Istilah SGIE Berbuntut Panjang

SGIE (State Global of Islamic Economy) adalah proyek muluk tapi GIEI (Global Islamic Economic Indicator) di Indonesia hanyalah sebuah lelucon besarObsessionnews.com - Tampaknya, istilah SGIE yang diucapkan Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka dalam debat Cawapres yang digelar KPK pada Jumat (22/12/2023) malam, berbuntut panjang. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia mengaku sebagai negara demokrasi. Tetapi kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia sudah direkayasa dan dikudeta oleh partai politik lewat UU MD3 dan kedaulatan tertinggi sekarang berada di tangan ketua umum partai politik. Baca juga: Debat Cawapres, Gibran Yakin Indonesia akan Jadi Raja Energi Hijau Dunia Yang memilih anggota DPR rakyat lewat Pemilu, tetapi bisa diganti di tengah jalan oleh ketua umum partai politik? Apanya yang demokratis? Tidak heran bila dalam index democracy selama 25 tahun terakhir yang dikeluarkan oleh the Economist Intelligence Unit (EIU), khususnya 9 tahun terakhir di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), index democracy Indonesia jeblok kalah jauh dibawah negara kecil, miskin dan baru merdeka Timor Leste. "Itu namanya demokrasi SGIE (sing mbelgedes iku ente) atau (yang bohong itu kamu)," kata Chris Komari, Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA), Senin (25/12/2023). Begitu juga dengan SGIE (State Global of Islamic Economy), jelasnya, ada 7 sektor yang diukur dalam SGIE, yakni: (1) Islamic Finance, (2) Halal food, (3) Modest fashion, (4) Media and recreation, (5) Muslim-friendly travel, (6) Pharmaceutical, (7) Cosmetic. SGIE itu proyek yang luhur dan tujuan yang luhur, ingin memberikan semacam pengukuran dan dorongan proyek kepada negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam, untuk serious menjalankan syariat-syariat Islam berdasarkan shariah Islam and Islamic injunction dalam pemerintahan dan kehidupan sehari-harinya, khususnya di 7 sektor di atas. Untuk menerapkan project itu, SGIE mengunakan index GIEI. Tetapi coba lihat Islamic finance di Indonesia, khususnya yang menyangkut bank-bank yang mengunakan kata syariah, seperti: (1) BRI Syariah, (2) BNI Syariah, (3) Bank Mandiri Syariah. Bank-bank syariah di tanah air, lanjutnya, memberikan bunga kredit kepada masyarakat luas tetapi masih mengenakan bunga (interest), biaya provisi dan biaya administrasi KPR yang jauh lebih besar dan lebih tinggi dari bank non-syariah. "Itu namanya bank syariah tipu-tipu! Sama seperti demokrasi di Indonesia yang sudah dimanipulasi berubah menjadi Partai-krasi. Namanya saja demokrasi, tetapi isinya Partai-krasi, alias demokrasi tipu-tipu!" ungkap Chris Komari. Ia menyoroti, bank-bank syariah itu namanya saja yang berbau Islam dan sok Islami dengan embel-embel kata syariah untuk menipu publik. "Bank syariah masih mengenakan bunga? Yang syariah apanya? Hanya lelucon besar," ujarnya mempertanyakan. Namanya saja bank syariah, tetapi prakteknya masih mencekik rakyat kecil dengan bunga kredit KPR yang jauh lebih tinggi dari bank non-syariah (riba), mengenakan biaya provisi dan biaya administrasi yang juga tinggi, jelas praktek-praktek seperti itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. "Itu baru dari sektor Islamic finance, belum lagi soal halal foods. Yang halal itu apanya? Hanya label dari MUI dan stamp-nya saja yang halal," bebernya. "Wong pitik mati (ayam mati) di tengah jalan saat dalam perjalanan transportasi saja masih dijual ke publik dengan harga yang lebih murah. Belum lagi daging-daging import dari luar negeri yang dipotong dengan mesin?" tambahnya pula. Sektor 5 lainnya, lebih parah lagi khususnya sektor modest fashion, pharmaceutical dan cosmetic. "Mana mau rondo ucul (janda kabur, red) disuruh pakaian modest? Kan yang dipamerkan rondo ucul untuk menggoda dan mendapatkan transfer uang korupsi dari pejabat negara?" tandasnya. Jangankan ribuan atau jutaan obat-obatan dan produk cosmetic import dari luar negeri yang mengunakan bahan-bahan dari babi (pork), lanjutnya, banyak vaksin Covid-19 yang jelas secara nyata menggunakan "Gelatin" dari babi (pork), sebagai bahan yang dipakai untuk stabilizing drug's ingredients (menstabilkan bahan obat) supaya tetap efektif selama dalam proses distribusi, pemerintah Indonesia tidak peduli! Apakah badan POM Indonesia (pengawas obat dan makanan) memiliki tenaga ahli, kekuasaan dan resources untuk menghentikan agar vaksin Covid-19 yang mengandung pengawet gelatin dari babi (pork) dihentikan dan dilarang untuk dipakai di Indonesia? "Mereka tidak tahu apa-apa dan mungkin mereka tidak peduli! Jika mereka memahaminya, staf Badan POM tidak memiliki kekuasaan untuk menghentikannya, kalah dengan kekuasaan Menteri Kabinet yang ikut menjadi makelar vaksin Covid-19," ungkapnya. "Sekarang mereka berbicara tentang SGIE dan GIEI? Kemana saja kamu, kawan?" tanya Chris Komari. Selama 23 tahun lebih, Chris sebagai activist democracy selalu dan masih hingga sekarang mengatakan bahwasanya demokrasi di Indonesia itu sudah berubah menjadi Partai-krasi. Kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia sudah dimanipulasi dan dikudeta oleh partai politik dengan mengunakan UU MD3 yang memberikan Hak Recall (PAW) terhadap anggota DPR kepada Ketua Umum Partai Politik. Untuk mengubah Partai-kradi itu kembali menjadi Demo-krasi, menurutnya, maka UU MD3 harus dibatalkan dan sekaligus memberikan Hak Recall dan Recall Election itu kepada rakyat agar bisa dipakai sebagai satu mekanisme untuk mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat. Tetapi berani nggak pemerintah membatalkan UU MD3 dan memberikan Hak Recall dan Recall Election kepada rakyat? "Kalau tidak berani, nggak usah ngoceh demokrasi!" tantang dia. Dikemukakan, untuk meningkatkan index GIEI dalam SGIE itu juga tidak sulit-sulit amat, bila pemerintah mau dan serious mau menjalankan shariah Islam dalam Islamic finance. Yakni, tinggal membuat UU baru yang melarang bank syariah mengenakan bunga (interest) kredit pinjamaan yang kepada publik. "Tetapi pemerintah berani atau tidak?" tanyanya lagi. SGIE itu sebuah proyek yang mulia, tetapi praktiknya di lapangan masih jauh dari kejujuran, fakta dan harapan, masih banyak tipu-tipu! (ARS)