Gibran Cawapres Bakal Diikuti Pemilu Curang?

Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Permyataan ini mencuat setelah putusan hukum yang dipolitisasi seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pimpinan Anwar Usman yang dinilai “merampas” putusan politik yang bukan wewenangnya, yakni mengubah Pasal 169 huruf q Undang Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden dan calon wakil presiden (cawapres) 40 tahun, sehingga meloloskan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang belum berusia 40 tahun. Putusan MK ini digalang oleh Ketua MK Anwar Usman yang juga adik ipar Presiden Jokowi). Padahal ranah tersebut termasuk warisan hukum terbuka sehingga harus dikembalikan kepada pembuat UU yakni DPR dan Pemerintah. Karuan saja, berbagai kalangan intelektual protes terhadap kelakuan Mk tersebut, bahkan publik mengecam keras terhadap kecurangan tahap pemilu dan ‘penyimpangan’ demokrasi ini. Aktivis demokrasi dari Activist Forum Tanah Air (FTA) Chris Komari mengkritik kalau hakim MK saja bisa curang, tidak peduli konflik kepentingan dan berani berbuat curang dalam membuat keputusan demi kepentingan iparnya yang menjadi Presiden dan anak Presiden yang ingin ikut menjadi Cawapres, apalagi Komisi Pemilihan Umum (KPU)? Ia pun menyoroti Presiden Jokowi memiliki "kekuasaan struktural" yang lebih masif dan terkoordinasi dengan menempatkan orang-orang pilihan di hampir semua instansi untuk menguasai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Kekuasaan struktural Jokowi itu sudah pernah memenangkan Pilpres dua kali tahun 2014 dan 2019. Lebih lanjut diungkapkan, dengan bagi-bagi jabatan di kabinet dan jabatan di BUMN, Jokowi mampu merangkul dan menaklukkan para petinggi partai politik, khususnya para ketua umum partai politik. Itulah yang merusak demokrasi! Demokrasi di Indonesia "rusak" karena: (1) Tidak ada lagi pemisahan kekuasaan antar lembaga tinggi negara. (2) Hilangnya kedaulatan tertinggi rakyat yang dikudeta oleh oligarki politik secara legal dengan berbagai UU. (3) Anggota DPR yang tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab pengawasan terhadap Presiden dan pejabat eksekutif. Dengan kondisi politik seperti itu, tidak mungkin Pilpres 2024 akan Jurkadem (jujur, terbuka, adil dan demokratis), maka 1% pun Komari menyatakan dirinya tidak percaya komisioner KPU akan bekerja netral dan independen pada Pemilu 2024. Menuntut perubahan, menuntut kuota dan ekspektasi dari awal, dari sekarang ketika seseorang sedang melamar menjadi CEO karena orang itu lagi butuh pekerjaan! Kalau menuntut kuota, ekspektasi setelah terpilih menjadi CEO dengan kontrak 5 tahun dan berharap mendapatkan perubahan? Itu namanya ngimpi. "CEO itu sudah tidak membutuhkan dukungan dari kita lagi, atau tuntutan dari kita," kata Komari. Memenangkan "perubahan" jauh lebih penting dan lebih kritikal dibanding memenangkan seorang kandidat. Karena sistemnya sudah bobrok, dikunci dan dikuasai oleh oligarki politik dengan berbagai UU. Presiden baru terpilih 2024, sehebat apa pun dan seamanah apa pun, masih harus tetap tunduk dan mengikuti ratusan UU yang menguntungkan oligarki politik. Sekitar 2,5 tahun sebelum Pemilu 2024, tepatnya setelah Presiden Jokowi dan Mendagri Tito Karnavian dengan bantuan RUU yang lolos dari DPR, mengundurkan Pilkada 2,5 tahun dan mengganti ratusan kepala daerah dengan ratusan Plt yang harus disetujui oleh Presiden Jokowi. Selanjutnya Komari memaparkan skenario dugaan kecurangan tahap Pemilu 2004 sebagai berikut :
- Manuver politik Jokowi dengan bantuan Mendagri Tito Karnavian, DPR, TNI dan Polri untuk menunda Pilkada 2,5 tahun adalah upaya Jokowi untuk memperkuat kekuasaan struktural dalam menghadapi Pemilu 2024, khususnya bagi kepentingan Jokowi dan pendukungnya, seperti pada Pilpres 2019. Taktik Jokowi ini sebenarnya tidak lebih dari taktik di era Orde Baru di era rezim Presiden Soeharto.
- Dengan bantuan Golkar dan ABRI, Presiden Soeharto memiliki kekuasaan struktural di MPR dan DPR yang secara langsung atau tidak langsung memaksa semua pegawai negeri (ASN/PNS) dan keluarganya untuk mencoblos Golkar dan memenangkan Presiden Soeharto setiap ada Pemilu. Kalau tidak, bisa kehilangan pekerjaan atau kena mutasi jabatan.
- Manipulasi demokrasi dan kedaulatan tertinggi rakyat sudah sangat masif dan bertumpuk-tumpuk di tanah air secara legal dengan mengunakan instrumen UU.
- Untuk mengubah semua UU yang isinya mengudeta kedaulatan tertinggi rakyat dan memanipulasi DEMO-KRASI menjadi PARTAI-KRASI itu sangat sulit dan mustahil karena DPR masih dikuasai oleh oligarki politik dan oligarki ekonomi.
- Mau revolusi, people power dan demo? Kena nasi bungkus, serangan fajar dan sembako saja sudah klepek-klepek.
- Satu-satunya solusi yang masih memungkinkan adalah mengembalikan kedaulatan tertinggi rakyat dengan kembali ke UUD 1945 (18 Agustus 1945) dan memulai lagi dari sana.