Inilah Dugaan Kecurangan Pemilu 2024 yang Harus Diwaspadai dan Solusinya

Inilah Dugaan Kecurangan Pemilu 2024 yang Harus Diwaspadai dan Solusinya
Demokrasi yang benar harus menggelar pemilu yang jujur dan adil. Namun, berbagai pengamat dan pemerhati politik masih memperkirakan bakal terjadi kecurangan dalam pelaksanaan pemilu/pilpres 2024.  "Satu persen pun saya tidak percayaKomisi Pemilihan Umum (KPU) akan bekerja netral dan independen pada Pemilu 2024," kata Chris Komari, Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA). Pasalnya, kekuasaan struktural yang memenangkan Jokowi menjadi presiden pada Pilpres 2014 dan 2019 masih ada, masih orang yang sama dan di bawah kendali Jokowi dan pendukungnya. Itulah alasan mengapa Gerindra dan Prabowo Subianto menginginkan Gibran menjadi Cawapres Prabowo untuk mendapatkan dukungan dari kekuasaan struktural yang memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019. Lebih lanjut dipaparkan, bila rakyat Indonesia, khususnya pendukung Capres Anies Baswedan - Cawapres Muhaimin Iskandar (AMIN) sebagai pemilih (voters) berpikir bahwa Pilpres  dan Pemilu 2024 akan JURADDEM (Jujur, Adil dan Demokratis). Itu namanya 76 mimpi (wishful thinking) jika publik tidak mau belajar dari peristiwa dan hasil Pilpres dan Pemilu 2014 dan 2019. Apakah rakyat Indonesia sudah lupa dengan Pilpres 2014 dan 2019? Inilah satu skenario: 1). Kalau di luar dugaan dan di luar nalar, KPU memutuskan memenangkan pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024, terus mau apa? 2). Harus digugat di Mahkamah Konstitusi (MK), bukan? 3). Apakah sudah lupa ada adik ipar yang menjadi ketua MK dan yang meloloskan Gibran untuk bisa menjadi Cawapres? Semua kekuataan struktural yang memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019 masih ada dan mayoritas masih orang yang sama duduk dalam kekuasaan. Apakah masih berpikir Pemilu 2024 akan JURADDEM (jujur, adil dan demokratis)? "Not a chance! 1% pun saya tidak percaya KPU akan bekerja netral dan independen." Salah satu "solusi" yang bisa ditempuh untuk bisa membuat KPU benar-benar netral dan independen adalah dengan mereformasi dan mengubah komposisi keanggotaan komisioner KPU seperti yang diusulkan oleh FTA di bawah ini. Bila tidak ingin terjadi kecurangan lagi, rekayasa dan manipulasi hasil Pilpres 2024, maka komposisi keanggotaan komisioner KPU pusat harus segera dilebur, diubah dan ditambah dengan wakil-wakil dari partai politik yang lolos Pemilu 2024. Ada kekuasaan struktural yang sangat rawan dan riskan yang menguasai KPU, Bawaslu, lembaga survei, ratusan Penjabat kepala daerah dan MK yang bisa menentukan, mengatur, merekayasa dan memanipulasi hasil Pilpres 2024. Agar supaya hasil kerja komisioner KPU demokratis, kredible, bisa dipercaya publik, jujur, adil dan terbuka terhadap public scrutiny, maka komposisi keanggotaan komisioner KPU harus ditambah 36 orang, yakni 2 orang wakil dari masing-masing 18 partai politik yang lolos Pemilu 2024. Tidak beda jauh seperti pada Pemilu tahun 1999 di era Presiden BJ Habibie. Komposisi keanggotaan komisioner KPU harus direformasi dan ditambah 36 orang, yakni 2 orang wakil dari masing-masing partai politik, yang lolos PEMILU 2024 untuk menciptakan system pengawasan sendiri secara internal didalam tubuh KPU. Dengan menambah 2 orang wakil-wakil dari partai politik, secara otomatis akan tercipta sistem checks and balances di dalam tubuh KPU untuk saling mengontrol, saling mengawasi dan saling mengoreksi antar anggota komisioner KPU. Karena set up komposisi keanggotaan komisioner KPU seperti itu menciptakan 2 kepentingan atau lebih yang saling berkompetisi (2 competing interests or more) dalam tubuh KPU. Dengan menciptakan 2 competing interest or more dalam tubuh internal KPU, akan sulit bagi anggota komisioner KPU untuk bisa melakukan kerja sama di belakang pintu, kongkalikong, manipulasi dan merekayasa hasil Pemilu untuk memenangkan Capres tertentu atau partai politik tertentu. (A) Bagaimana bentuk dan cara kerjanya? Keanggotaan komisioner KPU harus dibagi dalam 2 kelompok (2 competing interests): (1) Kelompok (A) adalah anggota komisioner KPU yang digaji (paid-commisioners) dari para individual dan akademisi professional yang sudah memiliki pengalaman, pendidikan dan pengetahuan sebagai penyelengara Pemilu yang dipilih lewat proses seleksi oleh DPR sebanyak 7 orang. (2) Kelompok (B) adalah 2 orang wakil dari masing-masing partai politik yang lolos Pemilu 2024 yang tidak digaji (unpaid-commisioners), yang memiliki kedudukan yang sama (equal), kekuasaan yang sama dan access yang sama seperti anggota commissioner kelompok (A). Bila dalam Pemilu 2024 ada 18 partai politik yang lolos, maka anggota komisioner KPU kelompok (B) ada sebanyak 36 orang wakil-wakil dari partai politik. (3) Jadi total anggota komisioner KPU (paid and unpaid commissioners) pada Pemilu 2024 sebanyak 43 commissioners, yang terdiri dari 7 orang (paid commisioners) pilihan (hand-picked) dari pemerintah dan 36 unpaid-commissioners yang mewakili partai politik. (B) Bagaimana cara kerjanya sehari-hari? Secara prinsip 43 anggota komisioner KPU itu memiliki kedudukan yang sama, memiliki kekuasaan yang sama, memiliki akses  yang sama terhadap semua dokumen dan IT KPU. They are equal at any level! Yang membedakan adalah anggota KPU yang dibayar dan menerima gaji (paid-commisioners) yang doing the works (yang melakukan pekerjaan sehari-hari) karena they are getting paid every month. Sedangkan 36 anggota komisioner KPU yang tidak digaji (unpaid-commissioners) yang merupakan wakil-wakil dari partai politik lebih berfungsi sebagai pengawas, pengontrol dan pengoreksi (supervisory, oversight, checks and balances) terhadap cara kerja dan hasil kerja 7 paid-commisioners KPU. (C) Bagaimana cara mengambil keputusan di KPU dengan komposisi keanggotaan komisioner KPU seperti itu? Cara pengambilan keputusan (deliberation) di KPU harus mengikuti 3 proses di bawah ini: (1) Semua keputusan di KPU pertama-tama harus diusahakan dengan cara musyawarah untuk mufakat, untuk mencari konsensus, atau unanimous decision dimana seluruh anggota KPU (43 orang) menyetujuinya. Bila mufakat, konsensus dan unanimous decision tidak bisa dicapai, harus ada steps yang bisa dicoba (exercised) agar masing-masing pihak yang tidak setuju, mau mengajukan compromised-version untuk bisa diterima dan disetujui oleh 43 anggota komisioner KPU. (2) Bila compromised-version itu tidak disetujui juga dan harus dilakukan voting di internal KPU untuk memutuskan satu perkara, maka harus ada 3/4 anggota komisioner KPU yang hadir sebagai quorum. 3/4 dari anggota komisioner KPU kelompok (A) sebanyak 5 orang harus hadir secara physic (3/4 dari 7 orang). 3/4 dari anggota komisioner KPU kelompok (B) sebanyak 27 orang harus hadir secara physic (3/4 dari 36 orang). Jadi total minimal "quorum" yang harus hadir secara physic sebanyak 34 orang, dari total anggota komisioner KPU sebanyak 43 orang untuk bisa mengambil "voting". Bila tidak memenuhi quorum, voting di KPU tidak boleh dilakukan, atau harus ditunda. Namun demikian, KPU harus berusaha agar sebelum melakukan deliberation lewat voting, harus diusahakan semua 43 anggota komisioner KPU hadir 100% untuk ikut dalam voting di internal KPU, guna memutuskan perkara penting hasil Pemilu 2024. (3) Ketika internal komisioner KPU harus melakukan deliberation lewat "voting" untuk memutuskan perkara hasil Pemilu 2024, harus minimal dengan suara 3/4 anggota komisioner KPU (strong majority) menyetujuinya, yakni sebanyak 34 anggota komisioner KPU menyetujuinya, dari total 43 orang. Hal ini sengaja dipersulit, agar keputusan di internal KPU benar-benar menjadi konsensus mayoritas 3/4 anggota komisioner KPU yang mewakili partai politik, publik dan pemerintah menyetujuinya, dengan strong majority! Sehingga keputusan KPU itu credible, demokratis, terbuka dan bisa dipercaya oleh publik karena di ikuti, diawasi dan dikontrol oleh mayoritas anggota komisioner KPU yang menjadi wakil-wakil dari partai politik yang ikut dalam Pemilu 2024. Dengan set up dan komposisi keanggotaan komisioner KPU seperti ini, kerja KPU akan semakin terbuka (transparent), semakin sulit untuk dipengaruhi, semakin sulit untuk disogok dengan duit, kalau harus nyogok tentu harus nyogok mayoritas anggota komisioner KPU. Untuk kongkalikong memenangkan satu capres tertentu, atau satu partai politik tertentu juga akan sangat sulit karena banyaknya kepentingan, telinga dan mata yang melihatnya. Tetapi tanpa mengubah komposisi keanggotaan komisioner KPU saat ini, potensi kecurangan, rekayasa dan fraudulent election pada Pemilu 2024 sangat besar, bahkan lebih besar dari Pilpres 2014 dan 2019, karena 2 hal di bawah ini: 1) Semua anggota komisioner KPU saat ini adalah orang titipan dan hand-picked penguasa dan oligarachs politik, penuh manipulasi, rekayasa, tidak kredibel, untrustworthy dan penuh dengan conflict of interest! 2) Penguasa (oligarki ekonomi dan oligarki politik) sudah menyiapkan kader-kadernya di daerah dengan menempatkan ratusan Plt kepala daerah untuk menguasai daerah dan suara di daerah dengan berbagai dirty tricks. Di antaranya adalah menggantikan ratusan kepala daerah lewat penunjukan (appointment) oleh Mendagri Tito dengan persetujuan Presiden Jokowi selama 2,5 tahun. Mulai kapan demokrasi mengunakan system appointment (penunjukan) dan bukan lagi mengunakan system election (Pemilu)? Waktu 2,5 tahun bagi Pj/Plt Gubernur, Wali Kota dan Bupati adalah waktu yang panjang dan lebih dari cukup untuk melakukan konsolidasi kekuasaan di daerah untuk kepentingan Pemilu 2024. Karena itu untuk melawan rencana busuk dan dirty tricks penguasa, maka komposisi keanggotaan komisioner KPU harus segera direformasi, diubah dan ditambah minimal 2 orang wakil dari partai politik yang lolos Pemilu 2024. FTA bukan hanya menuntut perubahan, melakukan public scrutiny dan criticism, tetapi FTA juga memberikan solusi-solusi baru. Semua tuntutan dan solusi baru itu ada dalam MPFTA, diantaranya: 1)  Memberikan hak recall dan recall election kepada rakyat sebagai satu sistem dan satu mekanisme untuk mempertahankan kedaulatan rakyat sovereignty. 2). Mengubah komposisi keanggotaan komisioner KPU dengan menambah 2 orang wakil dari masing-masing 18 partai politik yang lolos Pemiu 2024, supaya ada self-controlled dalam tubuh KPU, supaya ada transparency, oversight, scrutiny, checks and balances dalam tubuh KPU. (Red)