Awas! Fasilitas Negara Bukan Fasilitas Pribadi Presiden

Awas! Fasilitas Negara Bukan Fasilitas Pribadi Presiden
Umat beragama tentu paham bahwa setiap pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di akhirat kelak. Apalagi kalau seorang pemimpin menyusahkan rakyatnya, bukan mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Contoh pemimpin yang memikirkan nasib rakyatnya adalah khalifah/presiden Umar bin Khattab. Ia merupakan khalifah yang terkenal adil dan anti korupsi. Ambil contoh, ketika Umar berbincang dengan putranya di istana, maka semua lampu/cahaya dimatikan, karena semua lampu minyak (sekarang lampu listrik) minyaknya/listriknya dibayar dengan uang negara/rakyat, sehingga termasuk kategori korupsi jika digunakan untuk kepentingan pribadi/keluarga. Kisahnya saat larut malam tiba-tiba putranya datang mengetuk pintu ruangan dan meminta izin masuk. Umar pun mempersilakannya untuk mendekat. “Ada apa putraku datang ke sini?” tanya Umar, “Apa untuk urusan keluarga kita atau negara?” "Urusan keluarga, Ayah,” jawab sang anak. Kontan saja Umar meniup lampu penerang di atas mejanya, sehingga seisi ruangan gelap gulata. “Mengapa Ayah melakukan ini?” tanya anak itu keheranan. “Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Minyak untuk menghidupkan lampu yang dibeli dengan uang negara, sedangkan Anda datang ke sini akan membahas urusan keluarga kita,” ujarnya. Demikianlah sosok-sosok terbaik dalam sejarah Islam mencontohkan pelbagai cara untuk menutup celah korupsi. Bermula dari sikap wara' para elite pemimpin, penegakan hukum tanpa tebang pilih dan demokratis, hingga pelaksanaan hukuman yang keras di depan publik, merupakan beberapa jalan yang dapat ditempuh. Contoh lagi, presiden Umar bin Khattab sedang blusukan (bukan pencitraan) memantau dan mencari mana rakyatnya yang kelaparan dan tidak makan. Di depan pintu rumah itu Umar mendengar tangisan gadis kecil yang kelaparan itu, sementara seorang ibu dari gadis kecil itu di dapur sedang membalik-balikan sesuatu yang ada di dalam panci, Umar bin Khattab bertanya,“Apa yang anda masak, wahai ibu?” "Lihatlah sendiri!" jawab ibu itu. Ketika Umar bin Khattab melihatnya ternyata ibu itu sedang memasak batu untuk anaknya hendak ‘berbuka puasa’. Umar bin Khattab menangis, air matanya terus mengalir, sementara ibu anak itu tidak tahu kalau yang ada di depan matanya adalah Amirul Mukminin. Ibu itu terus memaki-maki Umar bin Khattab sebagai pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Umar bin Khattab terus menangis, Ia kemudian pulang ke Madinah, dan malam itu juga ia memanggul gandum dengan pundaknya sendiri dalam perjalanan yang cukup jauh. Umar bin Khattab sangat khawatir kalau karena hal itu ia dimasukkan ke dalam neraka. Seharusnya para pemimpin meniru perilaku dan watak anti korupsi seperti Umar bin Khattab. Sebagai perbandingan, para pemimpin sekarang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Bahkan untuk menghadiri pernikahan artis/influencer atas kepentingan pribadi (untuk popularitas), presiden menggunakan mobil negara dan pengawalan dari Paspampres dengan ratusan personel TNI/Polri. Yang kontras lagi, Presiden Jokowi mengumpulkan relawan pendukungnya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Selasa (24/10/2023) malam, bukan untuk kepentingan rakyat. Dikutip dari MEDIA ALIM ACADEMIA, Obasa - Basa Alim Tualeka, menyebutkan bahwa kriteria untuk menjadi pemimpin negara yang terbaik dapat beragam tergantung pada konteks dan harapan masyarakat. Namun, beberapa kriteria umum yang sering diidentifikasi untuk pemimpin negara yang efektif termasuk: 1. Integritas dan Kepatuhan Hukum: Pemimpin harus menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika. Mereka harus patuh pada hukum dan berperilaku secara adil dan jujur. 2. Visi dan Rencana: Pemimpin yang baik harus memiliki visi yang jelas untuk negara mereka dan rencana strategis untuk mencapainya. Mereka harus mampu merumuskan tujuan jangka panjang yang akan menguntungkan masyarakat. 3. Kepemimpinan yang Inklusif: Pemimpin yang efektif harus mampu mempersatukan beragam kelompok dalam masyarakat dan mendengarkan berbagai pandangan. Ini menciptakan kesatuan dan konsensus yang diperlukan untuk kemajuan. 4. Kemampuan Komunikasi: Pemimpin harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik untuk mengartikulasikan visi mereka, menginspirasi orang, dan membangun dukungan untuk kebijakan dan program mereka. 5. Kemampuan Pengambilan Keputusan: Pemimpin harus mampu mengambil keputusan sulit dalam kepentingan negara, dan ini memerlukan kebijaksanaan dan pemahaman yang baik. 6. Kemampuan Memimpin dalam Krisis: Pemimpin harus dapat menghadapi situasi krisis dan memberikan kepemimpinan yang kuat dan berani. 7. Pendidikan dan Pengetahuan: Pengetahuan tentang isu-isu sosial, ekonomi, politik, dan global adalah aset berharga bagi seorang pemimpin. 8. Kepedulian Sosial: Pemimpin harus memiliki empati dan keprihatinan yang tulus terhadap kesejahteraan rakyat mereka. Mereka harus berupaya untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi. 9. Kemampuan Beradaptasi: Lingkungan politik dan ekonomi selalu berubah. Pemimpin yang baik harus dapat beradaptasi dengan cepat dan merespons perubahan. 10. Komitmen terhadap Hak Asasi Manusia: Pemimpin harus melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia, termasuk keadilan, kesetaraan, dan kebebasan berpendapat. 11. Keterbukaan dan Akuntabilitas: Pemimpin harus terbuka terhadap kritik dan harus siap untuk dipertanggungjawabkan atas tindakan mereka. 12. Kemampuan Berpikir Panjang: Pemimpin yang baik harus mampu berpikir jangka panjang dan memperhatikan dampak kebijakan mereka dalam jangka waktu yang lebih lama. 13. Kecerdasan Emosional: Kemampuan mengelola emosi sendiri dan empati terhadap emosi orang lain adalah penting dalam membangun hubungan dan kerja sama yang kuat. Pemimpin negara yang sukses adalah mereka yang memenuhi kriteria-kriteria ini dengan baik dan siap untuk bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan mereka. Namun, perlu diingat bahwa harapan terhadap pemimpin dapat bervariasi, dan apa yang dianggap sebagai pemimpin yang terbaik dapat berbeda dalam berbagai budaya dan konteks politik. Intinya fasilitas negara yang melekat pada jabatan presiden tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Pasalnya, fasilitas baik berupa benda ataupun finansial di istana kepresidenan ataupun terkait jabatan presiden yang menggunakan uang negara/rakyat adalah tindak korupsi jika digunakan untuk kepentingan pribadi. Pada akhirnya, harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. (Arief Sofiyanto/Red)