'Badut' Politik Mainkan Politik Dinasti di NKRI

Obsessionnews.com - Politik dinasti layak jika terjadi dalam negara kerajaan. Namun jika dilakukan di negara republik seperti NKRI, tentu merupakan politik dagelan. Dilansir dari mkri id, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Tak cuma di tampuk kekuasaan pusat, kini marak terjadi politik dinasti di tingkat kepala daerah. Menurut dosen ilmu politik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) AGN Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural. Dinasti politik harus dilarang dengan tegas. Sebab, dengan politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Sebaliknya orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Penerapan dinasti politik di NKRI adalah suatu penyimpangan politik karena NKRI bukan negara dengan sistem pemerintahan monarki/kerajaan yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Oleh karena itu, analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof Ubedilah Badrun menilai wajar ada gugatan laporan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka (anaknya) dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan nepotisme. Menurutnya, salah satu bentuk nepotisme adalah dinasti politik. Dan Presiden Jokowi jelas, wajar jika diduga atau dianggap sedang membangun dinasti politik. Kasus keluarga Jokowi yang "memaksakan" anaknya menjadi calon wakil presiden, lanjutnya, lebih parah karena terjadi saat Jokowi masih berkuasa justru membiarkan bahkan mendukung anak dan menantunya menjadi wali kota, menjadi ketua umum partai dan kini menjadi calon wakil Presiden. Salah satu indikasi Presiden Jokowi sedang membangun dinasti politik, terlihat jelas saat Ketua MK Anwar Usman yang juga merupakan adik iparnya mengeluarkan putusan tentang syarat usia capres-cawapres. Pasalnya, lewat putusan itu MK menambah ketentuan capres-cawapres boleh berusia di bawah 40 tahun asal mempunyai pengalaman menjadi kepala daerah. Putusan itu dikeluarkan menjelang pendaftaran anak sulung Jokowi, Gibran, yang belum berusia 40 tahun sebagai cawapres Prabowo Subianto. "Jadi secara umum putusan MK itu mudah terbaca terang benderang bahwa putusan MK itu dapat ditafsirkan sebagai penyempurna dinasti politik Jokowi," ungkapnya. Tampaknya politik dinasti di NKRI yang jelas-jelas negara republik, hanya mungkin diperankan oleh mereka yang sudah putus urat malunya. Peneliti di Atlantika institut nusantara, Jacob Ereste, menilai pembenaran terhadap budaya politik dinasti atau dinasti untuk kekuasaan di negeri ini dianggap boleh-boleh saja karena secara hukum tidak ada larangannya. "Alangkah malangnya negeri ini melakukan pembiaran seperti itu, karena betapa banyaknya hal-hal yang busuk secara etika dan moral yang tidak ada larangannya secara, tetapi tidak patut dan tidak layak untuk dilakukan, karena bisa terkesan jadi biadab," tandasnya. Memang tidak ada larangan secara hukum bagi anak seorang presiden untuk menjadi presiden, tetapi caranya dalam upaya mengarah pada usaha membangun dinasti politik itu jelas telah melabrak etika dengan tidak bermoral, karena bertentangan dengan semangat konstitusi kita yang seyogyanya menempatkan kedaulatan rakyat, bukan daulat baginda penguasa. "Tragis memang, penegak hukum di Indonesia seperti mata kuda yang cuma menatap pasal-pasal hukum semata, dan demi pembenaran, tak hendak menilik beragam kasus yang terjadi dengan etika, moral dan akhlak untuk menjaga kemuliaan manusia dengan cara yang adil dan bijak berdimensi moralitas," tambahnya. Publik terus melakukan kritik dan kecaman menolak politik dinasti. Namun, para elite politik terus berlalu seperti tontonan 'badut' memainkan politik dinasti, tidak mau mendengar kritik alias budeg dan terus membiarkan bahkan melakukan politik dinasti. Ini budaya tidak punya malu alias muka tembok tidak peduli atas penolakan terhadap politik dinasti. (Red)