Ribuan WNI Pilih Jadi Warga Negara Singapura, Mengapa Itu Terjadi?

Ribuan WNI Pilih Jadi Warga Negara Singapura, Mengapa Itu Terjadi?
Oleh: Zaenal A Budiyono, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta  Data Direktorat Jenderal Imigrasi menunjukkan lebih dari 3.900 WNI kini telah berganti kewarganegaraan ke Singapura sejak 2019. Ini seiring dengan kebijakan negeri jiran tersebut yang berupaya mendongkrak populasi, dari 5 Juta menjadi 6,9 juta di 2030. Sejumlah insentif diberikan oleh Singapura ke warga negaranya yang memiliki anak. Tak hanya itu, mereka juga mengundang belasan ribu orang setiap tahun untuk menjadi warga negaranya. Tentu saja sebagai negara yang mengandalkan service, Singapura sangat selektif terhadap warga asing yang akan diberikan kewarganegaraan. Umumnya mereka yang masih muda dan memiliki skill tertentu. Ini kabar baik buat Singapura, namun mimpi buruk bagi negara-negara tetangga, termasuk Indonesia. Dari data di atas, kita bisa pastikan bahwa WNI yang beralih ke Singapura adalah mereka yang memiliki kemampuan tertentu. Istilahnya high quality talent. Lalu mengapa situasi ini terjadi? Pertama, bagi generasi milenial dan Gen-Z, global village merupakan grammar yang menjadi keniscayaan untuk masa depan. Mereka percaya bahwa dunia ini milik bersama, dan semua orang yang memiliki kemampuan, berhak untuk tinggal di mana pun. Tidak ada yang salah dengan pemikiran tersebut, justru ini harus menjadi tantangan bagi pemerintah untuk melakukan inovasi dan berfikir out of the box, agar para talenta hebat tersebut bisa membawa manfaat bagi negara. Kedua, mereka juga tidak bisa dikatakan tidak nasionalis, karena tafsir nasionalisme masa kini sangat berbeda dengan era pasca perang dingin. Nasionalisme kini lebih dimaknai oleh anak-anak muda sebagai apa yang bisa mereka lakukan untuk negaranya. Dan bagaimana agar mereka tidak membebani negara. Dalam konteks yang kedua, ketika fasilitas, gaji dan reward di dalam negeri masih minim, sementara talenta mereka bisa bersaing di regional, maka mereka berpikir untuk mencari penghasilan dari luar, dan tidak membebani negara. Ketiga, kemudahan mobilitas, karena pergerakan yang cepat menjadi tuntutan bagi anak-anak muda di seluruh dunia, sekarang dan ke depan. Dalam konteks ini, Singapura menjanjikan kemudahan mobilitas global, karena paspor Singapura yang merupakan terkuat kelima di dunia. Di mana warga negara Singa tersebut bisa mengunjungi 127 negara di dunia tanpa visa. Itu sama dengan bebas akses ke hampir seluruh negara di dunia! Ini sangat jauh dengan paspor kita yang masih banyak menunut visa, sehingga tidak praktis. Maka ini PR sesungguhnya bagi pemerintah (tak hanya Direktorat Jenderal Imigrasi) untuk meningkatkan image negara kita selevel dengan negara-negara maju lainnya. Memang tidak mudah, tetapi itu bisa dimulai dari komitmen penyelenggaraan negara yang bersih, bebas korupsi, birokrasi efisien, sehingga dengan sendirinya akan meningkatkan kepercayaan negara lain terhadap Indonesia. Keempat, sikap sejumlah pejabat Indonesia yang terkesan santai melihat fenomena ini sangat mengecewakan. Memang perpindahan kewarganegaraan adalah hak masing-masing individu. Tetapi bagi pemerintah itu adalah peringatan, bahwa ada yang kurang pas dalam penyelenggaraan negara sehingga para talenta terbaik terbang ke negara lain. Pasalnya kita bisa membangun infrastruktur dengan mudah, namun sulit untuk menghasilkan SDM-SDM berkulaitas. Karena SDM dan talenta hebat membutuhkan proses yang lama. Saat mereka sudah jadi, tiba-tiba terbang ke negara lain, ini harus “dicegah”, tentu bukan lewat paksaan, melainkan melalui peningkatan kualitas birokrasi, living standard, fasilitas publik, plus good governance, sehingga mereka nyaman hidup di sini. Jika sikap pejabat pemerintah masih business as usual, maka mungkin puluhan ribu angkatan produktif kita akan terbang ke negara-negara tetangga di tahun-tahun mendatang. Kuncinya, kita harus melihat isu ini dari kacamata krisis, lalu bagaimana menyelesaikan krisis tersebut dengan sungguh-sungguh, bukan business as usual. *