Thrifting Vs Produk UMKM

Thrifting Vs Produk UMKM
Thrifting atau egiatan membeli barang bekas (fashion ) akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan. Bulan Ramadan baru saja berlalu, bulan yang biasanya menjadi momen bagi para pelaku umkm bidang fashion “panen” penjualan ini pendapatannya menyusut, salah satunya adalah karena kalah bersaing dengan produk thrifting. Penjualan baju bekas impor kini tak hanya ditemui di pinggir jalan saja, melainkan sudah memasuki toko dan pusat perbelanjaan. Hasil survei dari ThredUp mencatat 86% konsumen pada 2020 telah terbuka untuk membeli pakaian bekas. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibanding pada 2016 yang baru mencapai 41%. Tren membeli barang-barang bekas digemari masyarakat khususnya oleh anak muda di Indonesia. Survei Tinkerlust menemukan sekitar 42% orang Indonesia suka membeli baju bekas.Survei dari ThredUp mencatat 86% konsumen pada 2020 telah terbuka untuk membeli pakaian bekas. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibanding pada 2016 yang baru mencapai 41%. Tren membeli barang-barang bekas digemari, khususnya oleh anak muda di Indonesia. Survei Tinkerlust menemukan sekitar 42% orang Indonesia suka membeli baju bekas.* Diawali sebagai suatu aksi kepedulian terhadap lingkungan akibat dari produk bekas yang dihasilkan oleh produktivitas fashion yang sulit terurai menjadikan thrifting sebagai suatu upaya penyelamatan lingkungan dengan aksi reduse, reduce and recycle. Memang dengan membeli pakaian bekas, peredaran produk fashion akan menjadi lebih lama serta mengurangi kebutuhan manufaktur memproduksi pakaian baru. Sekilas thrifting dipandang menjadi solusi menyelamatkan lingkungan dari tren fast fashion. Sayangnya thrifting berpotensi merusak industri fashion itu sendiri, yang akhirnya meluas kepada produk UMKM dalam hal ini khususnya produk fashion. Sebagai barang bekas produk thrifting pastinya akan dijual dengan harga yang sangat murah yang tidak akan mungkin dapat disaingi oleh produk UMKM di indonesia. Karena suatu produk fashion akan melewati proses mata rantai yang semuanya memerlukan biaya, oleh karenanya tidak akan dapat dibandingkan dengan harga suatu produk barang bekas. Kementerian Perdagangan sebetulnya telah melarang impor barang bekas, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Meski demikian data Bea Cukai mencatat impor pakaian bekas ilegal mencapai Rp 23,91 miliar sepanjang 2022.* Alasan lingkungan yang akhirnya bergeser menjadi suatu alasan ekonomis menjadikan thrifting suatu kegiatan yang menguntungkan sebagian pelaku usaha dan masyarakat. Tapi di sisi lain menghancurkan kegiatan produktivitas dari pelaku UMKM yang bergerak di bidang fashion. Untuk menyikapi hal ini perlu adanya suatu langkah yang diambil dari pengamatan helicopter view sehingga dapat menghasilkan suatu kebijakan yang dapat diterapkan secara menyeluruh kepada pengusaha dan masyarakat baik dari masalah lingkungan, kesehatan, perekonomian dan pertumbuhan produktivitas umkm bidang fashin di indonesia . *Diolah dari beberapa sumber.